Sebagai contoh definisi “Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri ibu rumah tangga” sebagaimana diatur didalam Pasal 31 ayat (3) UU No. 1 Tahun 1974.
Apabila kita perhatikan definisi “Kepala Keluarga”, menurut penulis sama sekali bias gender.
Penentuan Siapa yang menjadi “Kepala Keluarga” adalah pilihan prioritas saja-hanya kesepakatan didalam keluarga- dan sama sekali tidak dapat dikontekskan kepada laki-laki/suami.
Harus diakui, definisi “kepala keluarga” ini sebenarnya lebih tepat dikategorikan sebagai paradigma pemikiran konsepsi masyarakat Indonesia.
Walaupun UUP bertujuan untuk menghormati harkat dan martabat perempuan, namun apabila dilihat dari substansi pasal-pasalnya, terdapat inkonsistensi yang cukup mendasar dan bias gender.
Di dalam pasal 31 ayat 2 menjelaskan adanya kapasitas dan kemampuan yang sama antara perempuan dan laki-laki baik dalam mengelola rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Mereka juga sama-sama “berhak” melakukan perbuatan hukum.
Namun di dalam pasal 31 ayat 3 terdapat ketentuan yang mendudukkan laki-laki sebagai “kepala keluarga.
Padahal kita mau sejenak mengikuti perkembangan sejarah Indonesia, Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia, Chistina Martha Tiahahu bersama Kapitan Pattimura, Emmy Saelan mendampingi Monginsidi, serta Roro Gusik bersama Surapati. Lalu ada Wolanda Maramis dan Nyi Ageng Serang.
Begitu juga dalam sejarah Islam . Nama-nama seperti Ummu Sulaim binti Malhan, Nusaibah binti Ka’ab, Ummu Amir Al-Asyhaliyyah, Barakah binti Tsa’labah, Aisyah binti Abu Bakar, Ummu Athiyyah Al-Anshariyyah, Ummu Salamah, Shafiyyah binti Abdul Muthalib, Zainab binti Jahsy, Ummu Muni’, Rafidhah Al-Anshariyyah, Ummu Karaz Al-Khazaiyyah adalah pejuang wanita yang mendukung perjuangan Rasullah.
Begitu juga tentang wacana RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan . Dari ranah ini penulis menyatakan bahwa kalimat didalam rumusan Rancangan UU tersebut sama sekali tidak berdasar.
Kembali kepada pembahasan RUU. Sekarang mari kita lihat aturan maupun norma yang melingkupi RUU tersebut.
Apabila kita lihat didalam rumusaan HAM, aturan yang berkaitan dengan perkawinan diatur didalam Pasal 28E ayat 2 Undang - Undang Dasar 1945 “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya” Rumusan hak-hak ini kemudian tunduk didalam Pasal 28J UUD 1945.
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Sementara itu didalam rumusan Pasal 10 UU No. 39 Tahun 1999 menyatakan ayat (1) “Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinanyang sah”. (2) “Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Begitu juga didalam UU Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Pornografi. Dari definisi yang tertuang dalam Pasal 1 angka 1 tersebut, adanya ketidakjelasan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan frasa “yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat” .
Dengan demikian penerapan UU Pornografi tersebut akan berlaku secara berbeda-beda dalam masyarakat.
Dalam ranah ilmu hukum pidana, penafsiran hukum tidak dapat tunduk kepada norma kesusilaan. Pasal 1 ayat (1) KUHP menurut rumusannya dalam bahasa belanda berbunyi ““Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling” yang artinya “tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut UU yang telah ada terlebih dahulu daripada perbuatannya itu sendiri”
Maka Terdapat 3 (tiga) asas
1. bahwa hukum pidana yang berlaku di negara kita itu merupakan suatu hukum yang tertulis;
2. bahwa undang-undang pidana yang berlaku di negara kita itu tidak dapat berlaku surut
3. bahwa penafsiran secara analogis itu tidak boleh dipergunakan dalam menafsirkan UU pidana.
Dengan demikian lahirlah adagium “nullum delictum, nulla poena sine lege praevia poenali”. Hanya hukum yang tertulis sajalah yang dapat menentukan apakah suatu norma hukum itu telah dikaitkan dengan suatu ancaman hukuman menurut hukum pidana atau tidak.
Norma hukum adalah norma yang pasti, terukur, rasional dan tidak ketinggalan waktu. Apakah ukuran norma kesusilaan akan dapat mendasarkan penjatuhan pidana.
Apakah tidak akan menimbulkan kesulitan dalam pembuktian.
Bandingkan didalam UU No 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA . Lahirnya UU ini bertujuan “agar korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan”.
Didalam rumusan UU ini lebih banyak memberikan perlindungan terhadap kekerasan. Misalnya melakukan “perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah (pasal 44)”, “melakukan perbuatan kekerasan psikis (pasal 45)”, “melakukan perbuatan kekerasan seksual (pasal 46)”, “memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual (pasal 47)”.
Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas.(pasal Pasal 35)
Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. (Pasal 55)
Paradigma yang salah kemudian masih menghinggapi otak orang Indonesia.
Kekerasan Rumah tangga (KDRT) masih sering terjadi. Lahirnya UU KDRT sama sekali tidak mampu menyelesaikan persoalan KDRT. Masih sering terjadinya KDRT bukan berarti UU tersebut tidak memberikan sanksi yang berat, namun didasarkan kepada budaya yang masih menganggap perempuan sebagai subkoordinat dari laki-laki.
UU KDRT ternyata tidak effektif bukan karena disebabkan tidak memberikan sanksi yang tegas namun didasarkan kepada budaya yang masih subkoordinat tersebut.
Belum lagi adanya UU No. 21 Tahun 2007 Tentang PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG yang pada prinsipnya “melindung Perempuan dari perdagangan (trafficing ) dan lintas negara”.
UU ini cukup banyak mengatur “perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang untuk tujuan mengeksploitasi (Pasal 2 ayat (1))”
Dari catatan-catatan tersebut sudah kelihatan, walaupun rumusan UU telah memberikan perlindungan kepada perempuan, namun dalam berbagai rumusan UU ternyata masih bias gender dan menempatkan perempuan sebagai salah satu sumber pornografi dan eksploitasi pornografi.
Secara umum terjemahan sederhana masyarakat patriakis sebenarnya menganggap bahwa laki-laki merupakan seorang pemimpin yang berhak mengatur segala-galanya termasuk menentukan perempuan yang akan dijadikan istri. Dalam terjemahan lain sebenarnya pola pikir ini menempatkan laki-laki yang berhak menguasai .
Dalam kultur budaya timur, status yang menempatkan laki-laki sebagai orang yang menguasai, mengatur segala-galanya termasuk menentukan perempuan disimbolkan seperti ungkapan “perempuan bagian dari tulang rusuk laki-laki”. Perumpamaan ini kemudian berkembang yang kemudian menganggap bahwa perempuan merupakan subkordinat dari laki-laki.
Paragdima ini kemudian terwujud dalam lapangan hukum. Hubungan perdata tidak bisa dilakukan seorang istri tanpa persetujuan dari suaminya. (lihat Kitab Undang-undang Hukum Perdata/BW).
Walaupun ketentuan ini kemudian dicabut, tapi setidak-tidaknya menggambarkan posisi perempuan yang tidak bisa bertindak dimuka hukum dalam kapasitas individual (naturalijk person). BW yang merupakan peninggalan kolonial Belanda (1884) kemudian diteruskan didalam Hukum Modern (lihat UU Perkawinan). UU Perkawinan kemudian menempatkan laki-laki sebagai “kepala rumah tangga”.
Kejahatan terhadap kemanusiaan
Orde Baru tidak dapat dilepaskan dari berbagai pelanggaran HAM di Indonesia. Berikut ini akan ditampilkan beberapa contoh pelanggaran HAM di Indonesia selama Orde Baru sepanjang tahun 1990-1998
Sejarah pelanggaran HAM terhadap kekerasan Perempuan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari Peristiwa 13 – 15 Mei 1998 . Peristiwa ini merupakan sejarah kelam yang terjadi yang hingga sekarang belum ada kemajuan pengungkapan, baik aktor pelaku yang bertanggungjawab, desain, peristiwa itu terjadi maupun jumlah korban. Peristiwa 13 1-5 Mei 1998 adalah peristiwa biadab yang apabila dilihat daripada UU No. 39 Tahun 1999 dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran HAM berat yang harus diproses dimuka persidangan.
Sejarah kekerasan di Indonesia
Kekerasan (bahasa Inggris: Violence ejaan Inggris: [/vaɪ(ə)lənt/] berasal dari (bahasa Latin: violentus yang berasal dari kata vī atau vīs berarti kekuasaan atau berkuasa) adalah dalam prinsip dasar dalam hukum publik dan privat Romawi yang merupakan sebuah ekspresi baik yang dilakukan secara fisik ataupun secara verbal yang mencerminkan pada tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang umumnya berkaitan dengan kewenangannya yakni bila diterjemahkan secara bebas dapat diartinya bahwa semua kewenangan tanpa mengindahkan keabsahan penggunaan atau tindakan kesewenang-wenangan itu dapat pula dimasukan dalam rumusan kekerasan ini.
Kekerasan antara lain dapat pula berupa pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dll.) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan - hingga batas tertentu - kepada binatang dan harta-benda. Istilah "kekerasan" juga berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak.
Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam dua bentuk —kekerasan sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinir, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun tidak —seperti yang terjadi dalam perang (yakni kekerasan antar-masyarakat) dan terorisme.
Sejak Revolusi Industri, kedahsyatan peperangan modern telah kian meningkat hingga mencapai tingkat yang membahayakan secara universal. Dari segi praktis, peperangan dalam skala besar-besaran dianggap sebagai ancaman langsung terhadap harta benda dan manusia, budaya, masyarakat, dan makhluk hidup lainnya di muka bumi.
Secara khusus dalam hubungannya dengan peperangan, jurnalisme, karena kemampuannya yang kian meningkat, telah berperan dalam membuat kekerasan yang dulunya dianggap merupakan urusan militer menjadi masalah moral dan menjadi urusan masyarakat pada umumnya.
Rezim orde baru adalah rezim yang paling banyak meninggalkan kekerasan dalam setiap sendi kehidupan.
Berbagai kebijakan penguasa Orba pada gilirannya berlandaskan pada prinsip keamanan politik. Inisiatif kritis lokal dipandang sebagai tindakan subversif dan ancaman terhadap integrasi nasional. Orba mengontrol proses kritis melalui lembaga negara.
Lembaga militer mengawasi aktivitas masyarakat dari tingkat propinsi sampai ke tingkat desa. Lembaga militer dan aparatnya mengawasi berbagai aktivitas dari mengedit naskah pengajian sampai dengan mengawasi acara pertemuan warga. Sebagian kalangan menyebutkan dengan istilah pendekatan keamanan tradisional/tradisional security
Berbagai riset membuktikan, bahwa kontrol negara terhadap rakyat dapat dilihat pada berbagai aktivitas politik, keagamaan, dan berbagai aktivitas budaya.
Sekedar catatan, kelompok Petisi 50 mengalami perlakuan yang menyedihkan. Selain berbagai tokohnya dilarang tampil dalam kegiatan-kegiatan publik, hak keperdataannya dimatikan, juga dituduh dalam peristiwa kerusuhan Tanjung Priok 1984 dan berbagai peristiwa pentingnya.
Kerusuhan Medan 1994 yang kemudian menyebut tokohnya Dr. Muchtar Pakpahan tidak bisa dilepaskan bahwa tokoh ini kritis terhadap berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh orde baru.
Belum lagi mereka yang dituduh sebagai tokoh intelektual dari peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 (biasa dikenal Kuda Tuli).
Bahkan Penyanyi Iwan Fals beberapa kali batal manggung karena dianggap sebagai pengkritik dan bisa berbahaya bagi stabilitas nasional.
Kekerasan yang dilakukan orde baru, tidak bisa dipisahkan dari kejadian seperti kerusuhan Dilli, 1991, Lampung 1989, Petrus 1978-79, Malari 1994, termasuk kerusuhan Mei berdarah 13-14 Mei 1998. masih banyak catatan sejarah kelam di Indonesia yang tidak bisa dipisahkan dari kekerasan orde baru. Kekerasan orde baru di alam reformasi pun masih terjadi. Peristiwa Simpang V Aceh 2001, konflik Poso, berlarut-larutnya masalah di Papua membuktikan bahwa orde baru meninggalkan kekerasan.
Peristiwa Tanjung Priok 12 April 2010 adalah bukti termuktahir kekerasan oleh negara warisan orde baru.
Bahkan lahirnya berbagai milisi yang cenderung menggunakan kekerasan terhadap kelompok-kelompok prodem mengingatkan penulis sejarah teologi islam yang penuh benturan dan konflik.
Tipologi Kekerasan di Indonesia
Telah menjadi fakta bahwa konflik selalu menjadi bagian hidup manusia yang bersosial dan berpolitik serta pendorong dalam dinamika dan perubahan sosial politik.
Kekerasan yang dilakukan perorangan perlakuan kekerasan dengan menggunakan fisik (kekerasan seksual), verbal (termasuk menghina), psikologis (pelecehan), oleh seseorang dalam lingkup lingkungannya.
Kekerasan yang dilakukan oleh negara atau kelompok, yang oleh Max Weber didefinisikan sebagai "monopoli, legitimasi untuk melakukan kekerasan secara sah" yakni dengan alasan untuk melaksanakan putusan pengadilan, menjaga ketertiban umum atau dalam keadaan perang yang dapat berubah menjadi semacam perbuatanan terorisme yang dilakukan oleh negara atau kelompok yang dapat menjadi salah satu bentuk kekerasan ekstrem (antara lain, genosida, dll.).
Tindakan kekerasan yang tercantum dalam hukum publik yakni tindakan kekerasan yang diancam oleh hukum pidana (sosial, ekonomi atau psikologis (skizofrenia, dll.).
Kekerasan dalam politik umumnya pada setiap tindakan kekerasan tersebut dengan suatu klaim legitimasi bahwa mereka dapat melakukannya dengan mengatas namakan suatu tujuan politik (revolusi, perlawanan terhadap penindasan, hak untuk memberontak atau alasan pembunuhan terhadap raja lalim walaupun tindakan kekerasan dapat dibenarkan dalam teori hukum untuk pembelaan diri atau oleh doktrin hukum dalam kasus perlawanan terhadap penindasan di bawah tirani dalam doktrin hak asasi manusia.
Kekerasan simbolik (Bourdieu, Theory of symbolic power), merupakan tindakan kekerasan yang tak terlihat atau kekerasan secara struktural dan kultural (Johan Galtung, Cultural Violence) dalam beberapa kasus dapat pula merupakan fenomena dalam penciptaan stigmatisasi.
Konflik bisa muncul pada skala yang berbeda seperti konflik antar orang (interpersonal conflict), konflik antar kelompok (intergroup conflict), konflik antara kelompok dengan negara (vertical conflict) dan konflik antarnegara (interstate conflict).
Dari paparan yang telah penulis sampaikan, maka sebenarnya peran dan kedudukan peran telah dilindungi oleh berbagai peraturan perundang-undangan. Namun terjadinya kekerasan terhadap perempuan disebabkan karena pandangan sistem masyarakat patriarkis yang menempatkan perempuan adalah subkoordinat dari posisi laki-laki.
Sistem masyarakat ini adalah pandangan sebagian besar masyarakat tipologi “agraris” dan terjadi di negara-negara asia.
Namun yang sering dilupakan, setiap terjadinya kekerasan dan pelanggaran HAM, maka perempuan merasakan pertama dan paling menderita.
Penggusuran tanah menyebabkan selain disatu sisi perempuan harus berjuang mendapatkan haknya, namun disisi lain juga bertanggungjawab terhadap kelangsungan hidup keluarga. Baik menyediakan makanan, pakaian dan tempat perlindungan. Diusirnya masyarakat adat di sekitar kawasan hutan menyebabkan selain sulit menjangkau air bersih juga menyebabkan mencari kayu bakar atau mencari makanan untuk kehidupan keluarga.
Dari titik ini sebenarnya hasil output LKK ini dapat ditelorkan untuk menjawab “kegelisahan” penulis.