Terhitung mulai tanggal 20 Juni 2010, kita sudah mendapatkan gambaran siapa pemenang dari Pilgub dan menjadi orang nomor satu di Propinsi Jambi.
Dari 4 pasang kandidate, sebagian besar berasal dari Bupati di Propinsi Jambi. Hanya Kerinci, Bangko, Batanghari dan Kotamadya Jambi yang tidak mengirimkan orang nomor satunya mengikuti Pilgub 2010. Keempat daerah tersebut baru memilih Kepala Daerah.
Majunya kandidate Pilgub 2010 merupakan gejala yang menarik untuk kita lihat dan terlalu sayang untuk kita lewatkan.
Pilgub 2010 merupakan prestasi tersendiri dari kemajuan demokrasi di Jambi
Majunya kandidate Pilgub 2010 tidak dapat dilepaskan prestasi masing-masing kandidate yang telah berhasil menang di Kabupaten.
Bahkan keseluruhan kandidate telah mencoba peruntungannya di daerah masing-masing. Terlepas kemenangan dan kekalahan yang mereka dapatkan ketika pilkada di daerah masing-masing.
Namun apresiasi terhadap majunya kandidate dari daerah, tidak menghilangkan sikap kritis kita
Majunya kandidate yang berasal dari kepala daerah sebenarnya adalah kepentingan pribadi dari kandidate tersebut. artinya diluar daripada kepentingan dinas atau kepentingan sebagai Kepala Daerah dan tentu saja tidak berhak menggunakan fasilitas tersebut.
Maka sudah seharusnya tidak menggunakan fasilitas daerah yang diberikan oleh negara sebagai kepala daerah.
Kandidate yang berasal kepala Daerah tentu saja menggunakan fasilitas daerah (baik secara resmi maupun diam-diam).
Dimulainya kendaraan mobil dinas untuk mengunjungi berbagai daerah di Propinsi Jambi yang tentu saja beriringan dengan berbagai kepala Dinas.
Tentu saja kita tidak akan menemukan agenda dinas, terhadap perjalanan kandidate tersebut ke daerah lain selain tentu saja untuk kampanye.
Maka sulit dimengerti apabila dengan alasan adanya kunjungna kerja ke daerah lain namun masih menggunakan fasilitas dinas beserta protokoler.
Selain itu juga Kita tentu mengikuti dengan cermat bagaimana deklarasi para kandidate ketika pencalonan di Jambi.
Pada saat itu hampir seluruh petinggi daerah menghadiri deklarasi pencalonan tersebut dengan hampir membawa seluruh kru-kru pendukungnya. Lengkap dengan seluruh mobil-mobil dinas yang ada di kabupaten.
Maka dapat kita lihat, ketika deklarasi di suatu tempat di Jambi yang dilakukan oleh Bupati dari satu daerah, maka seluruh mobil-mobil dinas kumpul untuk menghadiri acara tersebut. begitu juga dengan bupati daerah lain.
Maka hiruk pikuk demokrasi di Jambi berseliweran dengan mobil-mobil kepala dinas. Begitu juga pegawai-pegawai dari Kabupaten yang tentu saja menghadiri acara tersebut.
Dua contoh kecil ini menggambarkan bagaimana pencalonan kandidate yang berasal dari Kepala Daerah menggunakan fasilitas.
Bagaimana fasilitas yang digunakan “tidak semestinya” apabila dilihat dari ketentuan yang ada ?
Secara tegas, sebenarnya, menggunakan fasilitas negara “tidak semestinya” sudah termasuk kedalam kategori “korupsi”. Pasal 3 UU No. 31 tahun 1999 secara tegas mendefinsikan adanya “penyalahgunaan wewenang, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.
Wewenang adalah hak untuk melakukan sesuatu atau memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu.
Wewenang adalah kekuasaan formal yang dimiliki oleh seseorang karena posisi yang dipegang dalam organisasi.
Wewenang formal adalah salah satu tipe kekuasaan. Seseorang atau kelompok yang berupaya untuk mempengaruhi dipandang sebagai pihak yang mempunyai hak untuk melakukan sesuatu karena posisi formal dalam suatu organisasi dan sesuai batasan-batasan yang diakui.
Menurut Robert Nisbet, wewenang adalah suatu gagasan sosiologi dan merupakan penerimaan sukarela seseorang akan pengubahan yang dilakukan oleh para pemimpinnya.
Sedangkan H. D. Stout yang dapat dikatakan sebagai wewenang adalah “Het vermogen tot het verrichten van bepaalde rechtshandelingen” yaitu kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu.
Kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu tersebut baik karena kemampuan untuk melaksanakan wewenang maupun kemampun bertindak melakukan tindakan hukum karena wewenang diberikan oleh Hukum.
Ada dua pandangan utama mengenai wewenang, yaitu: (a) Pandangan klasik (top down theory).
Bahwa wewenang berasal dari tingkatan masyarakat yang paling tinggi dan kemudian secara hukum diturunkan dari tingkat ke tingkat. (b) Pandangan Penerimaan (consent theory of authority).
Bahwa tidak semua aturan atau perintah sah ditaati dalam semua keadaan, titik kuncinya ada pada penerima (receiver) yang memutuskan menerima atau menolak, walaupun pada kenyataannya hampir semua wewenang formal diterima oleh para anggota organisasi.
Wewenang yang diberikan oleh UU namun tidak dipergunakan sebagaimana mestinya mengakibatkan perbuatan sewenang-wenang (wilekeur/a bus detroit/ (abuse of power) atau perbuatan penyalah gunaan kewenangan (detournement de pouvair).
Dari kriteria ini, kandidate yang menggunakan fasilitas “diluar semestinya” kepentingan pekerjaan sebagai Kepala Daerah sudah termasuk kedalam kategori tindak pidana korupsi. Kandidate tidak berwenang “Het vermogen tot het verrichten van bepaalde rechtshandelingen. Tidak berwenang untuk menggunakan fasilitas.
Namun penulis bisa memahami terhadap bagaimana membuktikan tindak pidana tersebut selain rumit, memakan waktu dan tentu saja akan menimbulkan kesulitan mengumpulkan bukti-bukti yang mendukung asumsi-asumsi telah terjadinya tindak pidana.
Tentu saja dibutuhkan waktu yang tidak sedikit, barang bukti untuk mendukung telah digunakan fasilitas diluar kepentingan dinas dan berbagai pelik persoalan yang bisa mengungkapkan kasus ini sampai dimuka persidangan.
Selain itu juga, mengerahkan pegawai untuk menghadiri deklarasi atau kegiatan-kegiatan kampanya telah tegas dilarang baik didalam UU Pemilu maupun UU Kepegawaian. Larangan ini semata-mata untuk menghindarkan ditariknya “pamong” ke gelanggang politik.
Rasanya masih segar dalam ingatan ketika pada pemerintahan orde baru, Pegawai negeri yang seharusnya netral dari tarik menarik politik kemudian larut dan hanyut dalam politik. Pegawai negeri (ambtenaar) kemudian sibuk mengurusi agenda politik daripada pelayanan masyarakat. Pelayanan publikpun terganggu. Hampir praktis menggunakan dan mengerahkan pegawai dalam politik kemudian membuat, ambtennar yang seharusnya berdiri diatas segala golonganpun kemudian berpihak dan tentu saja tidak netral.
Tentu saja, yang dipesankan dari rakyat terhadap kandidate yang berasal dari Kepala Daerah adalah mengurusi dan mengatur kehidupan rakyat dengan tidak menggunakan fasilitas negara “tidak semestinya”. Pesan dari rakyat ini seharusnya dipegang teguh dan akan memberikan penilaian tersendiri terhadap kandidate yang maju yang berasal dari Kepala Daerah.
Kita berharap kepada teladan pemimpin-pemimpin besar yang bisa memisahkan urusan negara dan urusan pribadi.
Dalam sejarah Romawi, ada anak raja yang menemui Raja yang sedang menulis, kemudian Raja bertanya. Apakah menemuinya urusan negara atau urusan keluarga ? Anak rajapun menjawab, ini urusan keluarga. Sang Rajapun mematikan lilin.
Dan kemudian mengambil lilin lain dari dalam laci mejanya. Kemudian menghidupkan lilin tersebut. Si anak bertanya. Sang Raja menjawab. Bahwa lilin yang dimatikan, merupakan lilin yang disediakan negara untuk Raja menulis. Karena membicarakan urusan keluarga, maka harus menggunakan lilin pribadi Raja (yang diambil dari laci mejanya).
Teladan ini sungguh memberikan pesan moral kepada kita semua. Dan yang bisa menjawab persoalan tadi selain hukum yang mengatur, juga teladan pemimpin yang bisa memisahkan fasilitas yang digunakan untuk kepentingan dinas dan urusan diluar dinas.
Viva demokrasi di Jambi.
Advokat, Tinggal Jambi
http://www.jambiekspres.co.id/index.php/opini/12828-pilgub-dan-korupsi.html
Dimuat di SHI, 24 Mei 2010
http://sarekathijauindonesia.org/2010/05/235.html