01 Juni 2010

opini musri nauli : KURANG GIZI DI BUMI JAMBI (RENUNGAN UNTUK PARA KANDIDATE GUBERNUR JAMBI 2010 – 2015)


Airnya bening, ikannya jinak, rumput mudo, kerbaunya gepok, bumi senang, padi menjadi, gemah ripah loh jinawi tata tentaram kertarahardjo Berita yang disampaikan di media massa Jambi membuat kita miris. 20 bayi tidak bergizi yang terdapat di tiga kecamatan. 

Rekor ini mencatat tertinggi di Propinsi Jambi. Berita ini walaupun menjadi headline namun kurang menjadi perhatian khayalak disaat momentum konsentrasi politik lokal Jambi menghadapi Pilkada Gubernur Jambi. 

 Gizi buruk dapat dikategorikan apabila kurang mendapatkan kalori 2000 kalori untuk bayi. Kekurangan gizi ini didasarkan baik karena asupan yang diterima kurang dari 2000 kalori juga didasarkan kepada asupan yang diterima waktu ibu tersebut hamil. 

 Gizi buruk mengurangi kemampuan seseorang untuk bekerja dan juga mengurangi kemampuan anak-anak untuk belajar disekolah – sering tidak kesekolah karena sakit - mengurangi tingkat kesehatan dan menjadi terlalu lelah untuk bekerja dan belajar dengan baik. Diperkirakan bahwa gizi buruk dapat menghabiskan biaya suatu Negara sebanyak 2-3% dari produk domestic bruto (“Repositioning Nutrition as Central to Development: A Strategy for Large-Scale Action,” published by the World Bank in 2006). Perempuan dan anak-anak adalah yang biasa dan umumnya mengalami gizi buruk – bumil menghadapi resiko yang tinggi untuk kehilangan bayi mereka, perempuan dan anak meninggal pada saat proses melahirkan, atau bayi yang lahir dengan kecacatan fisik mau pun mental. Gizi buruk memberikan sumbangan 56% untuk kematian dari 11 juta anak diseluruh dunia karena sebab yang sebenarnya dapat dicegah sebelum mereka mencapai ulang tahunnya yang ke lima. 

 Penyebab tingginya angka kurang gizi di Indonesia cukup kompleks. Terkadang masalahnya adalah kurangnya makanan yang tersedia atau pilihan untuk tidak mengkonsumsi variasi makanan dengan nilai gizi yang cukup. 

Masyarakat di daerh yang miskin umumnya memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan sebagian lagi memiliki kesadaran yang rendah tentang pentingnya variasi makanan, terutama untuk anak-anak. 

Nasi adalah makanan pokok dan didaerah yang miskin masyarakat sangat tergantung, lebih mengutamakan rasa kenyang namun menu kurang variatif untuk kecukupan gizi. 

Di daerah lainnya, bahkan nasi juga jarang didapat, perubahan iklim, cuaca yang sulit diprediksi dan bencana alam mempengaruhi pertumbuhan tanaman, dan banyak keluarga yang tidak mampu membeli makanan jika tanaman mereka – satu2nya sumber pendapatan mereka – gagal. 

Sanitasi yang buruk juga merupakan masalah umum di daerah dengan ketersediaan air yang terbatas dan berpengaruh terhadap infeksi usus dan kurang gizi – dapat menyebabkan diare Cerita tentang bayi kurang gizi yang telah penulis sampaikan merupakan pekerjaan rumah yang masih tercecer dan jauh dari perhatian publik. Lantas apa hubungan dengan bayi kurang gizi dengan Pilkada Gubernur ? 

Menghubungkan antara persoalan ekonomi dengna persoalan politik. Itu asumsi sebagian pihak yang tidak memberikan porsi yang seimbang tentang berita bayi kurang gizi. 

Namun secara politik, persoalan bayi kurang gizi membuktikan, bahwa persoalan politik yang tengah marak di Jambi tidak menyentuh kepada persoalan ekonomi. 

Atau dengan kata lain, porsi politik tidak memberikan jawaban untuk menyelesaikan ekonomi. Sumber Daya Alam dan Kemiskinan Menurut logika, semakin banyak sumber daya alam maka masyarakat seharusnya makmur dan terjamin akan hak-hak dasarnya. 

Dalam catatan penulis, Indonesia mempunyai sumber daya alam yang melimpah. Hampir setiap sumber daya alam didunia, ada di Indonesia. Minyak yang mempunyai cadangan 87 M Barrel baru diproduksi 0,387 M barrel. Gas 384,7 TSCF, diproduksi 2,95 TSFC. Batubara 58 M Ton, diproduksi 0,132 M Ton. 

Belum lagi emas, nikel, tembaga, biji besi, hutan 190 Jt Ha yang bisa dikonversi 22 juta hektar, Laut 500 Jt Ha yang menyediakan Ikan laut 6,4 Jt Ton/th. Belum lagi ambisi Indonesia yang mencadangkan 9 juta hektar sawit yang bisa mengungguli Malaysia. (MEWUJUDKAN NEGARA KEPULAUAN YANG MAJU, KUAT DAN MANDIRI, Dr. Ir. Son Diamar, MSc). 

Belum lagi potensi sumber pariwisata yang paling lengkap. Mulai dari gunung, danau, sungai, laut dan berbagai eksotik keindahan alam yang menarik perhatian dunia. Sekedar perumpamaan, Malaysia yang mempunyai areal sekitar 6 juta hektar sawit namun mampu memakmurkan rakyatnya. Begitu juga Australia, Jepang yang bersandarkan kepada ikan laut, Brunei Darussalam yang semata-mata dari minyak bumi, atau Thailand, Kroasia, yang sebagian besar justru dari pariwisata. Yang paling ironi apabila dihitung dari keuntungan hasil Freeport maka dapat menyekolahkan anak-anak Indonesia dari Sekolah dasar hingga Perguruan Tinggi. 

 Namun hasil riset Walhi 2006 justru memberikan jawaban yang berbanding terbalik dengan angka-angka yang berasal dari sumber daya alam. 

 Walaupun Indonesia mempunyai berbagai sumber daya alam yang melimpah ruah, namun tingkat kemiskinan justru terjadi di daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. 

Di Propinsi Kalimantan Timur, sebagai daerah kaya di Asia Tenggara dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita 3.319 US$ pada tahun 1985, akan tetapi dilihat dan tingkat kesejahteraan yang benar-benar dinikmati oleh penduduk, yakni dan pengeluaran konsumsinya, hanya mencapai 293 US$. Dengan demikian besarnya konsumsi per kapita hanya 8,82% dan jumlah PDRB per kapita selebihya, kemakmuran tersebut tidak dinikmati sebagai bagian dan tingkat kesejahteraan. Propinsi Riau yang berpenduduk 4,3 juta jiwa pada tahun 1997/1998 menyumbangkan pendapatan ke kas negara sebesar 59,2 trilyun. Uang sebesar ini berasal dan pertambangan, kehutanan, perindustrian dan pendapatan lainya. Namun uang yang kembali ke Riau dalam bentuk anggaran untuk Daerah Propinsi sebesar Rp 163,87 milyar dan daerah Rp 485,58 milyar . 

Sehingga jumlah dari jakarta untuk Riau mencapai 1.013 inilyar. Dibandingkan dengan dana yang disedot ke Jakarta sebesar Rp 59,2 trilyun maka dana yang diterima Riau hanya 1,17 % dan dana yang disumbangkan. Bahkan secara ironi, apabila keuntungan 50 % saja diberikan ke masyarakat Riau, maka cukup menghidupi rakyat Riau sejajar dengan Malaysia. 

 Dengan demikian, Artinya tidak ada korelasi positif antara tingginya PDRB per kapita dengan kemakmuran rakyat Dalam hasil riset yang melihat potret daerah-daerah yang mempunyai sumber daya alam yang melimpah, daerah-daerah itu seperti Kalimantan Timur, Riau, Aceh dan Papua, justru tingkat kemiskinan termasuk besar di Indonesia. 

Bandingkan dengan daerah seperti Sumatera Barat, Jimbaran, Kebumen yang justru tingkat kesejahteraan lebih baik daripada daeah-daerah yang kaya akan sumber daya alam. Walaupun kekayaan sumber daya alam yang melimpah namun penduduk miskin tidak berkurang. Th. 1987 30 juta jiwa (17.4%). Th. 2008 33 juta jiwa (16.6%). 

Angka-angka ini sekedar perumpamaan bagaimana tidak ada korelasi antara kekayaan sumber daya alam dengan kemiskinan Sementara di Jambi sendiri, Kawasan yang diperuntukkan bagi hutan produksi terbatas dimana eksploitasinya dilakukan dengan system tebang pilih dan tanam. 

Kawasan ini mencapai 252.775 Ha, atau 4,73 % dari luas Provinsi Jambi, yang menyebar di beberapa wilayah kabupaten. Kawasan yang diperuntukkan bagi hutan protan produksi tetap dimana eksploitasinya dilakukan dengan system tebang pilih atau tebang habis dan tanam. Kawasan ini mencapai 702.662 Ha, atau 13,15 % dari luas Provinsi Jambi yang menyebar di dibeberapa wilayah kabupaten. (RTRW 2010)

 Belum lagi Kawasan minyak dan gas bumi terletak di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Muara Jambi, Kabupaten Batanghari,Kabupaten Sarolangun, Kota Jambi, Kabupaten Merangin, Kabupaten Tebo, Kabupaten Bungo. Batubara terletak di Kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo, Tebo, Batanghari, Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat. Kawasan pertambangan mineral terletak di Kabupaten Kerinci, Sarolangun, Merangin, Bungo, Tebo, Batanghari, Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat, dan Tanjung Jabung Timur. Kehutanan, perkebunan Muara Bulian, Tanjabbar, Tebo, Sarolangun, Bangko, Tanjabtim, Kerinci, Bungo, Muara Jambi dan Bungo. Sumber daya alam yang kaya ini memperkaya potensi hasil karet yang menjadi primadona rakyat Jambi. 

Potensi Karet di Jambi telah dirasakan oleh masyarakat Jambi. Tahun 2006 luas kebun karet mencapai 623.825 ha dengan produksi 225.702 ton per tahun. Sehingga tepatlah perumpamaan negeri Jambi “Airnya bening, ikannya jinak, rumput mudo, kerbaunya gepok, bumi senang, padi menjadi, gemah ripah loh jinawi tata tentaram kertarahardjo” 

 SALAH URUS DAN KORUPSI 

 Kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah ternyata tidak memberikan hak-hak dasar rakyat. Hak-hak seperti pendidikan dan kesehatan menjadi barang mahal yang sama sekali jauh dari jangkauan rakyat. Kekayaan sumber daya alam yang tidak dipergunakan sebagaimana mestinya lebih tepat dikategorikan sebagai perbuatan “salah urus”. 

Meminjam istilah Mansur Faqih, “salah urus” dalam konteks ini adalah sumber daya alam yang melimpah ternyata tidak memberikan hasil untuk kebutuhan rakyat. Kekayaan sumber daya alam ternyata memberikan kekayaan yang hanya dinikmati segelintir orang. 

Dalam kajian Walhi 2006, justru daerah sekitar sumber daya alam paling terpinggirkan, ketertinggalan, kemiskinan dan praktis sama sekali tidak menikmati sumber daya alam. Amanat konstitusi “BUMI DAN AIR DAN KEKAYAAN ALAM YANG TERKANDUNG DI DALAMNYA DIKUASAI OLEH NEGARA DAN DIPERGUNAKAN UNTUK SEBESAR-BESAR KEMAKMURAN RAKYAT. 

Makna “dikuasai oleh negara” ternyata disalahgunakan menjadi “dikuasai kepentingan sendiri” dan dipergunakan “untuk sebesar-besarnya” bagi kelompok, golongan, keluarga dan diri sendiri. 

Hampir praktis, daerah-daerah yang mempunyai kekayaan sumber daya alam, hanya “memperkaya” para pejabat, petinggi, partai, anggota parlemen daerah itu. 

Pelayanan publik sama sekali diabaikan. Transaksional merupakan bentuk pemerintahan yang praktis bertujuan bagaimana “mengeruk sumber daya alam”. 

 Dalam masa reformasi, justru pengerukan sumber daya alam semakin menjadi-jadi. Makna otonomi kemudian menjadi salah kaprah menjadi “raja-raja kecil” yang berkuasa dan senang menerima upeti. 

Persis zaman kerajaan di Jawa yang “ambtenaar” lebih senang “dilayani” daripada “melayani”. Tipologi ini kemudian menjadi trend sehingga Pilkada lebih sering dimaknai “pasar gelap” daripada perwujudan demokrasi langsung. 

 Kemiskinan dan bayi kurang gizi juga merupakan pelanggaran HAM terbesar yang terjadi di negara modern. Kalkulasi kekayaan sumber daya alam yang berkorelasi terbalik dengan hak-hak dasar seperti pendididkan dan kemiskinan menyebabkan “ambtenaar” untuk memberikan “kemakmuran” tidak melaksanakan “amanahnya”. Ironi di negeri yang kaya sumber daya alam ini sama sekali tidak menjadi perhatian Pemerintah-kalaulah tidak dikatakan 

Pemerintah juga teribat. “Salah urus” negeri ini tidak boleh diratapi dan ditangisi tanpa upaya perlawanan kesewenang-wenangan. “Salah urus” negeri ini haruslah dibaca dan dapat dikategorikan sebagai perbuatan korupsi yang “nyata’nyata” merugikan keuangan negara. 

Begitu mudah kalkulasi penghitungan “kerugian” negara di sektor sumber daya alam namun hampir praktis tidak ada kejahatan di sektor sumber daya alam yang berhasil diseret dalam tindak pidana korupsi. 

KPK sendiri juga mengakui tidak adanya kasus sumber daya alam membuat KPK berkonsentrasi penuh mengungkapkan kejahatan sumber daya alam. Dengan demikian, peristiwa terjadinya bayi kurang gizi bukan disebabkan kepada faktor ekonomi semata-mata. 

Tapi dilandasi pejabat negara (ambtenaar) tidak serius dan becus mengurusi negeri ini. 

 Angka-angka yang dipaparkan justru menjawab daerah-daerah yang SDA melimpah malah berbanding terbalik dengan tingkat ekonomi dan kemiskinan. Berangkat dari paparan yang telah penulis sampaikan, maka sudah seharusnya persoalan “bayi kurang gizi” mendapatkan perhatian para kandidate Gubernur Jambi sebagai bahan refleksi secara serius. 

Para kandidate yang merupakan putra-putra terbaik di Jambi harus menjawab persoalan secara kongkrit. Dan dari jawaban secara kongkrit itu, maka dengan terpilihnya para kandidate menjadi Gubernur Jambi 2010 – 2015, diharapkan agar pada waktu-waktu yang akan datang, tidak terjadi peristiwa tersebut. Dan kita boleh berharap, agar peristiwa itu merupakan pekerjaan rumah yang menjadi tanggung jawab bersama. 

 Dan apabila kita lalai melihat peristiwa “bayi kurang gizi”, maka tepatlah perumpamaan “Tikus mati di lumbung padi”. Dan perumpamaan “Airnya bening, ikannya jinak, rumput mudo, kerbaunya gepok, bumi senang, padi menjadi, gemah ripah loh jinawi tata tentaram kertarahardjo, hanyalah fatamorgana di padang pasir. Maka terhadap “salah urus” mengelola negeri ini, maka “ambtenaar” haruslah dinyatakan “Raja Alim raja disembah, Raja lalilm Rajo disanggah”. 


 Dimuat di Jambi Ekspress, 2 Juni 2010 http://www.jambiekspres.co.id/index.php/opini/13131-kurang-gizi-di-bumi-jambi.html