04 Juni 2010

opini musri nauli : Titik Ruwet pembuktian pidana Lingkungan Hidup


Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia Pasal 65 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 Pada tanggal 5 Juni kita memperingati Hari Lingkungan Hidup Dunia. 
Peringatan Hari Lingkungan Hidup merupakan peristiwa penting dan “intropeksi” terhadap pengelolaan lingkungan hidup. 

Begitu pentingnya lingkungan hidup dapat kita lihat didalam rumusan “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia”. 

Pasal 65 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 yang merupakan hak-hak asasi manusia yang tunduk sebagaimana didalam rumusan UU No. 39 Tahun 1999 Indonesia sudah mengamanatkan didalam UU No. 32 Tahun 2009 yang menggantikan UU No. 23 Tahun 1997. 
Secara prinsip, tidak ada hal berubah. Walaupun adanya hak gugat dari Pemerintah/Pemerintah Daerah mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup (pasal 90 ayat (1)). 

Penggantian UU no. 23 Tahun 1997 dengan UU No. 32 Tahun 2009 diharapkan dapat menjawab persoalan lingkungan hidup di Indonesia setelah sebelummya UU No. 23 Tahun 1997 dianggap tidak mampu menyelesaikan persoalan lingkungan hidup di Indonesia. 

Masih ingat kita akan bahaya pengelolaan lingkungan yang salah terhadap kasus “LUSI” (lumpur Lapindo kemudian menenggalamkan berbagai desa. Rincian desa yang sawah padinya terendam lumpur: Siring 22,25 ha, Renokenongo 77,35 ha, Kedung Bendo 3,50 ha, Sentul 25 ha, Besuki 79 ha, Pejarakan 36, Kedung Cangkring 29,20 ha, dan Mindi 10,20 ha. 

Totalnya adalah 311,90 ha. Ada keterangan tambahan bahwa keseluruhan sawah “kelelep” mencapai kl 482,65 ha. 

Jumlah pengungsi yang pernah ditampung di tempat pengungsian sebelum terjadinya ledakan pipa gas Pertamina adalah 2.605 KK (9.936 jiwa). Jumlah bangunan yang terendam meliputi: 10.426 tempat tinggal, 33 sekolah, 4 kantor, 31 pabrik, 65 rumah ibadah (8 masjid dan 57 musholla), 28 TPQ (termasuk 2 ponpes dan 1 panti), dan 3 lainnya tidak jelas. 

Ada 33 pabrik yang tidak aktif akibat masifnya efek bencana lumpur Lapindo ini. Puluhan pabrik itu memperkerjakan 2.411 orang. 

Sehingga tidak salah pernyataan kasus “LUSI” bencana terbesar dan merupakan pelanggaran HAM terbesar yang terjadi di abad modern Sebagian kalangan menganggap bahwa pengelolaan lingkungan didasarkan kepada penerapan hukum yang tidak maksimal. 

Disisi lain, sebagian kalangan menganggap bahwa UU yang tidak dapat menjangkau pertanggungjawaban kepada perusahaan yang nyata-nyata melakukan kegiatan lingkungan yang salah. 

 Namun, apabila kita sedikit mau memperbandingkan antara UU No. 23 tahun 1997 dan UU No. 32 Tahun 2009 dan persoalan lingkungan hidup disekitar kita, maka menurut penulis menimbulkan persoalan besar. 

Asumsi ini didasarkan kepada pembuktian terjadinya tindak pidana lingkungan hidup. 

 Berangkat dari pemikiran inilah, penulis mengajak kita mendiskusikannya lebih lanjut. 

 Yang penulis maksudkan, apabila kita perbandingkan antara UU No. 23 tahun 1997 dan UU No. 32 Tahun 2009, masih dicantumkan yang berkaitan dengan “hak uji perwakilan (class action)”, “hak gugat organisasi (legal standing)”. 

Namun didalam UU No. 32 tahun 2009 kemudian mengadopsi “hak gugat Pemerintah”, sebuah hal yang baru dalam khazanah hukum Indonesia. 

 Apabila kita perbandingkan dalam pertanggungjawaban pidana dalam hukum formal kita, pelaku yang bisa dipertanggungjawabkan semata-mata mendasarkan kepada orang (naturalijk person). 

Prinsip inilah yang menjadi dasar didalam melihat kesalahan dan pertanggungjawaban pidana. 

 Didalam melihat kesalahan dan pertanggungjawaban kepada pelaku, maka terhadap perbuatan pelaku yang dapat dipertanggungjawabkan dimuka hukum. 

Dengan demikian, apabila seseorang tidak melakukan perbuatan pidana, maka tidak dapat dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana. 

 Pasal 1 ayat (1) KUHP menurut rumusannya dalam bahasa belanda berbunyi ““Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling” yang artinya “tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut UU yang telah ada terlebih dahulu daripada perbuatannya itu sendiri 

 Dengan demikian lahirlah adagium “nullum delictum, nulla poena sine lege praevia poenali”. 

Hanya hukum yang tertulis sajalah yang dapat menentukan apakah suatu norma hukum itu telah dikaitkan dengan suatu ancaman hukuman menurut hukum pidana atau tidak. 

Asasnya adalah nullum delictum sine praevia lege poenali yang artinya “tidak dapat dihukum seseorang, apabila tidak ada undang-undang yang mengaturnya”. 

Roh yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (1) Wetboek van Strafrecht merupakan asas yang bersifat universal adalah asas non retroaktif adalah sesuatu yang bersifat mutlak. 

Asas ini mendalilkan tentang adanya kepastian hukum (rechts zekerheid) (“bagi saja larangan berlaku surut ini adalah memenuhi rasa keadilan, sesuai dengan sikap saja pada umumnya terhaap hukum”. 

Wirjono Prdjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia 1967 Namun walaupun secara prinsip hukum pidana mengenal “geen straf zonder schul beginsel”, asas “vicarious liability” juga digunakan dalam sistem hukum pidana di Indonesia. 

Asas ini dikenal didalam sistem hukum common law dalam teori pertanggungjawaban perdata. 

Secara umum, asas ini menerangkan bahwa dapat dipertanggungjawabakan karena kesalahan seseorang yang melakukan tindak pidana. Dengan syarat 1. adanya pendelegasian 2. penafsiran atas perbuatannya 

Dengan demikian adanya perumusan yang bergeser dari “orang yang dapat dipertanggungjawabkan karena perbuatan pidana” menjadi “orang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan orang lain ” Prinsip-prinsip inilah menjadi pegangan didalam pembuktian dalam ranah hukum pidana di Indonesia. 

Prinsip ini mengadopsi dari hukum Belanda yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental. 

Namun dalam perkembangannya, dengan adanya UU No. 23 Tahun 1997, UU No. 41 Tahun 1999 dan UU No. 5 Tahun 1998 Tentang Perlindungan Konsumen, membuka adanya mekanisme gugatan perwakilan (class action), gugatan organisasi (legal standing) yang menganut dari sistem Common law dalam sistem hukum Anglo Saxon. 

Prosedur gugatan perwakilan (class action) dan gugatan organisasi (legal standing) yang tidak dikenal dalam sistem hukum Eropa Kontinental membuat hukum acara dalam lapangan perdatapun mengalami perubahan. 

Padahal didalam lapangan hukum acara perdata yang mengenal Pasal 1365 KUH Perdata menentukan bahwa ”setiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian ini mengganti kerugian tersebut“ kemudian mengadopsi terhadap mekanisme gugatan perwakilan (class action) dan gugatan organisasi (legal standing) yang kemudian diatur didalam PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. 

Hukum Acara Perdata ini secara prinsip berbeda dalam sistem hukum Eropa Kontinental. 

Didalam lapangan pembuktian hukum pidana, adanya UU No. 23 tahun 1997 juga mengalami perubahan yang mendasar. 

Asas sebelumnya “geen straf zonder schul beginsel”, dalam sistem Eropa Kontinental dan asas “vicarious liability” dalam sistem Hukum Anglo Saxon kemudian mengenal pertanggungjawaban mutlak (strict liability). 

“Strict liability” kemudian diterjemahkan “tanggungjawab mutlak” atau “tanggungjawab seketika”. 

Artinya apabila didalam sistem hukum Eropa Kontinental (biasa dikenal dengan sistem hukum civil law), pembuktian harus dilakukan apabila melihat perbuatan pelaku yang melakukan tindak pidana kemudian didalam asas hukum Eropa Kontinental , “strict liabilty” kemudian mempertanggungjawabkan pelaku tanpa melihat kesalahan dan pelaku melakukan tindak pidana. 

Bandul yang bergerak pembuktian kesalahan dan pertanggungjawaban dari asas “geen straf zonder schul beginsel” kemudian bergeser “strict liabilty” membuat kemudian yang sebelumnya apabila mengenal pelaku tindak pidana hanya orang (naturalijk person) kemudian bergeser menjadi pertanggungjawaban badan hukum (person recht). 

Pertanggungjawaban badan hukum (recht person) dalam tindak pidana lingkungan hidup kemudian dirumuskan didalam pertanggungjawaban pengurus badan hukum (recht person) sebagaimana didalam rumusan UU No. 1 tahun 1995 yang kemudian direvisi berdasarkan UU No. 40 tahun 2007. 

Artinya yang dapat dipertanggungjawabkan dimuka hukum adalah pengurus badan hukum (recht person) yang secara tegas telah ditentukan didalam UU tersebut. Atau biasa dikenal dengna “pertanggungjawaban korporasi”. 

Sistem ini dikenal sistem hukum Anglo Saxon (common law) Pergeseran inilah yang kemudian didalam melihat rumusan UU NO. 23 tahun 1997 didalam pembuktian tindak pidana lingkungan hidup. 

Namun, yang menarik didalam UU No. 32 Tahun 2009 masih menggunakan pembuktian berdasarkan asas “geen straf zonder schul beginsel” disatu sisi, namun disisi lain menggunakan pembuktian “strict liabity” 

Begitu juga didalam melihat kesalahan dan pertanggungjawaban masih menggunakan pembuktian pertanggungjawaban pribadi (naturalijk person) disatu sisi, dan disisi lain menggunakan “pertanggungjawaban korporasi”. 

Apabila kita perhatikan Pasal 116 - Pasal 119, Adanya kata-kata “penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum” maka dapat dikategorikan pertanggungjawaban korporasi. 

Sedangkan didalam rumusan pasal 87 ayat (1) adanya kata-kata “menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu” maka dapat dikategorikan asas “strict liability”. 

Kata-kata “wajib membayar” adalah tanggung jawab mutlak (strict liabilty) tanpa melihat kesalahan apakah “penanggung jawab usaha” melakukan perbuatan atau tidak (strict liabilyt). 

Dengan melihat kata-kata “penanggungjawab usaha” dan kata-kata “wajib membayar” maka menggunakan asas “strict liability” dan pembuktian hukum pidana menganut sistem hukum Anglo saxon. 

Namun didalam rumusan pasal 98 – 108, adanya kata-kata “setiap orang” maka dapat dikategorikan pertanggungjawaban pribadi (naturalijk person) yang pembuktiannya tunduk kepada sistem hukum Eropa Kontinental. 

Dengan demikian maka terhadap pembuktian pasal 98 – 108 menggunakan asas “geen straf zonder schul beginsel/ vicarious liability” dimana pelakunya dipertanggungjawabkan kepada “naturalijk person” 

Dengan demikian maka bandul yang semula common law kembali bergeser ke sistem hukum civil law. 

Dari paparan yang telah penulis sampaikan, maka selain akan menimbulkan kesulitan didalam pembuktian didalam lapangan hukum pidana akan menimbulkan keruwetan dan saling menegasikan antara satu sistem hukum dengan sistem hukum lainnya. 

Atau dengan kata lain, disatu sisi menggunakan pembuktian berdasarkan sistem hukum Eropa Kontinental (civil law) namun disisi lain menggunakan pembuktian anglo saxon (common law). 

Keruwetan ini semakin memperparah silang carut penegakan hukum di Indonesia. 

Belum lagi kita bisa menerapkan sistem hukum Eropa Kontinental (civil law) secara baik didalam pembuktian hukum pidana, kemudian kita menerapkan siste hukum anglo saxon (common law). 

Namun kemudian kita harus menggunakan beban pembuktian sistem hukum Eropa continental dan Anglo saxon bersamaan didalam pembuktian tindak pidana lingkungan. 

 DImuat di Jambi Ekspress, 5 Juni 2010 http://www.jambiekspres.co.id/index.php/opini/13199-titik-ruwet-pembuktian-pidana-lingkungan-hidup.html