14 Mei 2010

opini musri nauli : Pilkada Gubernur Jambi


Konon, kabarnya, Raja bersedia mundur dan memberikan kesempatan para adipati Yang ingin menduduki singgasana kerajaan (Anonim) Pemilihan Gubernur Jambi 2010-2015 tinggal menghitung hari. Partai-partai sudah berkoalisi dan menentukan kandidate yang akan diusung. 

Warna-warni partai didalam menentukan kandidate sama sekali menghilangkan platform partai dan ideologi partai. 

Sehingga pilkada Gubernur harus dibaca, kepentingan jangka pendek partai lebih diutamakan daripada kepentingan pemilih. 

 Maka jangan heran, partai pemerintah (baca demokrat) bisa bergandengan tangan dengan Golkar dan PKS. Partai Oposisi bisa berkolabarasi dengan PKPB. Dan PAN bisa berkolabarasi dengan partai-partai lain. 

Sehingga jangan heran apabila kandidate yang diusung mempunyai warna yang beraneka ragam. 

Jangan ditanya kepada anggota partai, pilihan yang akan ditentukan pada hari H. itu sama sekali jauh dari bayangan partai modern yang dikehendaki. 

 Sikap pragmatis yang dilakukan partai-partai juga ditunjukkan kepada kandidate yang diusung pada Pilkada. (walaupun istilah resmi digunakan Pemilukada, namun penulis lebih sreg menggunakan istilah Pilkada. 

Selain sebagai bentuk kajian yang mendefinisikan Pilkada sebagai rezim election general, walaupun MK sudah menjustifikasi Pilkada sebagai rezim pemerintahan). 

Dari empat pasang kandidate yang diusung (walaupun belum ditetapkan secara resmi oleh KPU), keseluruhannya merupakan para adipati di Kabupaten. HBA- Farori Umar (Bupati Sarolangun - Calon Bupati Bungo), Zulfikar Ahmad – Ami Thaher (Bupati Bungo – calon Bupati Kerinci), Madjid Muaz – Abdullah Hich (Bupati Tebo – Bupati Tanjabtim), Safrial – Agus Setianegoro (Bupati Tanjabbar – calon independent Walikota Jambi). 

Dari komposisi ini kelihatan, para partai pengusung lebih suka mengusung kandidate yang sudah dikenal daripada mengusung kader partai. Hampir praktis, kandidate yang diusung minim dari kader partai sendiri (kecuali PAN mengklaim, Abdullah Hich sebagai kader). Sedangkan yang lain, PDI-P hanya menyatakan, Safrial merupakan kandidate yang terbaik. Dengan demikian, partai politik di Jambi telah “gagal” melakukan kaderisasi dan mempersiapkan kader-kadernya untuk bertarung di Pilkada Jambi. Catatan penting ini sengaja penulis sampaikan, agar pada Pilkada yang akan datang, kandidate yang diusung haruslah merupakan kader-kader yang memang dipersiapkan oleh partai. Yang unik adalah PKS. Dalam Pilkada Kerinci, PKS sukses mendorong Ami Thaher sebagai calon independent untuk Bupati Kerinci dan masuk kedalam putaran kedua. Ami Thaher secara de facto memang menang, walaupun kalah didalam putaran kedua. Namun dalam pilkada Gubernur, PKS menjatuhkan “hatinya” kepada HBA. 

Sebagai hitung-hitungan politik, sikap PKS dapat diterima (pertimbangkan PKS yang akan memenangkan Pilkada Gubernur). 

Namun alangkah eloknya apabila PKS tetap menjatuhkan pilihannya kepada Ami Thaher sebagai bentuk sikap politik yang elegan dari PKS melanjutkan tradisi berpolitik yang baik yang mengusung ketika Pilkada Bupati Kerinci. 

 Dari bacaan yang telah penulis sampaikan, maka seluruh kandidate telah mengalami Pilkada ketika merebut adipati. Agus Setyanegoro (calon independent Walikota Jambi), Ami Thaher (calon independent Bupati Kerinci), Zulfikar Ahmad (Bupati Bungo), Farori Umar (calon Bupati Bungo), Madjid Muaz (Bupati Muara Tebo), Abdullah Hich (Bupati Tanjabtim), HBA (Bupati Sarolangun), Safrial (Bupati Tanjabbar). 

Dengan demikian, maka para kandidate sudah berpengalaman mengikuti pertarungan politik di tingkat lokal dan mencoba pertarungan di tingkat Propinsi (baca Pilkada Gubernur). 

Dengan demikian, terlepas daripada kemenangan atau kekalahan yang pernah dialami, pengalaman mengikuti pertarungan merebut adipati merupakan pengalaman yang akan digunakan sebagai bekal mengikuti pertarungan diatasnya. 

 Dari kalkulasi yang telah penulis sampaikan, maka kantong-kantong yang pernah diraih di Pilkada kabupaten merupakan modal yang kuat untuk menghitung kekuatan riil memasuki gelanggang pilkada Gubernur. Banyak yang memprediksi, bahwa para kandidate akan “berkuasa” di daerah masing-masing (saat para kandidate meraih suara terbanyak menjadi Bupati). 

Menurut penulis, asumsi ini sangat tidak tepat. Walaupun kantong-kantong memberikan sumbangan suara yang cukup signifikan, tapi kalkulasi itu sama saja meremehkan logika berfikir pragmatis pemilih (silent mayority). 

Kalkulasi politik itu sama saja dengan pemikiran bahwa “mesin-mesin” partai berjalan. Asumsi itu belum dapat terbukti sampai sekarang. Asumsi ini didasarkan sebagai berikut. (1) bahwa partai yang mengusung kandidate tidak representatif dari suara yang diinginkan pemilih. Hampir praktis tidak ada partai yang akan mengusung kandidate telah sesuai dengan kehendak pemilih. 

Walaupun partai telah mengklaim melalui mekanisme pemilihan internal partai, namun hampir praktis setiap pemilihan bupati di kabupaten, hasil suara yang didapat tidak signifikan dengan suara yang didapat ketika Pemilu anggota DPRD yang lalu. Kalkulasi ini didasarkan bahwa kandidate yang diusung oleh partai sama sekali tidak ada korelasi dengan suara pemilih (silent mayority). 

Argumentasi ini sebagai bantahan asumsi yang menghitung kalkulasi politik sebagaimana sering diwacanakan para tim sukses. (2). Figur kandidate. Figur kandidate merupakan salah satu faktor penting yang menjadi pertimbangan kandidate. 

Tipikal pemilih (silent mayority) yang menginginkan figur yang “dianggap” sebagai wujud pemimpin idaman merupakan salah satu hal penting. Maka jangan heran, hampir praktis kandidate mewujudkan sebagai pemimpin agama (baca agama islam). Acara pengajian, acara keagamaan merupakan salah satu bentuk “kampanye’ yang terbukti ampuh dalam Pilkada Kabupaten. 

Tentu saja, kandidate yang berlatar belakang agama islam yang “mumpuni”mempunyai peluang yang lebih besar dibandingkan dengan kandidate yang berlatar belakang sekuler. (Walaupun Hipotesis Geetz didalam meneropong tipologi masyarakat Indonesia kedalam bentuk seperti Islam (santri/abangan), nasionalis, hipotesis yang sering digugat kebenarannya). 

Kandidate yang diidentifikasi sebagai pemimpin yang bersih, birokrat tulen juga menjadi pertimbangan pragmatis dari pemilih. 

Asumsi yang penulis paparkan sekedar menjadi bahan kampanye kandidate yang akan bisa kita lihat pada pilkada. (3). Penguasaan basis-basis kongkrit. Dalam kalkulasi yang penulis lihat didalam kampanye kandidate, hampir praktis, kandidate tidak mempunyai data yang kuat untuk melihat basis-basis kongkrit dukungan kepada kandidate. 

Tipologikal masyarakat Jambi yang heterogen menjadi persoalan dalam kalkulasi politik di Jambi. Berbeda di Jawa. Di kantong-kantong NU, hampir praktis, figur Kiyai yang berpengaruh menjadi jaminan suara untuk meraih dukungan (vote getters). Kalkulasi itu dapat dihitung setiap pilkada pemimpin lokal. Kalkulasi yang diraih sama sekali tidak jauh berbeda dengan kalkulasi kantong-kantong pemilih (silent mayority). 

Maka, sampai sekarang, apabila para kandidate dikalkulasikan suara pemilih, tidak dapat menunjukkan angka tentatif dan kantong-kantong yang bisa diraih. Maka apabila adanya klaim dari para kandidate yang akan meraih suara yang akan diraih, tidak ada yang bisa menunjukkan suara dan kantong-kantong yang akan diraih. Apabila kita sedikit mau membongkar angka-angka yang akan bisa diraih para kandidate, maka asumsi ini didasarkan kepada terpenuhinya kepada partai modern. Asumsi ini didasarkan mesin partai yang sudah berjalan. Asumsi yang penulis sampaikan bukan semata memprediksi suara yang bisa diraih. Tapi semata-mata untuk pembelajaran demokrasi di Jambi. Kandidate HBA- Farori akan meraih suara yang cukup di berbagai daerah. Dalam diskusi penulis dengan berbagai pihak, HBA- Farori akan dapat meraih minimal 20 % dari setiap daerah di Kabupaten. Asumsi berbagai pihak, HBA- Farori akan meraih suara signifikan di Kabupaten Sarolangun harus digugat kebenarannya. Pertanyaan pertama, apakah, HBA akan meraih suara mayoritas, masih harus dibuktikan dulu kebenarannya. 

Namun yang pasti, menurut penulis, HBA sulit meraih dukungan signifikan justru di Sarolangun. Sedangkan Farori justru akan dapat mendulang suara yang cukup besar di Bungo. Selain karena sudah terbukti ketika pemilihan Pilkada Bupati yang lalu, suara yang diraih Farori cukup signifikan walaupun mungkin akan kalah dari suara yang bisa diraih oleh ZA-AT. 

 Yang menarik adalah kandidate MM-AH. Suara AH justru akan signifikan di Tanjabtim. Suara yang diraih AH di Tanjabtim dapat dibuktikan suara yang didapat di PAN baik DPRD Kabupaten, DPRD Propinsi dan suara yang diraih oleh Ratu Munawarah. 

Hitungan yang bisa diraih justru diatas 60 %. Begitu juga MM bisa meraih dukungan yang signifikan di Tebo. 

Namun yang menarik adalah, perkembangan yang signifikan dari kampanye MM-AH. Dukungan dari Bupati Batanghari dan Bupati terhadap MM-AH tidak bisa diremehkan. Bupati Batanghari berhasil menang di Batanghari (setelah mengalahkan kandidate Bupati incumbent). 

Sedangkan Bupati Muara Jambi merupakan prestasi monumental (hanya didukung oleh PAN) mengalahkan Assad Syam (Bupati Incumbent). Dua sosok ini merupakan sosok yang berhasil mematahkan asumsi politik yang justru tidak mendukung ketika Pilkada beberapa waktu yang lalu. 

 Kandidate ZA-AM akan merupakan kandidate kuda hitam yang tidak bisa diremehkan. Menurut penulis, ZA merupakan prestasi tersendiri yang berhasil menarik perhatian pemilih yang cenderung akan menilai prestasi kandidate ketika menjabat. 

Penulis subyektif mengatakan, justru ZA merupakan Bupati yang sukses dan menampakkan secara fisik keberhasilan pembangunan. Prestasi ini tidak bisa diremehkan dan akan meraih kredit tersendiri yang akan menentukan pemilih di bilik suara. Diusungnya AM sebagai satu-satu kandidate dalam Pilgub Juni ini akan meraih suara yang besar di Kerinci. Terbuktinya AM dalam Pilkada Kerinci sebagai calon independent merupakan prestasi tersendiri. 

Masuknya AM dalam putaran kedua membuktikan bahwa AM mendapat suara dalam Pilkada Kerinci. Penulis menyakini bahwa AM akan bisa meraih 60% dari suara di Kerinci. Bagaimana dengan kandidate SAS ?. 

Penulis agak sulit memetakan suara yang akan diraih. Suara yang didapat Safrial ketika Pilkada Tanjabbar sebenarnya akan bersaing ketat dengan kandidate Amir Sakib. 

Penulis meyakini bahwa Amir Sakib secara emosional akan mendukung suara kepada HBA. Agus Setyonegoro walaupun punya prestasi fenomental ketika menang dalam persidangan untuk menggugat KPU tentang Calon Independent namun belum bisa dibuktikan suara yang bisa diraih sehingga belum bisa diukur suara yang bisa diraih. 

Asumsi yang menyatakan bahwa dukungan suara bisa diraih dari komunitas Jawa sebenarnya belum bisa diukur. Penulis meyakini, suara dari komunitas Jawa akan memberikan dukungan kepada HBA. 

 Bagaimana dengan daerah lain yang akan bisa diraih SAS ?. Mungkin benar salah satu yang disampaikan oleh rekan penulis, yang menyatakan, Siapapun pemenang Pilgub, SAS akan berada di nomor empat. Pada kesempatan ini penulis akan mencoba menguraikan sedikit tentang posisi Wakil Gubernur. 

Dalam UU No. 34 Tahun 2004, kriteria wakil Gubernur mempunyai posisi yang sangat signifikan terhadap penyelenggaraan pemerintahan. 

Dalam berbagai pasal, penempatan kata-kata Wakil Gubernur mempunyai posisi yang sama dengan Gubernur. Artinya, kewenangan Wakil Gubernur akan menggantikan kewenangan Gubernur dalam setiap keputusan pelaksanaan. Secara normatif UU mengatur demikian. 

Namun hampir praktis, kewenangan Wakil Gubernur tidak mempunyai peran selama masih ada Gubernur. Penempatan Wakil Gubernur dalam diskusi politik lebih banyak ditempatkan dalam posisi ban Serep (cadangan).

 Posisi Wakil Bupati yang menggantikan Bupati pernah dialami oleh Assad Syam ketika menggantikan Bupati yang meninggal dunia di Kabupaten Muara Jambi dan Maryadi menggantikan bupati Madel karena proses hukum di Pengadilan. 

Sedangkan Antony Ziedra Abidin sebagai Wakil Gubernur justru berhadapan hukum dan meninggalkan catatan buruk di pemerintahan Jambi. 

 Dari paparan yang telah penulis sampaikan, ada beberapa catatan penting sebagai pembelajaran demokrasi di Jambi. (1). Partai harus mempresentasikan kandidate sebagai wujud suara partai yang tentu saja harus dapat dihitung kalkukasi politik untuk meraih suara. (2). Harus dihentikan cara-cara pragrmatis partai meraih suara dengan mengusung kandidate diluar partai. Partai harus mempersiapkan kader-kadernya untuk bertarung di gelanggang politik yang riil. (3) harus dibangun partai yang modern, yang diwujudkan hubungan politik antara partai dengan anggota partai. 

 Mengapa penulis memberikan perhatian yang cukup kepada Pilkada Gubernur Jambi ? Pilkada Jambi merupakan salah satu sarana untuk melihat bagaimana hukum dihormati, HAM tidak dilanggar dan yang pasti adanya jaminan terhadap hak-hak dasar bagi rakyat. Hak mendapatkan pendidikan murah, kesehatan murah merupakan kewajiban konstitusi para kandidate. 

Maka harus juga diperhatikan bagaimana issu politik tidak tenggelam dan mengalahkan hak-hak dasar bagi rakyat. 

 Namun yang pasti, kita memberikan kesempatan kepada putra-putra terbaik di Jambi untuk mengikuti pertarungan politik secara sehat. Sebagai bagian dari proses pembelajaran demokrasi, putra-putra terbaik di Jambi sudah mempersiapkan diri dan mengikuti gelanggang politik yang riil. 

Baca : 

PILKADA GUBERNUR JAMBI


 Quo vadis Jambi. Advokat, Tinggal di Jambi