Sebagai lembaga negara, kekuasaan yang diberikan kepada KPK luar biasa (superbody). KPK Mempunyai wewenang yang tidak dimiliki lembaga penegak hukum lainnya. Kewenangan itu diantaranya bisa menyadap terhadap dugaan Korupsi.
Wewenang menyadap inilah yang menghantarkan Mulyana W. Kusumah dalam kasus korupsi di KPU, Urip Tri Gunawan dalam kasus dugaan suap korupsi, dan teranyar dalam kasus alih fungsi hutan di Sumatera Selatan yang menghantarkan Amin Nasution kedalam proses hukum.
Belum lagi KPK berhasil menyeret berbagai Kepala Daerah, Direktur BUMN, mantan Menteri, anggota parlemen bahkan Pimpinan BI dalam kasus penyimpangan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI), dan dugaan suap dalam pemilihan Deputi Senior BI Miranda Swaray Goeltom.
Belum lagi harapan publik kepada KPK agar dapat membongkar “rencana busuk” dalam kasus Bank Century.
Begitu besar wewenang diberikan UU, maka upaya sistematis KPK memberantas Korupsi menimbulkan pukulan balik kepada KPK (corruptor fights back). Perlawanan baik politik maupun hukum dilakukan.
Berangkat dari pemikiran tersebut, maka penulis mengklasifikasikan berbagai modus membungkam KPK.
Menggugat melalui MK
UU No. 30 tahun 2002 merupakan salah satu undang-undang yang paling banyak digugat dalam judicial rewiew di Mahkamah Konstitusi.
Peristiwa menentukan titik nadir, ketika MK mengabulkan dimana salah satu putusannya, memerintahkan kepada Presiden bersama DPR agar memperbaiki UU NO. 30 tahun 2002.
Didalam UU tersebut tidak mencantumkan tentang kekuasaan kehakiman sehingga bisa mengakibatkan Pengadilan ad hock tindak pidana korupsi tidak mempunyai dasar hukum sebagaimana diatur didalam UUD 1945. MK kemudian merekomendasikan agar ketentuan itu dimuat dan Presiden bersama DPR diberi waktu hingga 3 tahun.
Putusan ini memang memancing reaksi publik. Sebagian kalangan menilai putusan ini agak aneh, karena tidak pernah putusan pengadilan yang memberikan kesempatan kepada Pemerintah agar diberi waktu memperbaiki kekeliruan UU No. 30 tahun 2002. Ada juga yang berpendapat, bahwa MK telah melebihi apa yang diminta oleh para pihak (ultra petita).
Namun sebagian kalangan menyambut dan menyatakan bahwa MK cukup bijaksana karena disatu sisi mengakui kekeliruan UU namun tidak mencabutnya dengan pertimbangan persoalan korupsi merupakan persoalan sistematik yang harus diberantas (extra ordinancy crime)
Terlepas dari pertimbangan MK, waktu yang diberikan agar diperbaiki UU No. 30 tahun 2002 berkejaran dengan waktu.
Apabila waktu diberikan tidak diperbaiki oleh Presiden dan DPR, maka UU No. 30 tahun 2002 menjadi tidak berlaku yang mengakibatkan keberadaan KPK menjadi tidak berlaku lagi.
Upaya ini kemudian dibaca “mengembalikan” Pengadilan Ad hock kepada Pengadilan Umum.
Mempreteli “kewenangan” KPK
Sinyal yang ditangkap nalar awam sejak itu semakin kuat suara dari Senayan yang ingin memangkas kewenangan KPK terutama menyangkut penyadapan dan penuntutan, bahkan sampai kapan pun ini acaman laten bagi KPK.
Presiden SBY sendiri pernah bicara kepada publik, memasalahkan kewenangan KPK yang dianggapnya terlalu besar.
Harap-harap cemas nasib apa yang bakal dialami KPK kelak?
Apakah akan senasib dengan Pengadilan Tipikor yang prestasinya fenomenal, tetapi akhirnya disubordinasi pengadilan umum?
Tragis kalau keduanya layu sebelum berkembang.
Kriminalisasi Pimpinan KPK
Namun disaat nasib UU No. 30 tahun 2002 mulai kehabisan waktu, kasus yang melibatkan petinggi KPK menghabiskan energi untuk dihadapi.
Setelah ditangkapnya Antasari Azhar, persoalan KPK tidak menjadi selesai. Justru semakin melebar. Antasasi Azhar yang kemudian memberikan testimoni kepada Polri tentang adanya dugaan korupsi di internal KPK.
Testimoni inipun menggelinding jauh. Polri kemudian melayangkan panggilan. Mereka yang dipanggil adalah empat Wakil Ketua KPK, yaitu Bibit Samad Rianto, Chandra M. Hamzah, Haryono Umar, dan M Jasin. Empat orang lainnya, Biro Hukum KPK Chaidir Ramli, Direktur Penyelidikan KPK Iswan Elmi, satgas penyelidik KPK Arry Widiatmoko, dan Rony Samtana sebagai penyidik KPK.
Rangkaian penetapan tersangka Antasasi Azhar adalah titik balik terhadap keberadaan kiprah KPK. Sebagai lembaga yang mendapat dukungan politik yang kuat, gaung KPK memberikan effek jera terhadap pelaku korupsi dan berhasil menjadikan monster yang menakutkan terhadap pelaku korupsi.
Hampir praktis, prestasi KPK telah berhasil memetakan persoalan politik dan berhasil membangun semangat perlawanan anti korupsi. Gaung besar ini tentu saja tidak dikehendaki para pelaku korupsi sehingga, setelah berbagai cara baik hukum (dengan mengajukan judicial rewiew ke MK) maupun secara politik (dengan upaya sistematis mengikis keberadaan KPK), momentum terseretnya Antasari Azhar merupakan titik balik.
Maka upaya penggembosan keberadaan KPK dirancang secara sistematis. Setelah terseretnya Antasari Azhar, maka dimulaia rangkaian panjang diperiksanya pimpinan KPK dan berbagai pucuk penting di KPK.
Rangkaian panjang ini tentu saja akan menimbulkan delegitimasi keberadaan KPK. Langkah ini kelihatan berhasil.
Karena prestasi KPK yang tetap mengusur dan melakukan penahanan beberapa pejabat yang diduga korupsi hampir praktis hanya menghiasi media massa dan tidak menyentuh riil dari pembongkaran kasus korupsi.
“Skenario rekayasa” kriminalisasi oleh Anggodo dengna berbagai aparat hukum itu yang kemudian dibaca publik ketika Mabes Polri menetapkan Bibit Chandra sebagai tersangka dalam “dugaan” main mata dengan Anggoro didalam mencabut cekal terhadap Anggoro (kakak Anggodo) dan berbagai kebijakan KPK yang kemudian dituduh oleh Mabes Polri sebagai upaya “menerima suap” dari Anggoro.
Upaya membongkar “dugaan suap” sejalan dengan upaya “kriminalisasi” terhadap KPK.
Bahkan ada kecendrungan pandangna publik yang menganggap bahwa prestasi KPK ini, hanya sekedar lips servise dan menaikkan pamor KPK yang jatuh pada titik nadir. Mengapa hal ini bisa terjadi.
Maka jawaban sudah penulis sampaikan, walaupun KPK mempunyai kewenangan legalitas dan mempunyai kekuasaan super power dalam membongkar korupsi, namun, tidak lagi mendapatkan dukungan rakyat (legitimate) dan tidak berhasil mendapatkan kepercayaan rakyat.
Namun upaya sistematis dianggap sebagai upaya “kriminalisasi” terhadap Bibit Chandra justru mendapatkan perlawanan dari publik.
Publiknya menunjukkan sikapnya baik dengan liputan media masa dan dengan dukungan 1 juta facebookers yang kemudian berhasil “mengeluarkan” Bibit Chandra dari Penahanan dari Mabes Polri. Dari dukungan publik ternyata Presiden “salah kalkulasi” terhadap dukungan publik terhadap KPK.
Presiden kemudian membentuk TIM 8 sebagai respon dukungan publik, terhadap Tim Investigasi terhadap kasus Bibit Chandra.
Dari rekomendasi Tim 8 kemudian mengeluarkan rekomendasi SP3, SKPP dan Deponeer yang pada intinya agar penegak hukum menghentikan kasus Bibit Chandra.
Pembiaran penghancuran KPK
Dikabulkannya praperadilan atas permohonan Anggodo terhadap SKPP (surat Ketetapan Penghentian Penuntutan) terhadap Bibit Chandra (pimpinan KPK).
Putusan Pengadilan Tinggi ini menguatkan putusan prapedilan tingkat pertama.
Dengan kata lain, Kejaksaan Agung yang telah menghentikan penuntutan terhadap Bibit Chandra, ternyata secara hukum tidak dapat diterima sehingga Bibit Chandra harus diperiksa di pengadilan dan berkas perkara harus dilimpahkan (Saldi Isra mendefinisikan sebagai Guncangan Gelombang Kedua, Kompas, 21 April 2010).
Anggodo adalah salah satu tokoh yang mendadak paling populer seantero jagad hukum Indonesia.
Posisinya yang begitu dominan didalam mengatur skenario “rekayasa” pimpinan KPK terlihat nyata ketika “rekaman” Anggodo dengan berbagai aparat penegak hukum yang mempunyai posisi penting “diputar” di MK.
Rekaman ini sampai sekarang tidak dapat dibantah sekalipun proses untuk membuktikannya “terbentur” dengan tembok.
Hampir praktis, nama-nama yang disebut didalam rekamana sama sekali tidak diproses secara hukum dan tenggelam dalam rimba belantara hukum Indonesia.
“Skenario rekayasa” kriminalisasi oleh Anggodo dengna berbagai aparat hukum itu yang kemudian dibaca publik ketika Mabes Polri menetapkan Bibit Chandra sebagai tersangka dalam “dugaan” main mata dengan Anggoro didalam mencabut cekal terhadap Anggoro (kakak Anggodo) dan berbagai kebijakan KPK yang kemudian dituduh oleh Mabes Polri sebagai upaya “menerima suap” dari Anggoro. Upaya membongkar “dugaan suap” sejalan dengan upaya “kriminalisasi” terhadap KPK.
Serangan bertubi-tubi terhadap upaya Mabes Polri dalam upaya “kriminalisasi” KPK kurang tepat. Dengan alasan apapun, langkah Polri memeriksa dan kemudian menetapkan tersangka pimpinan KPK merupakan bentuk dukungan nyata dari Presiden.
Dari bacaan inilah, maka penulis mendefinisikan sebagai upaya “pembiaran” dari Presiden.
“Pembiaran” oleh Presiden haruslah juga dibaca sebagai dukungan tidak langsung terhadap upaya Mabes Polri menetapkan tersangka pimpinan KPK.
Begitu juga ketika Mabes Polri kemudian melakukan penahanan terhadap Bibit Chandra.
Tarik menarik apakah Kepolisian akan menghentikan kasus ini dengan SP3 dengan “ngototnya” Kejaksaan Agung yang tetap menyatakan bahwa kasus ini memenuhi unsur namun dapat dikesampingkan dengan SKPP kemudian membuat kasus ini kemudian dinyatakan memenuhi persyaratan administrasi untuk disidangkan (P21).
Dari peristiwa ini ternyata kemudian Presiden “membiarkan” aparatur penegak hukum yang terus menggulirkan kasus ini hingga di Kejaksaaan.
Dari peristiwa ini, sebenarnya, rumitnya kasus Bibit Chandra lebih dititik beratkan kepada Presiden yang “membiarkan” kasus ini hingga bergulir jauh sampai diperiksa di Pengadilan.
“Pembiaran” Presiden ini lebih elegan kita sampaikan, daripada semata-mata kita mengkritisi kinerja Polri, Kejaksaan dan “mempelototi” Pengadilan yang sama sekali tidak ada hubungna untuk “disalahkan” daripada kasus Bibit Chandra.
Pembiaran” Presiden harus ditangkap sebagai signal contra upaya Presiden yang memimpin langsung pemberantasan Korupsi di Indonesia.
“Pembiaran” Presiden juga harus dibaca upaya pemberantasan korupsi sedang mengalami kontraksi terhadap perlawanan koruptor untuk memberangus KPK atau setidak-tidaknya “mengendalikan” KPK.
Dari paparan ini, maka sudah jelas, bagaimana para koruptor menggunakan cara-cara yang lebih canggih, penuh improvisasi, jitu dan tepat pada sasaran
Cara-cara ini harus dilawan dengan cara-cara yang canggih, penuh improvisasi pula.
Dan tentu saja apabila upaya memberantas korupsi tidak didukung oleh rakyat, maka pemberantasan korupsi hanya menjadi wacana elite yang jauh dari persoalan-persoalan rakyat yang tentu saja tidak mendapatkan dukungan dari rakyat.
Dimuat di Jambi Ekspress, 21 Juni 2010
http://www.jambiekspres.co.id/index.php/opini/13770-modus-membungkam-kpk.html