06 Juni 2010

opini musri nauli : ANGGODO MENANG


Anggodo Menang. Itu berita biasa ternyata berdampak sangat serius terhadap keberadaan Pimpinan KPK. 
Dikabulkannya praperadilan atas permohonan Anggodo terhadap SKPP (surat Ketetapan Penghentian Penuntutan) terhadap Bibit Chandra (pimpinan KPK). Putusan Pengadilan Tinggi ini menguatkan putusan prapedilan tingkat pertama. 

Dengan kata lain, Kejaksaan Agung yang telah menghentikan penuntutan terhadap Bibit Chandra, ternyata secara hukum tidak dapat diterima sehingga Bibit Chandra harus diperiksa di pengadilan dan berkas perkara harus dilimpahkan. 

 Berita yang dimuat media massa ini setidak-tidaknya menarik perhatian dalam ranah hukum berseliweran dengan berita “kekejaman zionisme” Israel dalam peristiwa Kapal “Maxi Marimara”. 

 Dalam pengamatan penulis, berita berseliweran lebih banyak bersifat “subyektif”, tidak memihak kepada fakta-fakta yang terjadi, tendensius, dan apriori terhadap pengadilan di Indonesia. 

Belum lagi berbagai pernyataan yang sering kali “salah alamat”, kurang tepat, kurang menguasai masalah dan tentu saja kita tidak mendapatkan gambaran kasus ini secara utuh. 

 Anggodo adalah salah satu tokoh yang mendadak paling populer seantero jagad hukum Indonesia. 

Posisinya yang begitu dominan didalam mengatur skenario “rekayasa” pimpinan KPK terlihat nyata ketika “rekaman” Anggodo dengan berbagai aparat penegak hukum yang mempunyai posisi penting “diputar” di MK. 

Rekaman ini sampai sekarang tidak dapat dibantah sekalipun proses untuk membuktikannya “terbentur” dengan tembok. 

Hampir praktis, nama-nama yang disebut didalam rekamana sama sekali tidak diproses secara hukum dan tenggelam dalam rimba belantara hukum Indonesia. 

 “Skenario rekayasa” kriminalisasi oleh Anggodo dengna berbagai aparat hukum itu yang kemudian dibaca publik ketika Mabes Polri menetapkan Bibit Chandra sebagai tersangka dalam “dugaan” main mata dengan Anggoro didalam mencabut cekal terhadap Anggoro (kakak Anggodo) dan berbagai kebijakan KPK yang kemudian dituduh oleh Mabes Polri sebagai upaya “menerima suap” dari Anggoro. 

Upaya membongkar “dugaan suap” sejalan dengan upaya “kriminalisasi” terhadap KPK. Upaya yang dilakukan oleh Mabes Polri ini kemudian melebar dan menyentuh kehidupan KPK. 

Hampir praktis seluruh pimpinan KPK diperiksa di Mabes dan menjalani pemeriksaan yang panjang. Tugas pokok KPK didalam memberantas korupsi kenudian tersita dan sama sekali tidak memberikan perkembangan pemberantasan korupsi. 

 Namun saat itu, sorotan tajam justru kepada Mabes Polri yang memeriksa pimpinan KPK. Polri kemudian dihujat dan hampir praktis mata tertuju,

 “seolah-olah” upaya “kriminalisasi” merupakan upaya Mabes Polri semata. Dan mata langsung tertuju kepada Susno Duaji sebagai Kabareskrim. Sejarahpun mencatat, bahwa upaya “kriminalisasi” KPK sama sekali tidak pernah dilakukan oleh Susno Duaji. 

 Serangan bertubi-tubi terhadap upaya Mabes Polri dalam upaya “kriminalisasi” KPK kurang tepat. Dengan alasan apapun, langkah Polri memeriksa dan kemudian menetapkan tersangka pimpinan KPK merupakan bentuk dukungan nyata dari Presiden. 

Dari bacaan inilah, maka penulis mendefinisikan sebagai upaya “pembiaran” dari Presiden. “Pembiaran” oleh Presiden haruslah juga dibaca sebagai dukungan tidak langsung terhadap upaya Mabes Polri menetapkan tersangka pimpinan KPK. Begitu juga ketika Mabes Polri kemudian melakukan penahanan terhadap Bibit Chandra. Namun upaya sistematis dianggap sebagai upaya “kriminalisasi” terhadap Bibit Chandra justru mendapatkan perlawanan dari publik. 

Publiknya menunjukkan sikapnya baik dengan liputan media masa dan dengan dukungan 1 juta facebookers yang kemudian berhasil “mengeluarkan” Bibit Chandra dari Penahanan dari Mabes Polri. Dari dukungan publik ternyata Presiden “salah kalkulasi” terhadap dukungan publik terhadap KPK. 

 Presiden kemudian membentuk TIM 8 sebagai respon dukungan publik, terhadap Tim Investigasi terhadap kasus Bibit Chandra. Dari rekomendasi Tim 8 kemudian mengeluarkan rekomendasi SP3, SKPP dan Deponeer yang pada intinya agar penegak hukum menghentikan kasus Bibit Chandra. 

 Tarik menarik apakah Kepolisian akan menghentikan kasus ini dengan SP3 dengan “ngototnya” Kejaksaan Agung yang tetap menyatakan bahwa kasus ini memenuhi unsur namun dapat dikesampingkan dengan SKPP kemudian membuat kasus ini kemudian dinyatakan memenuhi persyaratan administrasi untuk disidangkan (P21). 

 Dari peristiwa ini ternyata kemudian Presiden “membiarkan” aparatur penegak hukum yang terus menggulirkan kasus ini hingga di Kejaksaaan. 

 Walaupun Kejaksaan mengeluarkan SKPP, namun mengeluarkan SKPP dengan alasan sosiologis merupakan ranah yang tidak dapat dibenarkan secara hukum. Alasan sosiologis inilah yang kemudian salah satu kelemahan yang mendasar yang kemudian digugat melalui mekanisme “praperadilan”. 

Putusan “praperadilan” kemudian dikuatkan di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menyatakan bahwa SKPP tidak dapat dibenarkan secara hukum. 

 Lantas bagaimana terhadap penyelesaikan kasus Bibit Chandra ? apakah Kejaksaan tetap mengirimkan berkas untuk dapat disidangkan atau mengeluarkan wewenangnya “deponeer” , mengenyampingkan perkara untuk kepentingan umum? 

 Dari peristiwa ini, sebenarnya, rumitnya kasus Bibit Chandra lebih dititik beratkan kepada Presiden yang “membiarkan” kasus ini hingga bergulir jauh sampai diperiksa di Pengadilan. 

“Pembiaran” Presiden ini lebih elegan kita sampaikan, daripada semata-mata kita mengkritisi kinerja Polri, Kejaksaan dan “mempelototi” Pengadilan yang sama sekali tidak ada hubungna untuk “disalahkan” daripada kasus Bibit Chandra. 

“Pembiaran” Presiden harus ditangkap sebagai signal contra upaya Presiden yang memimpin langsung pemberantasan Korupsi di Indonesia. “

Pembiaran” Presiden juga harus dibaca upaya pemberantasan korupsi sedang mengalami kontraksi terhadap perlawanan koruptor untuk memberangus KPK atau setidak-tidaknya “mengendalikan” KPK. 

Dari paparan ini, maka sudah jelas, peristiwa “menangnya Anggodo” tidak tepat dialamatkan kepada Kinerja Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. 

“Menangnya Anggodo” juga harus dilihat bagaimana para koruptor menggunakan cara-cara yang lebih canggih, penuh improvisasi, jitu dan tepat pada sasaran. 

Cara-cara ini justru didukung Presiden yang “membiarkan” kasus Bibit Chandra sampai diperiksa dimuka pengadilan Cara-cara ini harus dilawan dengan cara-cara yang canggih, penuh improvisasi pula. 

Dan tentu saja apabila upaya memberantas korupsi tidak didukung oleh rakyat, maka pemberantasan korupsi hanya menjadi wacana elite yang jauh dari persoalan-persoalan rakyat yang tentu saja tidak mendapatkan dukungan dari rakyat. 

 Dimuat di Jambi Ekspress 7 Juni 2010 http://www.jambiekspres.co.id/index.php/opini/13237-anggodo-menang.html