01 Januari 2011

opini musri nauli : HUKUM DALAM PUSARAN WAKTU








Buku yang dihadirkan oleh Prof. Dr. Khudzaifah Dimyati, SH, Mhum merupakan kesempatan kita untuk mengikuti pertarungan pemikiran jurist. 

Pertarungan pemikiran ditandai dengan pemikiran besar seperti Soepomo dan Soekanto yang merepresentasikan sistem hukum nasional yang entitasnya menuju hukum adat sebagai karakter hukum nasional disatu disisi dengan Djokosutono yang fokus pemikirannya tentang hukum lebih diorientasikan pada realitas yang berkembang pada zamannya. 
Djokosutono menyatakan bahwa alam pikiran seorang ahli tidak berdiri sendiri dan tidka otonom tetapi dipengaruhi oleh suasana sekitarnya. Oleh karena itu selayaknya apabila kita menyesuaikan diri dengna masalah pembentukan konstituante dan konstitusi. 

Konsepsi ini kemudian didukung oleh Hazairin yang melakukan reformasi dengan menggunakan pendekatan pada kesatuan hukum. 

Pertarungan ini kemudian diwarnai dengan karakteristik tipologi pemikiran hukum yang dipengaruhi fenomena hukum yang melingkupinya yang bersifat transformatif. Konsepsi ini digagas dan perjuangkan oleh Satjipto Rahardjo. 

 Tiga pertarungan besar inilah yang mewarnai perjalanan bangsa dan pandangan Indonesia mengenai hukum. 

Dari titik inilah, sebenarnya buku yang dihadirkan akan mencoba menjawab berbagai pertarungan pemikiran besar. 

 Terlepas dari periodisasi yang melingkupi pemikiran besar yang ditandai dengan Periode Pasca Kemerdekaan, 

Periode Transisi (1960-1970) dan Periode Era Orde Baru – Tipologi Pemikiran Hukum Modern, pertarungan gagasan merupakan kesempatan kita untuk mengenal nama-nama jurist yang mewarnai pemikiran di Indonesia. 

Nama-nama besar dapat sejajar dengan John Locke, Montesquieu, Thomas Hobbes, Rousseau, Voltaire, Kant, Hegel, Adam Smith. Ataupun Hans Kelsen, John Agustin, H.L.A Hart. 

Mereka dengna fasih menguasai ajaran-ajaran besar mengenai manusia sebagai individu, hak-hak asasi, kebebasan, persamaan, kontrak sosial, republik, demokrasi, trias politika, konstitusi dan hukum kondrat. 

Menguasai teori hukum alam, aliran positivisme, teori hukum murni. 

 Mereka juga menguasai aliran-aliran besar seperti Individualisme, liberalisme, Kapitalisme, sosialisme dan Marxisme. 

 Yang menarik, pemikiran besar yang melatarbelakangi cara berfikir para jurist, tidak menjadikan konsepsi berfikir para jurist menjadi – meminjam istilah – tersandera. 

Para jurist yang menggugat bangunan hukum yang bermuara kepada karakter keindonesiaan. 

Dalam membangun bangunan hukum yang berkarakter keindonesian, pertarungan pemikiran Soepomo dan Djokosutono dengan Hazairin dan Satjipto Rahadjo harus dimaknai dengan konsepsi cara berfikir yang melihat Keindonesia sebagai identitas yang khas dan harus dipisahkan dengan sistem hukum nasional yang “diwariskan” dari kolonial Belanda. 

Soetandjo telah menguraikan dengan jernih tentang berlakunya hukum nasional yang diwariskan oleh kolonial Belanda. 

Dan buku yang dipaparkan Soetandjo akan memperkuat gagasan tentang pertarungan pemikiran para jurist. 

 SISTEM HUKUM 

 Problematika sistem hukum nasional ditandai dengan diterapkan berbagai sistem hukum yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. 

Menurut pengetahuan hukum, kita mengenal berbagai sistem hukum. Sebagai akibat dijajah Belanda, Belanda masih meninggalkan produk-produk hukum yang secara yuridis masih berlaku. 

Baik itu di lapangan Hukum Pidana (wetboek van strafrecht voor Indonesia), Hukum Perdata (burgelk wetboek), Hukum Dagang (wetboek van kophandel), Hukum Acara Perdata (reglement op de rechsvordering) maupun berbagai peraturan yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. 

Sistem Hukum Belanda menganut system kodifikasi sebagaimana kita mengenalnya dengan beberapa kitabnya. Sistematika yang dipakai merupakan adopsi hukum Napoleon. 

Tidak banyak perbedaan perbedaan antara system hukum Indonesia dengan Belanda. Apabila melihat secara produk hukum tersebut maka Belanda yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental mengakibatkan Indonesia dapat dikatakan juga menganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil Law System). Hukum Belanda berakar dari tradisi-tradisi hukum Indo-Jerman dan Romawi dan lewat berbagai Revolusi, mulai dari “Papal Revolution” sampai Revolusi Kaum borjuis-liberal di Perancis pada akhir abad ke 19-an. 

Dalam tata hukum Belanda, kodifikasi dan hukum kodifikasi dikenal pada masa ekspansi kekuasaan Napoleon yang menyebabkan negeri Belanda bagian dan Empinium Perancis. 

Pada tahun 1810 Kitab hukum yang terkenal dengan nama Codes Napoleon dalam hukum perdata (Code Civil), hukum dagang (Code Commerce), hukum pidana (Code Penal) diundangkan di negeri tersebut. Ketika Napoleon jatuh, Kodifikasi tetap dinyatakan berlaku. 

 Dengan demikian maka dengan berlakunya Hukum Pidana tersebut mengakibatkan secara hukum menerapkan sistem hukum Belanda yakni Eropa Kontinental (Clvi Law System) seperti Belanda, Perancis dan Jerman yang termasuk Eropa Kontinental. 

 Sementara Inggris dan Negara Jajahannya temasuk sistem hukum Anglo Saxon (Common Law System) Rusia dan beberapa Negara yang beraliran sosialis (Socialisst Law System), Beberapa negara Timur Tengah yang menganut sistem hukum Islam (Islamic Law System), dan negara ketiga di Benua Afrika yang menganut sistem Hukum Adat (Customary Law System). 

Namun Indonesia juga mengadopsi pelaksanaan hukum Kasus (Common Law system) sebagaimana terjadi di Negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon. Ini dapat kita lihat di dalam Undang-undang No 23 Tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup, UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. 

System hukum Anglo Saxon menawarkan perwakilan kelompok (class action) dan hak gugat organisasi (legal standing). UU ini juga menawarkan proses penyelesaian mediasi dan arbitrasi. 

Juga mengatur ganti rugi. Indonesia juga merumuskan sistem hukum juga terjadi pada pengakuan adanya hukum agama terutama Hukum Islam (Islam Law - Kompilasi Hukum Islam) yang termaktub dalam pelaksanaan Peradilan Agama sebagaimana diatur didalam Undang-undang No. 7 Tahun 1989. 

Juga adanya pengakuan yang meletakkan hukum adat (Customary Law System) dalam merumuskan sistem hukum Nasional. 

Dari paparan singkat inilah, penulis hanyalah memaparkan bahwa walaupun Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental, namun dalam dimensi yang lain juga mengadopsi sistem hukum yang dikenal dalam sistem hukum Anglo Saxon, pengakuan hukum agama terutama Hukum Islam dan pengakuan untuk meletakkan hukum adat dalam merumuskan sistem hukum nasional. 

 Dengan mengadopsi berbagai sistem bukum, Indonesia mengalami keanekaragaman kebijakan dalam menyelesaikan persoalan hukum. 

Berdasar politik konstitusi, maka sistem dan lembaga peradilan yang merupakan bagian distribusi kekuasaan negara menjadikan keanekaragaman bidang yudikatif. 

Pasal 24 (2) UUD 1945 menentukan, Mahkamah Agung (MA) dan MK pelaksana kekuasaan kehakiman dengan lima yurisdiksi. Empat yurisdiksi peradilan eks UU Kekuasaan Kehakiman 1970 ditransformasikan ke dalam konstitusi, yaitu peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara (TUN), dan tetap dilaksanakan MA. Wewenang dan kewajiban MK (Pasal 24C (1) UUD 1945), yang dilembagakan di luar MA, menjadi yurisdiksi peradilan konstitusi. 

 Dengan demikian, maka sistem hukum Eropa kontinental lebih dikenal sebagai “civil law” yang berangkat dari pemikiran positivisme. 

Sedangkan Anglo Saxon dikenal “common law” yang berangkat dari pemikiran social-jurisprudence. 

Sebagian juga memberikan istilah “case law. Selain itu juga, kita juga menganut sistem hukum Islam yang ditandai dengna UU No. 8 Tahun 1989. 

UU ini memberikan mandat untuk sengketa keperdataan yang beragama islam (baca Perceraian, waris dan sebagainya). 

 KESALAHAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN 

 Dengan menggunakan berbagai varian sistem hukum yang melingkupi sistem hukum nasional disatu menimbulkan keanekaragaman namun disatu sisi menimbulkan problematika pembuktian kesalahan dan pertanggungjawaban pidana. 

 Di lapangan hukum pidana, didalam sistem hukum Eropa kontinental, untuk melihat kesalahan haruslah dilihat pertanggungjawaban pelaku dilihat perbuatan dan akibat tindak pidana yang dilakukan. 

Atau dengan kata lain, pelaku harus dipersalahkan apabila melakukan perbuatan pidana. Bandingkan dengan sistem hukum Anglo saxon yang merumuskan kesalahan pelaku tidak semata-mata dilihat apakah pelaku melakukan tindak pidana namun juga dilihat tanggung jawab pelaku (strict liability).

 Konsepsi ini secara prinsip sangat berbeda dan menurut penulis inilah salah satu akar masalah Didalam berbagai sistem hukum baik hukum yang dianut di Indonesia, sistem Eropa Kontinental maupun didalam sistem hukum anglo saxon, pemidanaan haruslah dapat dilihat dari kesalahan dan dipertanggungjawabkan perbuatan seseorang. 

Dengan demikian pertanggungjawaban pidana selalu selalu tertuju pada pembuat tindak pidana tersebut. Pertanggungjawaban pidana ditujukan kepada pembuat (dader). Maka apabila orang yang melakukan tindak pidana maka pertanggungjawaban haruslah dikenakan kepada para pelaku. Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya subyek hukum pidana tersebut melakukan tindak pidana. (terjemahan bebas, DARI TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN MENUJU KEPADA TIADA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TANPA KESALAHAN, Chairul Huda, Penerbit Prenada Media, Jakarta, 2006, Hal. 39) 

 Didalam KUHP, walaupun kita mengenal telah terpenuhinya unsur didalam pasal yang dituduhkan, maka ada dua alasan menghilangkan sifat tindak pidana (Straf-uitsluitings-gronden). 

Yang pertama adalah menghilangkan sifat melanggar hukum atau “wederrchtelijkheid” atau “onrechtmatigheid” yang terdiri dari (a) keperluan membela diri atau “nodweer” didalam pasal 49 ayat (1) KUHP; (b) orang yang menjalankan perintah UU (uitlovoering van een weetlijk voorschrift) didalam pasal 50; (c) dan orang yang menjalan perintah jabatan (“uitvoering van bevoegdelijk gegeven ambtelijk bevel”) didalam pasal 51 auat (1) KUHP. 

Sedangkan yang kedua adalah yang memaafkan si pelaku (“feit d’xcuse”) Sedangkan didalam sistem hukum Common law system, berlaku asas “actus non est reus, nisi mens sit rea”. 

Suatu perbuatan tidak dapat dikatakan bersifat kriminal jika “tidak terdapat kehendak jahat” didalamnya. Bahkan Kadish dan Paulsen menafsirkan, “suatu kelakuan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa maksud kehendak jahat”. 

Dengan demikian, dalam sistem common law system, bahwa untuk dapat dipertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri seseorang tersebut. 

Dengan demikian, mens rea yang hal ini dapat kita lihat dari rujukan sistem hukum Civil law, atau dengan kata lain dapat kita sinkronkan dengan ajaran “guilty of mind”, merupakan hal yang menentukan pertanggungjawban pembuat tindak pidana. 

Dari dari sisi ini, penggunaan mens rea dalam common law sistem, pada prinsipnya sejalan dengan penerapan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” dalam civil law sistem. 

 Dari paparan yang telah disampaikan tersebut, maka secara prinsip penggunaan doktrin “mens rea” dalam sistem hukum common law sejalan dengan asas “geen straf zonder schul beginsel” dalam sistem hukum civil law. 

 Dalam berbagai wacana diskusi, penulis termasuk barisan yang konsisten menyatakan bahwa hakim di Indonesia harus berpandangan positivisme dimana ajaran in merupakan ajaran umum dalam hukum Indonesia. 

Ajaran ini merupakan terjemahan langsung dari pengembangan ajaran legalisme. Ajaran legalisme menyatakan bahwa yang dinamakan hukum adalah Undang-undang. 

 Sedangkan ajaran positivisme merupakan ajaran yang menyatakan bahwa selain UU juga adanya yurisprudensi. 

Dari titik masuk ini, maka hakim di Indonesia harus berpandangan positivisme. 

Dalam berbagai literatur yang menjadi sorotan penulis, bahwa sebagaimana diatur didalam Putusan Mahkamah Agung No. 178 K/Kr/1959 tanggal 8 Desember 1959 yang menyatakan hakim bertugas semata-mata untuk melakukan undang-undang yang berlaku dan tidak dapat menguji nilai atau keadilan suatu peraturan perundang-undangan atau pernyataan bahwa karena unsur-unsur tindak pidana yang dinyatakan dalam surat dakwaan tidak terbukti, terdakwa harus dibebaskan dari segala tuduhan menurut penulis melambangkan alam berfikir hakim didalam memutuskan perkara. 

Dengan memaparkan keanekaragaman dan problematika sistem hukum dalam sistem hukum nasional, buku yang dihadirkan Khudzaifah Dimyati terlalu sayang untuk dilewatkan. 

Buku yang diangkat dari Disertasi penulis merupakan “setitik air” didahaga kering dari kurangnya buku-buku dari pertarungan pemikiran ilmu hukum di Indonesia.