20 Januari 2011

opini musri nauli : Berbohong Menurut Hukum



Beberapa waktu yang lalu, jagat Politik Indonesia dihebohkan pernyataan pemuka agama yang menyatakan Pemerintahan telah melakukan berbagai kebohongan. Sebagai pemuka agama, suara moral yang disampaikan benar-benar membuat jagat politik Indonesia memasuki babak baru. 

Suara moral telah membangkitkan dukungan publik terhadap berbagai kebohongan yang dituduhkan terhadap rezim SBY. Pemerintahan SBY telah memaparkan berbagai angka-angka ekonomi yang tidak sesuai dengna kenyataan yang terjadi di Indonesia. Pemerintahan SBY tidak memenuhi berbagai janji politik didalam kampanye dan berbagai issu kontemporer. 

 Suara pemuka agama harus ditafsirkan kegelisahan berbagai komponen terhadap kehidupan ketatanegaraan. Suara pemuka agama dengan melengkapi data-data berbagai persoalan yang terjadi merupakan bentuk kritis dan kegelisahan pemuka agama didalam melihat kehidupan umat di sekitarnya. Suara pemuka agama haruslah ditafsirkan sebagai peran agama didalam wujud partisipasi kebangsaan Indonesia. 

 Dalam berbagai wacana kebohongan, implikasi kebohongan dalam hukum menimbulkan persoalan serius. Hukum pidana Indonesia yang berpatokan kepada alat bukti saksi mensandarkan kepada fakta-fakta yang disampaikan oleh saksi dan keterangan tersangka. 

Menurut pasal 184 KUHAP, alat bukti terdiri dari saksi, saksi ahli, surat dan keterangan tersangka. Sedangkan menurut pasal 185 KUHAP, saksi merupakan alat bukti yang utama dan terkuat. 

Posisi saksi yang begitu dominan dalam hukum acara pidana menempatkan bagaimana perlakuan saksi yang begitu ketat. Yang dimaksudkan dengan keterangan saksi adalah keterangan yang diberikan di muka persidangan. 

Harus diperhatikan apakah keterangan tersebut sama dengan keterangan yang diberikan di muka pejabat yang berwenang. Apakah keterangan yang diberikan dihadapan Penyidik maupun keterangan di hadapan Jaksa Penuntut Umum. Keterangan tersebut dibuat dalam berita acara pemeriksaan (BAP). Apabila saksi yang telah memberikan keterangan tersebut mencabut keterangannya, maka haruslah mempunyai alasan yang cukup untuk mencabut keterangan itu. Sedangkan keterangan yang diberikan di muka persidangan itulah yang menjadi alat bukti sebagaimana ditentukan dalam pasal 184 KUHAP. 

Keterangan saksi adalah keterangan yang diberikan benar-benar mengalami, melihat dan mendengar sendiri. Keterangan itu adalah keterangan yang menjelaskan tentang peristiwa pidana. Baik pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan keterangan saksi. 

Sedangkan Keterangan yang didapat dari orang lain tidak dapat menjadi alat bukti yang sah (Testimonium de audito.lihat penjelasan pasal 185 KUHAP). Satu orang yang menjadi saksi tidaklah dapat dijadikan alat bukti bagi majelis hakim untuk memutuskan tentang kebenaran peristiwa itu terjadi. Hakim haruslah mendengarkan mininal 2 (dua) orang saksi (Unus Testis Nullus Testis) sebagaimana diatur dalamPasal 185 ayat (2). 

Namun berdasarkan Putusan MA register No. 81 K/Kr/1956 tanggal 9 November 1957, “Jika terdakwa di sidang pengadilan negeri telah mengaku atas segala yang didakwakan (dituduhkan) kepadanya, maka oleh karena itu hakim cukup mendengar seorang saksi saja”. 

 Namun berdasarkan ketentuan pasal 168 ayat (1) huruf a KUHAP, “keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa”, memberikan tafsiran bahwa seseorang dalam suatu penyertaan tindak pidana untuk mengundurkan diri sebagai saksi. 

Hal ini disebabkan karena saksi mahkota adalah kesaksian seorang yang sama-sama menjadi terdakwa. Dengan kata lain saksi mahkota terjadi apabila terdapat beberapa orang terdakwa dalam suatu peristiwa tindak pidana. 

Seseorang tersebut yang telah menjadi terdakwa kemudian akan menjadi saksi terhadap terdakwa lain. Begitu pula sebaliknya. 

Padahal apabila dipandang dari Hak Asasi Manusia, memberikan keterangan sebagai saksi bagi terdakwa lain dalam perkara yang sama dan keterangan itu dapat digunakan sebagai hal yang memberatkan dirinya. 

Dengan perkataan lain sama halnya dengan cara mendapatkan suatu pengakuan dengan jalan kekerasan. Dengan demikian saksi mahkota tidak dapat didengar sebagai suatu kesaksian. 

 Kemudian haruslah diperhatikan tentang keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain. Apakah saling mendukung, berhubungan, mempunyai jalinan peristiwa yang terjadi dan apakah keterangan itu bertentangan satu dengan keterangan yang lain. 

Hubungan antara keterangan saksi dengan keterangan terdakwa. Apabila keterangan itu berbeda, karena terdakwa mempunyai hak ingkar (hak untuk menolak keterangan saksi dan mengingkari tuduhan jaksa. 

Dan juga tidak disumpah), maka hakim akan memperhatikan keterangan saksi. Kecuali Terdakwa mampu menghadirkan saksi yang meringankan (saksi ade charge). Berdasarkan atas pasal 47 jo pasal 52 Landgerecht Reglement keterangan dari seorang saksi yang diberikan di hadapan Magistrat Pembantu, yang dibacakan di sidang Pengadilan Negeri, adalah suatu alat pembuktian yang sah. Putusan Mahkamah Agung No. 167 K/Kr/1956 tanggal 15 April 1957. 

Selanjutnya adalah hubungan keterangan saksi dengan barang bukti yang diperlihatkan. Tentunya juga diperlihatkan bukti diam (silent evidence) seperti jejak jari, benda-benda yang menjadi barang bukti. 

Alasan yang disampaikan oleh saksi untuk memberi keterangan. Apakah keterangan itu dapat atau tidaknya dipercaya berdasarkan pasal 302 R.I.B terserah kepada kebijaksanan hakim. (Putusan Mahkamah Agung No. 124 K/Kr/1958 tanggal 11 November 1958) 

Dan hakim berwenang untuk tidak usah mendengar semua saksi apabila pengadilan negeri berpendapat, bahwa dalam pemeriksaan di persidangan telah terdapat cukup alat-alat pembuktian untuk menghukum terdakwa. (Putusan Mahkamah Agung No. 47 K/Kr/1956 Tanggal 25 Maret 1957.) 

Implikasi saksi berbohong Dengan berpatokan kepada keterangan saksi, hakim kemudian memutuskan suatu perkara. 

Sehingga harus dibaca, keterangan saksi yang berbohong yang tidak dapat dibantah oleh para pihak menyebabkan putusan perkara pidana ditentukan. Sehingga lebih dikenal sebagai Peradilan sesat. 

Dengan demikian Hakim selalu mengingatkan kepada para saksi untuk memberikan keterangan yang sebenarnya agar tidak salah memutuskan suatu perkara. Begitu ketatnya kriteria saksi, maka saksi yang memberikan keterangan berbohong mempunyai implikasi hukum. 

Pasal 242 KUHP memberikan kriteria yang tegas. Terhadap keterangan yang diberikan dihadapan penyidik dijatuhi pidana penjara tujuh tahun. Sedangkan didalam ayat (2), keterangan saksi yang berbohong dimuka persidangan maka dijatuhi pidana penjara 9 tahun. 

 Pengadilan Negeri Jambi pernah menetapkan dilakukannya penahanan saksi yang memberikan keterangan bohong dimuka persidangan. Terdakwa berbohong Keterangan terdakwa adalah apa terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. 

Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Berdasarkan pasal 309 H.I.R pengakuan terdakwa di luar sidang yang kemudian dicabut di sidang pengadilan dicabut tanpa alasan yang berdasar merupakan petunjuk tentang kesalahan terdakwa. (Putusan Mahkamah Agung No. 229 K/Kr/1959 tanggal 23 Februari 1960). 

 Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Pengadilan Negeri Jambi pernah memeriksa terhadap terdakwa palsu. Tidak ditanda tanganinya oleh terdakwa berita acara pemeriksaan pendahuluan yang dibuat oleh polisi, tidak mengakibatkan batalnya putusan dari pengadilan negeri yang mendasarkan putusannnya antara lain kepada proses verbal tersebut, karena hakim mempunyai wewenang untuk menghargai atau tidak berita acara polisi yang tidak ditanda tangani oleh terdakwa (Putusan Mahkamah Agung No. 122 K/Kr/1956 Tanggal 7 April 1956) 

Walaupun Didalam Hukum acara pidana, terdakwa mempunyai hak ingkar, namun hakim selalu mengingatkan terdakwa untuk memberikan keterangna yang sebenarnya. 

Selain akan memberikan pertimbangna hakim untuk memutuskan sebuah perkara, keterangan yang disampaikan yang tidak sesuai dengan fakta-fakta persidangan maka terdakwa dianggap memberikan keterangna berbelit-belit. 

Common sense dalam persidangan pidana Menurut ilmu pengetahuan hokum pidana, sesuatu tindakan itu dapat merupakan “een doen” atau “een niet doen” atau dapat merupakan “hal melakukan sesuatu” ataupun “hal tidak melakukan sesuatu”. Keterangan saksi dan keterangna terdakwa yang berbohong mempunyai implikasi serius didalam hukum. 

Keterangan bohong juga didasarkan kepada akal sehat (common sense) yang tidak berpatokan kepada keterangan didalam persidangna semata-mata, juga didasarkan kepada pembuktian yang telah diketahui oleh umum. 

Dengan sedikit menguraikan tentang berbohong menurut hukum baik keterangan saksi yang berbohong maupun keterangan terdakwa yang berbohong mempunyai implikasi yang serius. 

Dan penulis meyakini, Pengadilan adalah benteng terakhir mengungkapkan dan membongkar kebohongan. 

 Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 22 Januari 2011 http://www.jambiekspres.co.id/index.php/opini/18067-berbohong-menurut-hukum.html