04 Maret 2011

opini musri nauli : Catatan kecil masyarakat Luax XVI


Penulis sengaja menggunakan judul “catatan Kecil” semata-mata didasarkan kepada dokumen yang disampaikan masih memerlukan pembuktian ilmiah. Tulisan yang disampaikan masih jauh dari kebenaran ilmiah. 

Tulisan ini semata-mata sekedar membuka pemikiran dan perspektif untuk mengenal masyakarakat persekutuan Melayu Luak XVI. 

Tentu saja dibutuhkan waktu dan penelitian lebih lanjut untuk mempersoalkan kebenaran tulisan yang disampaikan penulis. 

 Sejarah Luak XVI bukan timbul disaat pengusulan hutan desa. Luak XVI sudah menjadi hidup dan tidak terpisahkan daripada kehidupan masyarakat di Bangko. LUAK XVI merupakan komunitas wilayah adat yang mempunyai identitas yang khas, wilayah klaim adat dan hukum yang mengatur kehidupan komunal masyarakat adat.

 LUAK XVI merupakan komunitas yang sampai sekarang masih tunduk kepada klaim wilayah adat dan menghormati hukum adat Dalam kajian ilmu hukum lebih dikenal ubi societas ibi jus yang artinya (dimana) ada masyarakat (disitu) ada hukum. 

 Pernyataan ini sengaja disampaikan sebagai kritik yang disampaikan Gerry van Klinken yang mendefinsikan bahwa keberadaan masyarakat adat “ditemukan” pada awal abad ke -20. 

 Luak Melayu termasuk rumpun kesukuan Melayu. Rumpun Melayu termasuk kedalam 9 suku yang dominan dari 650 suku di Indonesia (Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1997). 

Zulyani Hidayah didalam Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia menunjukkan terdapat lebih kurang 658 suku di Nusantara. Dari enam ratusan, 109 kelompok suku berada di belahan barat, sedangkan di Timur terdiri dari 549 suku. 300 berada di Papua. 

 Keberadaan masyarakat LUAK XVI diperkirakan sudah berada jauh sebelum masuknya kedatangan Agama-agama Besar seperti Budha, Hindu dan Islam, namun belum menemukan dokumen-dokumen untuk mendukung pernyataan tersebut. 

Prasasti-prasasti yang sampai sekarang masih banyak ditemukan dan belum bisa mendukung tentang asal-muasal masyarakat dan sejarah yang bisa menceritakan banyak tentang LUAK XVI. 

Hipotesis yang bisa disampaikan, bahwa keberadaan masyarakat LUAK XVI diperkirakan telah ada jauh sebelum kedatangan masuknya agama-agama Budha, Hindu dan Islam. Walaupun masuknya agama-agama besar, disatu sisi membuat masyarakat menghormati dan membuat masyarakat meletakkan posisi agama yang begitu dihormati sesuai dengan Seloko adat “ADAT BERSENDIKAN SYARA’, SYARA’ BERSENDIKAN KITABULLAH”, namun disisi lain ternyata masuknya agama islam menimbulkan persoalan karena budaya, dokumen yang sebelumnya berasal dari agama sebelumnya membuat budaya, atau dokumen tersebut dihilangkan dan dianggap bertentangan dengan agama Islam. 

Di satu sisi upaya ini justru membuat perjalanan panjang sejarah masyarakat LUAK XVI menjadi tercecer dan sulit menghubungkan antara periode sejarah satu dengan periode sejarah lain. 

Namun disatu sisi, di tengah masyarakat, simbol-simbol seperti “DEWO”, “NAGO” dan sebagainya tetap lekat dan menjadi simbol-simbol dari Tembo untuk menentukan wilayah kelola dan batas-batas Margo antara satu margo dengan margo yang lain. 

 Harus diakui, tercecernya periode sejarah satu dengan yang lain, membuat catatan dan dokumen menjadi hilang. Sehingga konsentrasi kita coba dilihat dari sejarah Melayu dan sejarah masuknya Islam. 

Secara umum, ada dua proses yang terjadi. Pertama, penduduk pribumi mengalami kontak dengan agama islam dan menganutnya. Proses kedua, orang-orang asing telah memeluk agama islam tinggal di suatu wilayah, kawin dengan penduduk sipil, dan mengikuti gaya hidup lokal sedemikian rupa sehingga mereka sudah menjadi orang jawa, Melayu atau suku lainnya. 

Dan apabila sedikit petunjuk yang masih ada menunjukkan, misalnya, bahwa suatu dinasti muslim telah berkedudukan mapan di suatu wilayah, maka sering kali mustahil untuk mengetahui mana yang lebih berperan di antara kedua proses itu. Sementara istilah Melayu kuno dapat dilihat dari pernyataan M.C Ricklefs “Dua buah batu nisan yang berasal dari akhir abad XIV dari Minye Tujoh di Suamtera Utara tampaknya membuktikan terus berlangsungnya peralihan budaya disana. kedua batu itu berbentuk sama, tetapi batu yang satu memuat prasasti dengan bahasa melayu kuno dan berhurufkan Sumatera Kuno, tetapi sama-sama bersifat islam. 

 Sedangkan mengenai kata Jambi dapat ditemukan pada perjalanan pelayaran kedua Maskapai Hindia Timur Inggeris yang dipimpin oleh Sir Hendry Middleton yang berhasil mencapai Ternatae, Tidore, Ambon dan Banda. Akan tetapi di wilayah ini mereka mendapat perlawanan dari pihak VOC, dan dimulailah persaingan sengit Inggeris- Belanda untuk mendapatkan rempah-rempah. 

VOC berusaha memaksakan perjanjian-perjanjian monopoli kepada para penguasa kepulauan penghasil rempah-rempah ini dan mereka sangat marah terhadap apa yang mereka namakan sebagai “komplotan penyeludup” Inggeris di Maluku. 

Selama tahun 1611-1617, Orang Inggeris juga mendirikan kantor-kantor dagang mereka di bagian-bagian Indonesia lainnya, di Sukadana (Kalimantan Barat Daya), Makassar, Jayakerta dan Jepara (Jawa) serta Aceh, Pariaman dan Jambi (di Sumatera). 

Konflik Inggeris –Belanda semakin memuncak ketika orang-orang Belanda merasa bahwa cita-cita monopoli mereka telah luput (SEJARAH INDONESIA MODERN 1200 – 2008, M.C Ricklefs, PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2008, Hal. 3) Luak XVI terdiri Margo Serampas, Margo Sungai Tenang, Margo Peratin Tuo, Margo Senggrahan, Margo Tiang Pumpung, Margo Renah pembarap. 

Hubungan antara Margo Renah pembarap, Tiang Pumpung dan Margo sanggrehan dapat dilihat dari ujaran “ Margo Renah Pembarap nenek moyangnya adalah Syeh Rajo, Syeh Baiti Nenek moyang Tiang Pumpung, Syeh Saidi Malin Samad Nenek moyang Sanggrehan”. “Gedung di Pembarap, Pasak di Tiang Pumpung, Kunci di pembarap’ Pembarap berrenah luas, Tiang pumpung berlarik panjang, Sanggrehan berhutan lebar. 

 Persatuan Wilayah Adat LUAK XVI yang terdiri 6 Margo didalam membicarakan kewilayahan, batas Margo, batas antara Margo, batas desa dalam margo dan menghubungkan antara desa satu dengna dengan lain dalam satu margo, Cara menentukan batas wilayah, baik klaim adat maupun berbagai pemetaan yang menggambarkan “wilayah kelola” dan pengaturan yang telah diturunkan turun temurun dilakukan dengan tutur dan seloko adat yang lebih dikenal dengan nama “TAMBO” 

 Mengenai istilah “Tambo”, penulis mendefinisikan tentang cara penetapan suatu wilayah berdasarkan batas-batas alam. 

Maka didalam melihat sebuah wilayah klaim adat baik Margo maupun dusun dilakukan dengan bertutur adat. Tambo ini menerangkan berdasarkan kepada tanda-tanda alam seperti nama gunung, bukit, sungai, lembah, dan sebagainya. 

Tanda-tanda berdasarkan kepada Tambo masih mudah diidentifikasi dan masih terlihat sampai sekarang. 

Bandingkan definisi yang diberikan oleh Erman Rajagukguk didalam tulisannya “PEMAHAMAN RAKYAT TENTANG HAK ATAS TANAH, Prisma, 9 September 1979, mendefinisikan Tambo “Proses pembukaan daerah baru semacarn ini diperoleh dari cerita Tambo lama Sumatera. Versi yang sama juga terjadi pada pembukaan tanah di Kalimantan sebagaimana riwayat Sultan Adam yang dituangkan oleh Abdurrahman SH dan Drs. Syamsiar Seman mengenai Undang undang Sultan Adam, dalam majalah Orientasi, nomor 2, Januari 1977. Begitu juga ketika Sri Susuhunan Paku Buwono IV ingin memperluas wilayahnya ke utara (Lihat G.A. Basit Adnan, “Tandus tanahnya, Subur Islamnya dalam Panji Masyarakat, nomor 233, 15 Oktober 1977). 

Kisah kisah tersebut diangkat oleh Sayuti Thalib SH dalam “Telah Tercipta Hak Ulayat Baru”, majalah Hukum dan Pembangunan, nomor 1, Tahun VIII, Januari 1978. Dengan Tambo inilah, suatu wilayah adat dapat diketahui, baik batas wilayah suatu Margo, antara desa satu dengna yang lain dalam satu margo dan tentu saja menghubungkan antara Margo Satu dengna margo yang lain. 

 “Klaim adat” berupa wilayah dan cara kelola yang berdasarkan Seloko dan ujaran adat sampai sekarang menjadi ingatan dan pengetahuan kolektif masyarakat didalam Luak XVI. 

Dengan Tembo dan Seloko yang diwariskan turun temurun dari generasi. (Seloko adat) Dalam dokumen resmi Pemerintah Belanda melalui Peta SCHETSKAART Residentie Djambi – Adatgemeenschappen (Marga’s) skala 1 : 750.000 telah diakui pembagian marga sebagaimana marga bagian dari LUAK XVI. 

 Daerah resapan air Kawasan hutan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari LUAK XVI di Kabupaten Merangin juga merupakan areal perlindungan bagi DAS Utama Sungai Batang Hari, yang pada umumnya merupakan huluan sungai bagi Sub DAS Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang Mesumai, Batang Tabir, Batang Tantan, Sungai Aur dan Batang Nilo Dusun atau kampung tua yang berada di sepanjang sungai tembesi yaitu : Koto Tapus, Dusun Sijori Durian Malai, Dusun Sugai Seluang, Sitinjau Alam dan Koto Mutut hingga ke Tanjung Dalam. 

Dusun tua yang berada disepanjang sungai mentenang terus kehilir menyatu dengan sungai langkup yaitu Renah Kemumu dan Tanjung Kasri. Sedangkan di sepanjang sungai siau yaitu Desa Tuo, Dusun Tanjung Berugo, Rancan hingga ke Muaro Siau. 

Sedangkan di sepanjang batang nilo seperti Desa Lubuk Birah dan Dusun Kandang Daerah suplai air Daerah suplai air menceritakan tentang hulu sungai yang bermuara di sungai Batanghari. Hulu Sungai terdiri Hulu Sungai Batang Tebo. Dari daerah kerinci di kawasan Gunung Patah Tiga (2293 mpdl) yang melewati daerah Tanah. 

 Hulu Batang Masumai berasal hulu Sungai Manau (Margo Renah Pembarap) melewati Sungai Nilo. Hulu Sungai Batang Merangin berasal dari hulu Danau Kerinci melewati Guguk (Margo Renah Pembarap) Air Batu (Margo Renah Pembarap), Dusun Baru (Margo Renah Pembarap), Dusun Kungkai terus sampai ke Bangko Batang Tabir berasal dari hulu Gunung Bungkuk (2139 mdpl), hulu bukit Turutu Mana, hulu Gunung Air Liki (1756 mdpl), Bukit Panikam Sari (668 mdpl) daerah berbatasan Kabupaten Kerinci dan Kabupaten Merangin (Margo Renah Pembarap) Batang Nilo berasal dari hulu kawasan Gunung Sedingin (1959 mdpl) daerah Desa Durian Rambun (Margo Senggrahan). 

 Batang Asai berasal dari hulu kawasan Gunung Kayu Aro (1983 mdpl), hulu peraduan gamun (1881 mdpl), hulu Sako (1909 mdpl) terus melewati Muara Talang Batang Tembesi dari hulu Gunung Tungkat, melewati Desa Tanjung Dalam (Margo Peratin Tuo), Muara Pangi (Margo ), Muara Tengayo, Rantau Jering, Rantau Begitu pentingnya keberadaan masyarakat Persekutuan Melayu LUAK XVI didalam menata dan menjaga sumber daya alam merupakan kajian yang menarik baik dilihat dari hukum adat, antropologi, geologi dan ilmu botani. 

Sudah saatnya, kajian lebih komprehensif dilakukan agar pelajaran dari alam tidak tergerus putaran zaman.