Namun, ia tidak pernah menyangka, kalimat itu bakal membuatnya dikeluarkan dari sekolah. Malah bukan hanya dia, melainkan juga dua temannya yang ikut nimbrung di status itu.
Fresta adalah siswi kelas XI di Sekolah Menengah Kejuruan Pembangunan (SMK Pembangunan) Kota Bogor di Jawa Barat. Pada tanggal 8 Februari 2011, pukul 17.54, ia menulis dua kalimat itu di statusnya.
Teman sekelasnya, Firda (17), ikut-ikutan memberi jempol pada status itu sebagai tanda menyukainya. Adapun Amelia (17) mengomentari dengan, "Hahahaha bener banget tuh". (http://edukasi.kompas.com/read/2011/03/03/22293238/Dikeluarkan.Sekolah.garagara.Facebook).
Dua hari setelah itu, wali kelasnya mendatangi rumah Fresta di Kedung Halang, Kecamatan Bogor Utara. Sang guru mengundang orangtua Fresta untuk datang ke sekolah keesokan harinya. Saat ibu Fresta, Romlah Suharti (40), bertanya, sang guru tak menjelaskan, sambil beralasan akan ada penjelasan.
Keesokan harinya, pada 11 Februari, Romlah datang bersama Fresta.
Beberapa menit di sana, ia sudah disodori selembar kertas kosong bermeterai. Manajemen sekolah meminta Fresta membuat surat pengunduran diri. Sekolah beralasan, ada perilaku Fresta yang tidak sesuai.
Apa yang terbayang di pemikiran kita setelah membaca berita diatas ?
Dalam dimensi ilmu komunikasi, publik sudah tahap anti korupsi dan menggunakan medium dunia maya sebagai perlawanan korupsi.
Dalam dimensi ini, sebenarnya, kesadaran publik sudah tahap mendidih melihat ketidaksukaan korupsi dan berbagai perangkat canggihnya.
Ilmu komunikasi juga mengajarkan, bagaimana publik menggunakan media alternatif (citizen jurnalistik). Dimensi ini juga mengajarkan, bagaimana korupsi sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan rakyat Indonesia.
Termasuk ke dunia pendidikan yang justru mengagungkan nilai-nilai anti korupsi.
Perlawanan media aternatif (citizen jurnalistik) merupakan cara ampuh mengangkat persoalan aktual dan menjadikan media protes yang tidak terbatasi sekat informasi.
Media aternatif (citizen jurnalistik) terbukti menyuarakan nurani tanpa diproteksi berbagai pranata negara.
Masih segar dalam ingatan kita, disaat bersamaan, upaya kriminalisasi terhadap pimpinan KPK, Bibit Chandra harus berhadapan dengan suara publik melalui media aternatif (citizen jurnalistik) dengan dukungan sejuta facebookers.
Dukungan sejuta facebookers terbukti effektif dan berhasil menghentikan kasus Bibit Chandra dan mengeluarkannya dari tahanan.
Media aternatif (citizen jurnalistik) juga berperan dalam kasus Prita vs RS Omni International dan berhasil menyeret RS Omni Internasional menjadi pihak yang harus bertanggungjawab.
Peristiwa terbaru Alanda Kariza (19) berbagi cerita melalui blog pribadinya tentang proses hukum Bank Century yang mendera ibunya, Arga Tirta Kirana lengkap dengan derita keluarganya setelah sang ibu ditetapkan sebagai tersangka dan harus menjalani proses persidangan.
Alanda mencurahkan kegalauhan hatinya setelah sang ibu dituntut hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp10 miliar oleh jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Selasa, 25 Januari 2011 lalu. (http://news.okezone.com/read/2011/02/09/337/422905/putri-terdakwa-century-gugat-ketidakadilan-via-blog)
Begitu pentingnya media aternatif (citizen jurnalistik) dalam politik kontemporer membuat para petinggi memperhatikan.
Lihatlah pernyataan petinggi negeri mulai dari Presiden, anggota parlemen, Komnas HAM, politisi, rakyat biasa ketika menyikap dukungan sejuta facebookers dalam kasus Bibit Chandra.
Dalam kasus Prita vis RS Omni Internasional, dukungan dunia maya membuat persoalan etika kedokteran menjadi bahan diskusi yang hangat. Hak publik mendapatkan kesehatan menjadi persoalan yang aktual.
Dari berbagai peristiwa yang telah dipaparkan, perlawanan dunia maya telah menjadi perlawanan alternatif. Media aternatif (citizen jurnalistik) terbukti effektif dan mempengaruhi konstelasi politik kontemporer.
Lantas, apakah berbagai peristiwa yang telah dipaparkan membuka mata dan pikiran guru yang melakukan cara-cara kekerasan (psikis) terhadap siswa yang melontarkan gagasan perlawanan ?
Cara-cara yang digunakan oleh pihak sekolah justru kontradiksi dan bisa berakibat perlawanan yang sengit di dunia maya.
Sekolah yang seharunsnya mengajarkan kejujuran, keterbukaan, nilai-nilai yang mengagungkan dan dapat bertindak proteksi terhadap korupsi justru diberangus.
Cara ini selain juga berhadapan dengan dukungan publik dan tenggelam dalam pusaran waktu, justru cara-cara ini akan dikenang sebagai upaya otoriter dalam melawan demokrasi.
Salut kepada Fresta yang menggunakan Media aternatif (citizen jurnalistik) dan menawarkan kejujuran dan keterbukaan.
Apapun yang terjadi, Fresta sudah menjadi ikon perlawanan dan dikenang sebagai bagian dari sejarah.