Sebelumnya kita masih ingat peristiwa, Parto “Patrio” yang melepaskan tembakan ke udara di rumah istri keduanya untuk membubarkan kerumuman wartawan yang bertanya kepada Parto setelah selama 1 bulan tidak pulang.
Belum lagi, Tessy Srimulat yang mengamuk dan mencak-mencak dikejar wartawamn infotainment. Twitter Luna Maya yang kemudian menghebohkan. Belum lagi berita yang mengabarkan tentang “video tidak senonoh” Ariel Peterpan.
Catatan panjang peristiwa yang bersinggunggan antara wartawan infotainment dengan artis semakin meneguhkan dan mempertanyakan pentingnya berita yang seharuysnya bersifat “privasi”.
Didalam tulisan pernah dimuat media massa, penulis pernah mengingatkan akan bahaya infotainment.
Bayangkan. Pada pagi hari, saat kita memulai membuka televisi, sudah disuguhi tayangan infotaiment. Jam pagi yang seharusnya memberikan kita harapan untuk menatap hari ini, sudah dijejali berbagai pernyataan miring.
Jam tayang pagi, dimana anak-anak hendak siap bersekolah juga dijejaki tayangan infotainment.
Di saat istirahat siang, dimana beban pekerjaan sejenak diistirahatkan, televisi kemudian “melaksanakan tugasnya” kembali mengulang-ulangi berita pagi ditambah sedikit bumbu (up date terakhir).
Dan itu dilakukan terus menerus hingga malam hari.
Infotaiment kemudian menjadi penilai dan penghakiman (trial by press) terhadap sebuah gosip.
Gosip kemudian dikembangkan, dibumbuhi, dihubungkan dengan berbagai klenik, menyoroti dari berbagai sudut.
Ujaran seperti “apabila sebelumnya membicarakan kepala, sekarang membicarakan perut, selanjutnya membicarakan urusan sahwat, urusan Private, urusan rumah tangga dan urusan kamar. Dalam wacana hukum, porsi yang dilakukan oleh infotaiment sudah “keterlaluan” dan tidak menempatkan diri sebagai fungsi pers.
Infotainment kemudian menjadi urusan “rumor, gosip, katanya, dan jauh dari nilai-nilai karya jurnalistik pers.
Sebagai penonton demokratis, kita mempunyai kekuasaan untuk mengganti channel apabila tontonan tidak kita kehendaki. Kita mempunyai kekuasaan “sesuka hati” kita mengganti channel.
Namun tidak semua penonton mempunyai kekuasaan sebagai penonton demokrasi.
Tidak semua penonton mempunyai siaran diluar siaran yang sudah ada disuatu daerah.
Tidak semua penonton mempunyai parabola atau televisi berlangganan. Sehingga kekuasaan sebagai penonton demokratispun “dipaksa” harus menerima tayangan yang ada didaerah itu.
Berhadapan dengan “gempuran” tayangan televisi yang nonstop menyiarkan infotainment “seakan-akan” Pemerintah kita lembek dan cenderung tidak bersuara. Pemerintah tidak berfungsi “melindungi” dari bahaya yang mengancam terhadap generasi muda dan anak-anak.
Pemerintah tidak berdaya dan keok menghadapi kekuasaan “kapitalisasi pers”.
Pemerintah kemudian sibuk hanya “mengurusi moral” daripada esensi. Kepolisian kemudian sibuk “memproses” kasus Ariel.
Kesigapan Kepolisian berbanding terbalik dengan “mengungkapkan” Kasus Ahmadiyah dan meroketnya harga pangan.
Padahal mengungkapkan kasus Ariel lebih bernuansa “urusan moral” daripada essensi kasus Kasus Ahmadiyah dan meroketnya harga pangan.
Dalam kajian sosiologi, tayangan televisi yang “memborbardir” penonton televisi melambangkan gejala-gejala sosial di tengah masyarakat.
Televisi kemudian merekam, bahwa disekitar kita, gejala kehidupan seks bebas sudah menjadi hal biasa dan tidak tabu untuk dibicarakan.
20 tahun atau 10 tahun yang lalu, membicarakan “seks” lebih banyak dibicarakan “bisik-bisik” dan cenderung tidak vulgar.
Bahkan dianggap tabu. Dengan demikian, tayangan televisi telah membuktikan bahwa telah terjadi pergeseran nilai dan norma-norma sosial di tengah masyarakat.
Dalam kaitan jurnalistik, infotaiment memang tidak tepat dikatakan sebagai karya jurnalistik.
Walaupun pekerjaan infotainment menggunakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia, namun yang esensi daripada jurnalistik, adalah obyek yang menjadi kegiatan jurnalistik tersebut (lihat Pasal 1 angka (1) UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers).
Kegiatan jurnalistik lebih menitikberatkan kepada berita yang berkaitan dengan publik.
Maka walaupun berita “Ahmad Dhani” menggunakan cara-cara jurnalistik, namun karena bersifat “gosip, urusan moral, urusan kelambu” maka tidak tepat dikatakan sebagai karya jurnalistik.
Sehingga dengan menggunakan definisi pasal 1 UU No. 40 Tahun 1999, infotainment sering dikategorikan sebagai non fakta.
Namun, sebagai bagian dari “kapitalis pers”, posisi infotainment berhasil meraup iklan yang besar dan dapat menghidupi media massa tersebut. sehingga cara-cara yang membuat berita yang berkaitan dengan infotainment menduduki porsi yang cukup besar.
Dengan demikian, maka “rahasia kamar” mendominasi dunia infotainment. Dan kita kemudian “bergegas” mengetahui “kamar artis”.
Sehingga tidak salah kemudian, penulis menjelaskan gejala-gejalan sosial sebagai “mengintip kamar artis” yang lebih bernuansa fitnah daripada isi.
Dimuat di Harian Posmetro, 8 Maret 2011
http://www.metrojambi.com/opini/5468-mempersoalkan-fitnah-daripada-isi.html