Entah itu persoalan Pilkada, tawuran antar kampung bahkan pertandingan sepakbola. Semuanya praktis diselesaikan dengan cara-cara yang brutal, barbar dan jauh dari negara bermartabat.
Rasanya masih belum lekang dari pikiran kita, ketika terjadi penusukan terhadap jemaat HKBP yang hendak beribadah di Ciketing, Bekasi. Belum lagi Sembilan rumah dan satu masjid tempat beribadah jamaah Ahmadiyah di Cisalada, Ciampea, Kabupaten Bogor, termasuk sejumlah kendaraan milik warga Ahmadiyah, habis dibakar massa.
Catatan ini belum bisa dihapus dengan catatan sebelumnya, dalam peristiwa tuduhan penistaan agama kelompok Lia Eden maupun Alqiyadah.
Di Jambi sendiri, kita masih diingatkan ajaran yang digunakan oleh Edi Ridwan yang mengikrarkan Islam Model Baru (IMB) “mengganggu” fundamental ajaran Islam
Peristiwa “pembakaran” mesjid dan rumah milik warga Ahmadiyah menambah panjang catatan kelam “kebebasan beragama (freedom of religion) di Indonesia”
Padahal Indonesia mengklaim negara yang paling banyak melakukan ratifikasi berbagai kovenan yang berkaitan dengan HAM.
Belum lagi, Indonesia sudah menempatkan diri walaupun bukan menganut paham agama (aristokratis) namun tidak juga anti agama (atheis).
Didalam pasal 29 ayat (1) dinyatakan “Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa”.
Dalam rumusan UUD 1945, rumusan penghormatan agama dapat dilihat didalam pasal 29 ayat (2) “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”
Secara rinci dijelaskan didalam pasal 28 E ayat (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Ayat (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Dengan menggunakan pendekatan konstitusi, kebebasan beragama menjadi persoalan konsitusi. Kekerasan “berkedok” agama bertentangan dengan rumusan Konstitusi yang secara panjang lebar diuraikan didalam pasal 28 E dan pasal 29 UUD 1945.
Problema semakin meruyak disaat bersamaan, negara dituntut menyelesaikan pelanggaran kebebasan beragama (freedom of religion), namun membiarkan dengan tidak membuka kepada publik upaya perlindungan kaum minoritas dengan mengusut para pelaku penyerangan dan pembakaran di Pandeglang dan Temanggung.
Negara justru seakan-akan merestui adanya Pergub yang melarang aktivitas Jamaah Ahmadiyah.
Negara kemudian mengamini sikap yang diambil kelompok mayoritas baik dengan upaya suara-suara di parlemen maupun tekanan dari ormas-ormas
Namun alih-alih menyelesaikan masalah, Negara kemudian ambigu dan cenderung membiarkan terjadinya pelanggaran kebebasan beragama (freedom of religion) (KEBEBASAN BERAGAMA DALAM DISKURSUS KONSTITUSI, Harian Posmetro, 4 Oktober 2010)
Namun, Gubernur Jawa Timur Soekarwo kemudian mengeluarkan SK Gubernur pelarangan aktivitas Ahmadiyah di Jawa Timur.
Berdasarkan UU PNPS Nomor 11 Tahun 1965 diatur, pemerintah mempunyai kewenangan melarang atau membubarkan organisasi yang meresahkan masyarakat apalagi menistakan suatu agama.
Wacana sebelumnya telah dilakukan Jawa Barat, Banten. Dan DKI Jakarta sedang mempertimbangkan untuk menerbitkan. (http://megapolitan.kompas.com/read/2011/03/04/13500052/DKI.Kaji.SK.Gubernur.Pelarangan.Ahmadiyah)
Lantas, apakah tirani mayoritas yang kemudian nyata-nyata mengingkari dan melakukan pelanggaran kebebasan beragama (freedom of religion) sebagaimana rumusan konstitusi harus menjadi sejarah kelam perjalanan bangsa ?
Waktu yang akan menjawabnya.
Jusuf Kalla di DPR pernah mengatakan “ Negara tidak bisa menghukum seseorang berdasarkan ideologi atau keyakinannya, tetapi berdasarkan tindakannya’