05 April 2011

opini musri nauli : Kematian Irzen Octa ditinjau dari Perspektif Hukum




Tewasnya Irzen Octa, seorang nasabah kartu kredit Citibank, diduga akibat kekerasan penagih utang kartu kredit di kantor mereka, kembali menimbulkan problematika di bidang hukum. Terlepas dari kematian Irzen Octa yang menguak sisi gelap bisnis kartu kredit dan menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap konsumen layanan jasa perbankan di Indonesia. 

Problematika terhadap perlindungan bisnis kartu kredit menimbulkan persoalan di bidang hukum. Perusahaan yang cenderung menggunakan “jasa” penagih utang kartu kredit disebabkan hukum Acara Perdata lambat merespon perkembangan dari transaksi elektronika. 

 Wacana kematian Irzen Octa merupakan pembuktian terhadap “terbunuhnya” kreditur kartu kredit yang cenderung menggunakan kekerasan, jalan pintas, mengabaikan hukum melalui mekanisme gugatan perdata di Pengadilan umum. Orde baru yang “mewarisi” kekerasan sudah menemukan bentuknya, dimana negara yang menjadi aktor dari pelaku kekerasan sudah bergeser kepada aktor-aktor “partikelir” menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan berbagai sengketa utang antara kreditur dan debitur. 

Kekerasan sudah menjadi watak dan pola dari jalan pintas tersebut. Terlepas dari penggunakan pola kekerasan yang digunakan bank penerbit kartu kredit, cara-cara ini sudah menjadi menu sehari-hari dari berbagai peristiwa penting dalam kehidupan sehari-hari. Momentum kematian Irzen Octa adalah puncak es dari pergumulan persoalan yang terjadi dalam sengketa utang antara kreditur dan debitur. 

Namun kematian Irzen Octa haruslah ditangkap untuk pembenahan perbaikan mekanisme penyelesaian utang piutang antara kreditur dan debitur. Menggerutu terhadap persoalan tanpa melihat akar masalah merupakan persoalan klasik yang tidak ditemukan jalan keluarnya. KEKERASAN DAN WAJAH HUKUM INDONESIA Rezim orde baru adalah rezim yang paling banyak meninggalkan kekerasan dalam setiap sendi kehidupan. Berbagai kebijakan penguasa Orba pada gilirannya berlandaskan pada prinsip keamanan politik. Inisiatif kritis lokal dipandang sebagai tindakan subversif dan ancaman terhadap integrasi nasional. Orba mengontrol proses kritis melalui lembaga negara. Lembaga militer mengawasi aktivitas masyarakat dari tingkat propinsi sampai ke tingkat desa. Lembaga militer dan aparatnya mengawasi berbagai aktivitas dari mengedit naskah pengajian sampai dengan mengawasi acara pertemuan warga. Sebagian kalangan menyebutkan dengan istilah pendekatan keamanan tradisional/tradisional security (Sosiologi Konflik, Novri Susan, 2010) Dalam berbagai analisis, Orde baru “berhasil” menurunkan dan mewariskan watak kekerasan ke berbagai lapisan masyarakat. Hampir praktis, setiap perbedaan pandangan, kemajemukan, sikap kritis selalu diselesaikan dengan “kekerasan”.

 Kekerasan merupakan wajah Indonesia pasca lengsernya orde baru. Rasanya masih ingat dalam ingatan kita, ketika kekerasan fisik di salah satu sekolah tinggi di Jakarta. Sekolah tinggi yang mengaku akan mendidik Pamong ternyata menggunakan cara-cara kekerasan yang diluar batas kemanusiaan. Cara-cara ini sebenarnya mengulangi cara-cara sebelumnya yang mengakibatkan kematian terhadap mahasiswa.

 Catatan kelam ini kemudian berulang dan diliput media massa. Kekerasan yang dilakukan orde baru, tidak bisa dipisahkan dari kejadian seperti kerusuhan Dilli, 1991, Lampung 1989, Petrus 1978-79, Malari 1994, termasuk kerusuhan Mei berdarah 13-14 Mei 1998. masih banyak catatan sejarah kelam di Indonesia yang tidak bisa dipisahkan dari kekerasan orde baru. Kekerasan orde baru di alam reformasi pun masih terjadi. Peristiwa Simpang V Aceh 2001, konflik Poso, berlarut-larutnya masalah di Papua membuktikan bahwa orde baru meninggalkan kekerasan. Peristiwa Tanjung Priok 12 April 2010 adalah bukti termuktahir kekerasan oleh negara warisan orde baru. 

Bahkan lahirnya berbagai milisi yang cenderung menggunakan kekerasan terhadap kelompok-kelompok prodem mengingatkan penulis sejarah teologi islam yang penuh benturan dan konflik. 

 Dengan menggunakan berbagai indikator, maka sudah tepat apabila dinyatakan bahwa “negara” (baca rezim orde baru) melakukan kekerasan dan mewariskan ke generasi. 

Telah menjadi fakta bahwa konflik selalu menjadi bagian hidup manusia yang bersosial dan berpolitik serta pendorong dalam dinamika dan perubahan sosial politik (Kornblurn, 2003) KEKERASAN DAN HUKUM Namun hanya menangkap dan memproses para pelaku “kekerasasan” tanpa membongkar “aktor intelektual” dari kasus ini terjadi, tidak menyederhanakan persoalan. 

Bahkan selain tidak menjadikan persamaan dimuka hukum (equality before the law), juga meremehkan akal sehat (common sense). Bank penerbit kartu kredit harus diminta pertanggungjawaban. Selain tempat terbunuhnya Irzen Octa (tempus delicti) dilakukan di ruangan Bank penerbit kartu kredit, adanya “keterlibatan” karyawan yang mengawasi “interogasi” terhadap korban, juga, cara yang dilakukan debt collector yang melakukan penagihan utang korban didasarkan adanya “perintah” tertulis dari Bank penerbit kartu kredit. Rangkaian yang dipaparkan merupakan “keterlibatan” langsung dari bank penerbit yang tidak sederhana hanya “sekedar” menetapkan para pelaku kekerasan semata. 

 Dalam kasus ini, seharusnya, “keterlibatan” Bank penerbit dapat diminta pertanggungjawaban dimuka dan diseret dimuka pengadilan. Bank penerbit baik sebagai tanggung jawab individu dari pengurus Bank juga adanya “skenario” dari Bank penerbit melakukan penagihan dengan cara-cara “kekerasan” dan menggunakan jasa debt collector, juga membuktikan adanya rangkaian unsur “bersama-sama” sebagaimana diatur didalam pasal 55 KUHP. 

Dari dimensi ini, maka “membongkar” rangkaian kejahatan kekerasan terhadap korban harus diusut tuntas dan tidak semata-mata sekedar “lips servise” dari peristiwa pidana. Didalam lapangan hukum pidana, pada prinsipnya yang bisa diminta pertanggungjawaban pidana adalah orang (naturalij recht).

 Walaupun banyak sekali peraturan diluar KUHP yang telah mengakui pertanggungjawaban badan hukum (recht person), namun hanya orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Didalam rumusan KUHP, secara tegas adanya kata-kata “barangsiapa” (Hij die). 

Jelaslah, hanya manusia yang bisa dipertanggungjawabkan. Ketentuan normatif ini berlaku secara universal. Sekarang bagaimana untuk meminta pertanggungjawaban perbuatan yang dilakukan bersama-sama (penyertaan/deelneming). 

Utrecht mengatakan bahwa “pelajaran umum turut serta ini justru dibuat untuk menuntut pertanggunjawaban mereka yang memungkinkan pembuat melakukan perbuatan pidana, biarpun perbuatan mereka itu sendiri tidak memuat semua anasir peristiwa pidana tersebut”. dengan demikian, prinsip pertanggungjawaban pelaku tindak pidana juga dapat diminta pertanggungjawaban terhadap perbuatan penyertaan (deelneming). 

 Berangkat dari konsepsi itu, maka orang yang terlibat dalam kerja sama yang mewujudkan tindak pidana, perbuatan masing-masing dari merek berbeda satu dengan yang lain, demikian juga tidak bisa sama apa yang ada dalam sikap bathin mereka terhadap tindak pidana maupun peserta yang lain. 

Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu terjalinlah suatu hubungan yang sedemikian rupa eratnya, yang semuanya mengarah pada satu ialah terwujudnya tindak pidana. 

Karena berbeda perbuatan antara masing-masing peserta yang terlibat, sudah tentu peranan atau andil yang timbul dari setiap perbuatan masing-masing menjadi berbeda (Adam Chazawi, Penyertaan, 2008).

 Begitu banyak teori-teori yang melihat pertanggungjawaban pelaku penyertaan dalam tindak pidana. Namun secara prinsip penyertaan dapat dilihat dalam ajaran subyektif dan ajaran obyektif. 

Ajaran subyektif memberikan ukuran bahwa orang yang terlibat berkehendak mempunyai tujuan dan kepentingan yang paling besar, dialah yang dibebankan tanggung jawab pidan. 

Sedangkan ajaran obyektif, yang menitikberatkan pada wujud perbuatan apa serta sejauh mana peran dan andil serta pengaruh positif dari wujud perbuatan itu. 

 Dihubungkan dengna pertanggungjawaban pidana, maka sistem yang berasal dari hukum romawi menyatakan bahwa setiap orang yang terlibat bersama-sama dipertanggungjawabkan sebagaimana melakukan pebuatan itu sendiri (dader). Sedangkan didalam sistem yang berasal dari Italia, berat atau ringannya dilihat dari wujud hasil tindak pidana. Setelah sekilas kita memperhatikan teori penyertaan, siapakah yang dimaksud dengan mereka yang melakukan (zij die het feit plegen), maka bentuk penyertaan dapat dilihat didalam pasal 55 dan pasal 56 KUHP. 

Didalam rumusan pasal 55 dibedakan antara mededader (para peserta, para pembuat). Kelompok ini terdiri dari orang yang melakukan (plegen), yang menyuruh melakukan (doen plegen), turut serta melakukan (mede plegen), sengaja menganjurkan (uitlokken). 

Sedangkan didalam rumusan pasal 56 dikenal istilah Pembuat pembantu (medeplichtige). Untuk membedakan para pembuat (mededader) dengan medeplichtige), mededader secara langsung turut serta dalam pelaksanaan tindak pidana, sedangkan pembuat pembantu hanya memberi bantuan yang sedikit. (MvT WvS Belanda). 

 Uraian ini sedikit membantu kita untuk melihat bagaimana perbuatan pidana itu terjadi dan bagaimana diminta pertanggungjawaban pidana kepada para pelaku. 

 Dan penulis berkeyakina, pihak aparat keamanan dapat menyeret para pelaku dengan melihat paparan yang telah penulis sampaikan. TUMPULNYA MEKANISME GUGATAN PERDATA Mengapa Bank penerbit kartu kredit menggunakan “cara-cara kekerasan” didalam menyelesaikan utang piutang antara kreditur dan debitur ? 

 Mekanisme utang piutang antara kreditur dengan debitur diselesaikan di Pengadilan umum yang biasa dikenal dengan “wanprestasi. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa. 

Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu: 1) Tidak memenuhi prestasi sama sekali; 2) Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya; 3) Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru. Sedangkan menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu: 1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan; 2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya; 3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat; 4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. 

 Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian. 

Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. 

Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi. 

 Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa: “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling). 

Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi. Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis. 

 Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fatal termijn), prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya wanprestasi. 

 Gugatan disampaikan di Pengadilan umum dalam acara Perdata. Memang harus diakui, gugatan perdata masih diatur didalam Hukum Perdata (burgelk wetboek) peninggalan kolonial Belanda. Berlarut-larutnya mekanisme gugatan perdata membuat para pihak Bank “skeptis” menggunakan cara ini. 

Menurut Ketua Mahkamah Agung, Harifin Tumpa, melansir data perkara tahun 2010 yang berjumlah 13.480 perkara kasasi dan peninjauan kembali yang masuk ke MA. Rinciannya, perkara perdata umum berjumlah 7.915 perkara (35,47 persen), perdata khusus 1.655 perkara (7,42 persen), pidana umum 3.965 perkara (17,77 persen), pidana khusus 5.025 perkara (22,52 persen), peradilan agama 982 perkara (4,04 persen), peradilan TUN 2.475 perkara (11,11 persen), dan peradilan militer 373 perkara (1,67 persen) (www.hukumonline.com). 

 Dari titik inilah, maka Bank penerbit kartu kredit “enggan” menggunakan mekanisme gugatan perdata dan cenderung menggunakan cara-cara praktis dengan cara “menyewa” debt collector untuk menyelesaikan utang piutang kreditur dengan debitur. Walaupun cara ini tidak dibenarkan oleh hukum, namun hukum kurang memberikan porsi untuk menyelesaikan persoalan ini. 

 Sudah saatnya, peristiwa kematian Irzen Octa selain membongkar “kejahatan” dan perlindungan terhadap konsumen kartu kredit juga memberikan mekanisme gugatan sederhana, cepat untuk menyelesaikannya. Pemerintah dan DPR dapat membuat peraturan yang memungkinkan untuk dapat menyelesaikannya. 

 Dimuat di Harian Posmetro, 6 April 2011 http://www.metrojambi.com/opini/6824-kematian-irzen-octa-ditinjau-dari-perspektif-hukum.html