29 Mei 2011

opini musri nauli : AGAMA DAN KONSTITUSI

AGAMA DAN KONSTITUSI 

Menurut konstitusi, Indonesia telah memposisikan dirinya sebagai negara hukum (rechtsstaat) yang sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). 

Meminjam istilah Notohamijoyo “Negara hukum adalah negara yang menempatkan kekuasaan tertinggi pada hukum bukan pada seorang penguasa absolut”. 

 Prinsip ini telah berlangsung sejak tahun 1945 di mana pertama kali UUD 1945 disusun dan diberlakukan. Sebagai pernyataan politik dan ikrar komitmen pendiri Republik (Founding Father) pernyataan tersebut tidak usah diragukan. 

Bahkan didalam Penjelasan Undang-undang Dasar 1945, telah tegas dijelaskan. Sejak Indonesia merdeka, pemerintah RI telah mengeluarkan berbagai macam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum. “Ide Negara Hukum, terkait konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’. 

Negara Hukum, yang asal katanya adalah “rechtsstaat”, yang di dalam pencantumannya yaitu dalam Penjelasan UUD 1945 - sampai sekarang pun masih menggunakan kata dan bahasa Belanda tersebut, termaktub dalam konstitusi Republik Indonesia sebagai ide dasar sistem pemerintahan republik ini. 

 Melihat “rechtsstaat”, dalam kamus besar bahasa Belanda adalah “staatsvorm die het recht air hoogste gezag handhaafl” 

Artinya, bahwa negara hukum seperti yang dimaksudkan oleh founding fathers negeri ini, sebuah bentuk negara (pemerintahan) yang menggunakan hukum sebagai kekuasaan pengatur yang tertinggi. 

 Pandangan Mr. IC. Van Der Vlies tentang negara hukum adalah tindakan pemerintah berdasarkan undang-undang. 

Asas ini mengandung pengertian “wetmatigheid” yang merupakan jaminan atas tindakan pemerintah yang dikatakan “rechmatigheid”. 

Untuk mewujudkannya, maka pembentukan undang-undang yang dirancang harus memenuhi asas-asas pembentukan peraturan yang baik. 

 Lev sendiri menilai adanya perbedaan ini oleh karena pengaruh ideologi “Rechsstaat” yang berkembang di Eropa Continental tumbuh di wilayah birokrasi sentral yang kuat dan tidak dapat begitu mudah didobrak oleh kaum borjuasi. 

Mereka hanya dapat menghimbau agar diberikan konsensi. Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropa Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. 

Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”. 

Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu : (1) Perlindungan hak asasi manusia,(2) Pembagian kekuasaan, (3) Pemerintahan berdasarkan undang-undang, (4) Peradilan tata usaha Negara. Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law“, yaitu : (1) Supremacy of Law. (2) Equality before the law. (3) Due Process of Law. 

Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang. 

 Menurut Jimly Assidiq, “The International Cominission of Jurist“, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. 

Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut “The International Cominission of Jurists” itu adalah (1) Negara harus tunduk pada hukum. (2) Pemerintah menghormati hak-hak individu. (3) Peradilan yang bebas dan tidak memihak. Negara hukum berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dan perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. 

Yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. 

Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. 

Dalam istilah Inggeris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “The Rule Of Law, And Not Of Man “. 

Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang. 

Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa lnggeris dengan judul “The Laws”4, jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dan zaman Yunani Kuno. 

 Sementara, ideologi Rule of Law secara histonis terbentuk di Inggris berkat pengaruh golongan kelas menengah yang menguasai parlemen dan birokrasi kerajaan yang relatif lemah. 

Sebagai akibatnya, kecenderungan prosedural Common Law lebih menguntungkan pihak swasta, sedangkan Civil Law berkecenderungan menguntungkan negara. Lihat Daniel S. Lev, “Hukum dan Politik Di Indonesia : Kesinambungan dan Perubahan”, LP3S, Jakarta, 1990, hal. 416. 

 Walaupun kita juga menganut sistem hukum Islam yang ditandai dengna UU No. 8 Tahun 1989 (UU ini memberikan mandat untuk sengketa keperdataan yang beragama islam (baca Perceraian, waris dan sebagainya) namun konstitusi telah menegaskan, Indonesia bukan Negara agama/teokrasi (apalagi agama tertentu). Konstitusi menghargai umat beragama (lihat rumusan pasal 29 UUD 1949), namun Negara tidak boleh menentukan sah/tidak sebuah keyakinan. 

 Dengan menguraikan berbagai penjelasan tentang konstitusi, maka menjadi persoalan konstitusi, penetapan Negara menentukan sah/tidaknya sebuah keyakinan. 

Dari ranah ini, maka penetapan Gubernur (dalam wacana) dengan Peraturan Gubernur mengenai Ahmadiyah menjadi persoalan yang serius dan mengganggu tatanan ketatanegaraan di Indonesia. 

 Terlepas dari persoalan Ahmadiyah (penulis tidak memberikan apresiasi untuk menentukan sah/tidaknya aliran Ahmadiyah), penetapan Gubernur dalam membuat aturan memiliki implikasi serius dalam konstitusi. UU No 32 Tahun 2004 selain tidak memberikan kewenangan menentukan persoalan agama (kekuasaan Pemerintah Pusat diberikan kepada daerah kecuali Politik luar negeri, moneter, hokum, mata uang, HAM dan agama), Pemerintah Daerah juga menabrak konstitusi yang bisa dianggap sebagai upaya serius dan berhadapan dengan Negara dan konstitusi. 

Dari ranah ini, maka wacana penetapan Gubernur mengenai aliran Ahmadiyah haruslah menjadi perhatian. 

 Sudah seharusnya, lebih bijak, persoalan agama diserahkan kepada pemeluknya dan Negara tidak bisa “intervensi” sebuah keyakinan yang bisa berdampak kepada kehidupan penduduk. 

Sudah seharusnya, Pemerintah Daerah “mengurusi” tugasnya sebagaimana wewenang telah diberikan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. 

Sudah seharusnya, persoalan ekonomi dan infrastruktur yang menjadi persoalan rakyat lebih diutamakan daripada mengurusi aliran Ahmadiyah selain menjadi persoalan konstitusi yang serius juga bertentangan dengan HAM dan demokrasi. 

 Dimuat di Harian Posmetro Jambi, 31 Mei 2011 http://www.metrojambi.com/opini/9114-agama-dan-konstitusi-.html