29 Mei 2011

opini musri nauli : TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PRAKTEK PERADILAN



Entah bagaimana mesti kata-kata yang bisa diungkapkan untuk mengungkapkan kata-kata jengkel terhadap berbagai tindak pidana korupsi di Indonesia. 

Dari segala lapisan, pelaku, sector dan berbagai kehidupan, praktis tidak pernah lepas dari praktek korupsi. 
Sektor agama yang mestinya mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan ibadah dan urusan “surgawi” tidak juga terlepas dari urusan praktek “kotor”. 

Masih terbayang dalam ingatan kita, mantan Menteri Agama yang dituduh “menilep” dana abadi Haji. 

Begitu juga sector pendidikan. Urusan yang mengurusi dan berdampak kepada pendidikan (sector masa depan) tidak lepas dari praktek ini. 

Maka, jangan tanya sector diluar daripada sector Agama dan sector pendidikan yang tidak bisa terpisahkan dari berbagai praktek. Sehingga tidak salah apabila disampaikan “Buya” Ahmad Safii Maarif. 

Sudah lengkap sector tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia. Begitu juga dengan berbagai sector ketatanegaraan. Dimulai dari mantan Menteri (sekarang malah mulai diperiksanya Menteri Pemuda dan Olahraga dalam issu panas pembangunan “Wisma Atlet” untuk Sea Games), Gubernur, Bupati dan beberapa issu lainnya. 

Belum lagi Kepala Dinas, Kepala Kantor di berbagai daerah di Jambi. Catatan ini sekedar menggambarkan, bagaimana kronis-nya dampak dari praktek korupsi. 

Namun catatan ini apabila kita perhatikan lebih seksama, maka berita kasus-kasus korupsi menutupi berbagai praktek korupsi yang sebenarnya. 

Dalam pengalaman praktek persidangan dan pengamatan terhadap perkara korupsi, hampir praktis, kasus-kasus yang disidangkan tidak menyentuh subsansi kasus yang ada. 

Harus diakui, para pelaku yang disidangkan, tidak terlepas daripada praktek tersebut. Tapi menentukan pelaku dan menjawab dimensi praktek korupsi merupakan dua hal yang terpisah. 

Dalam praktek, kasus-kasus yang disidangkan, cenderung disebabkan bukan semata-mata pelaku yang dituduhkan melakukan tindak pidana. 

Namun cenderung, para pelaku tidak lagi mendapatkan akses terhadap kekuasaan yang bisa melindungi dan para pelaku merupakan “orang kecil” yang semata-mata kesalahan yang terjadi merupakan kesalahan prosedur dalam administrasi proyek. Atau dengan kata lain, para pelaku yang disidangkan merupakan para pelaku yang “sekedar” report dari penegak hokum. 

 Dari dimensi inilah, “rasa” ketidakadilan sering diteriakkan. Rasa ketidakkeadilan inilah yang kemudian mewarnai headline berbagai pemberitaan media massa. 

 DISKRIMINASI PERKARA 

 Masih segar dalam ingatan kita, berlarut-larutnya pemeriksaan terhadap “petinggi” dalam kasus PLTD Sungai Bahar di Muara Jambi. 

Berlarut-larutnya pemeriksaan dengan “alasan pemeriksaan memerlukan izin dari Presiden” merupakan wacana yang menjadi perdebatan panjang baik sebelum perkara ini digelar hingga putusan Kasasi turun. Lembaga penegak hokum “terjebak” dalam aturan normative pasal 36 UU No. 32 Tahun 2004. 

Padahal aturan itu juga harus diterjemahkan dan ditafsirkan “memerlukan izin dari Presiden”, tapi juga mengatur “pengajuan permohonan izin yang memerlukan waktu hingga 60 hari” (lihat pasal 36 ayat 2 UU No. 32 Tahun 2004). 

 Sehingga tidak salah apabila dalam peristiwa ini dapat dikatakan terjadinya “diskriminasi” perkara yang mengabaikan fakta-fakta yang berkaitan dengan peran pelaku tindak pidana. 

 KEWENANGAN PENYIDIKAN PERKARA KORUPSI 

 Mengutip pendapat yang disampaikan oleh pakar hokum pidana, Dr Sahuri dalam berbagai media massa, kewenangan penyidikan merupakan kewenangan yang terdapat penyidik. 

Dalam KUHAP diterangkan, penyidik adalah pejabat Polri atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh UU. Dalam Tindak pidana kehutanan menjadi kewenangan Kepolisian dan Kehutanan, tindak pidana narkotika menjadi kewenangan Kepolisian dan BNN. 

Belum lagi, hampir setiap instansi mempunyai penyidik melakukan penyidikan terhadap kejahatan tertentu. Dalam tindak pidana korupsi , kewenangan penyidik terdapat didalam UU Kepolisian dan UU KPK. 

Namun menurut Dr. Sahuri, kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi tidak terdapat didalam UU Kejaksaan maupun tindak pidana korupsi baik didalam UU No 31 Tahun 1999 maupun UU No. 16 Tahun 2004. 

Dengan tegas, Dr. Sahuri mendalilkan, kejaksaan tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. 

 Namun dalam praktek, sudah jamak diketahui, bahwa tindak pidana korupsi sering dilakukan penyidikan oleh Kejaksaan. Hampir praktis Kepolisian jarang melakukan tindak pidana korupsi (sekedar catatan, perkara korupsi yang dilakukan penyidikan oleh Kepolisian dalam kasus dermaga Ponton di Sarolangun tahun 2004 dan sekarang Polda Jambi masih melakukan penyidikan dalam kasus anggota DPRD Kota Jambi dalam kasus “bagi-bagi duit” dan belum disidangkan). 

Praktek yang sering terjadi “bertentangan” dengan peraturan perundang-undangan namun “seakan-akan” menjadi toleran. 

Meminjam istilah seorang hakim, jangan “membenarkan perbuatan sudah menjadi biasa, tapi membiasakan berbuat yang benar” 

 Dalam dimensi ini, memang diperlukan “revolusi besar” untuk memandang tindak pidana korupsi sehingga tidak bertabrakan dengan berbagai peraturan perundang-undangan. 

Hukum tidak semata-mata sebagai “alat penghukum” tapi juga menjunjung asas “kepastian hokum” dan “keadilan hokum”. 

 KESALAHAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA 

 Banyak praktek yang mengabaikan hokum acara hokum pidana yang cenderung menggunakan pendekatan “legalitas-formal” untuk menentukan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana. (Penulis sengaja menggunakan istilah “legalitas-formal” dengan “tanda kutip sekedar menggambarkan putusan hakim yang mengabaikan hokum acara pidana). 

 Padahal Hukum Pidana bertujuan untuk mencari keadilan yang materiil yaitu keadilan yang sebenar-benarnya. 

Dengan argumentasi tersebut, maka terhadap alat bukti sebagaimana diatur didalam pasal 184, haruslah mempunyai kekuatan dasar yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Tindak pidana korupsi tidak adanya korban kejahatan secara langsung, sebagaimana doktrin dalam hukum pidana, maka “NO VICTIM, NO CRIME (TIADA KORBAN, TIADA KEJAHATAN). 

Dengan demikian, unsur “kerugian negara” merupakan unsur utama dalam pembuktian tindak pidana korupsi. Padahal prinsip dari dalam tindak pidana korupsi adalah kerugian negara, maka penghitungan kerugian negara mempunyai dasar yang kuat untuk melakukan penghitungan kerugian negara. 

Dalam praktek peradilan pidana, saksi ahli yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut umum saksi yang berasal dari BPKP. Keberadaan BPKP diatur didalam Keppres No. 103 Tahun 2001 pasal 52 – pasal 54. Pasal 52 – 54, BPKP tidak berwenang untuk melakukan penghitungan kerugian negara. 

Bandingkan rumusan didalam pasal 10 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2006 Tentang BPK dinyatakan “BPK menilai dan atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”. 

Sedangkan dipasal 11 huruf c “BPK dapat memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara. Apabila kita perhatikan dengan seksama, maka BPKP berdasarkan ayat 52 sampai dengan ayat 54 Keppres No. 103 Tahun 2001 tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penilaian dan atau menetapkan jumlah kerugian negara. 

Yang berwenang untuk melakukan penghitungan ini hanyalah BPK sebagaimana diatur didalam pasal 10 ayt (1) dan pasal 11 UU No. 15 Tahun 2006. Dengan demikian, saksi ahli BPKP yang dihadirkan oleh jaksa Penuntut Umum tidak berwenang untuk melakukan penghitungan kerugian negara. 

Dengan demikian keterangan saksi ahli BPKP tersebut tidak dapat didengar dimuka persidangan. 

 Dari pengalaman praktek peradilan pidana dan pengamatan yang telah disampaikan oleh penulis, sudah seharusnya kita menghentikan “cara-cara” mengadili kasus korupsi bertentangan dengan berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Cara-cara ini selain akan menimbulkan “perdebatan” dalam ilmu hokum, juga akan menimbulkan “ketidakadilan” yang sering diteriakkan terdakwa. Dari dimensi inilah, mengadili kasus korupsi juga tidak boleh bertentangan dengan HAM. 

 Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 29 Mei 2011