Pada saat Panitia Pelaksana menawarkan gagasan untuk membicarakan ”Mempertegas Supremasi Hukum dalam proses impeachment” dalam kegiatan focus Group Discussion (FGD), pemilihan kata ”impeachment” menimbulkan perbedaan mendasar dengan istilah ”pemakzulan” dan istilah ”pemberhentian Presiden” menurut UUD 1945.
Istilah impeachment berasal dari kata “to impeach”, yang berarti meminta pertanggungjawaban. Jika tuntutannya terbukti, maka hukumannya adalah “removal from office”, atau pemberhentian dari jabatan. Dengan kata lain, kata “impeachment” itu sendiri bukanlah pemberhentian, tetapi baru bersifat penuntutan atas dasar pelanggaran hukum yang dilakukan.
Oleh karena itu, dikatakan Charles L. Black, “Strictly speaking, ‘impeachment’ means ‘accusating’ or ‘charge’.” Artinya, kata impeachment itu dalam bahasa Indonesia dapat kita alih bahasakan sebagai dakwaan atau tuduhan
Lebih jelas, menurut Marsilam Simanjuntak, impeachment adalah: “Suatu proses tuntutan hukum (pidana) khusus terhadap seorang pejabat publik ke depan sebuah quasi pengadilan politik, karena ada tuduhan pelanggaran hukum sebagaimana yang ditentukan Undang Undang Dasar.
Hasil akhir dari mekanisme impeachment ini adalah pemberhentian dari jabatan, dengan tidak menutup kemungkinan melanjutkan proses tuntutan pidana biasa bagi kesalahannya sesudah turun dari jabatannya”.
Dengan demikian nyatalah bahwa impeachment berarti proses pendakwaan atas perbuatan menyimpang dari pejabat publik. Pengertian demikian seringkali kurang dipahami, sehingga seolah-olah lembaga “impeachment” itu identik dengan ‘pemberhentian’.
Padahal proses permintaan pertanggungjawaban yang disebut impeachment itu tidak selalu berakhir dengan tindakan pemberhentian terhadap pejabat yang dimintai pertanggungjawaban .
Sedangkan istilah Pemakzulan adalah sebuah proses dari sebuah badan legislatif yang secara resmi menjatuhkan dakwaan terhadap seorang pejabat tinggi negara. Pemakzulan bukan selalu berarti pemecatan atau pelepasan jabatan, tetapi hanya merupakan pernyataan dakwaan secara resmi, mirip pendakwaan dalam kasus-kasus kriminal, sehingga hanya merupakan langkah pertama menuju kemungkinan pemecatan.
Saat pejabat tersebut telah dimakzulkan, ia harus menghadapi kemungkinan dinyatakan bersalah melalui sebuah pemungutan suara legislatif, yang kemudian menyebabkan bisa diturunkan atau tidak .
Dengan menggunakan pendekatan istilah “Impeachment” dan istilah ”pemakzulan” yang pada dasarnya “hanya mendakwa”, maka penggunaan istilah “Impeachment” dan istilah “pemakzulan” dihubungkan dengan tema yang ditawarkan “Mempertegas Supremasi Hukum dalam Proses Impeachment”, maka penulis menyampaikan tidak semata-mata dalam proses “Impeachment dan “pemakzulan”, tapi terhadap akibat “Impeachment” dan “pemakzulan” tersebut.
Atau dengan kata lain, “impeachment atau “pemakzulan” memerlukan proses lebih lanjut. Dengan demikian, maka penulis tidak menggunakan istilah “Impeachment” atau istilah “pemakzulan”.
Kemudian penulis menghubungkan tema yang ditawarkan oleh Panitia Pelaksana yang menawarkan gagasan untuk membicarakan ”Mempertegas Supremasi Hukum dalam proses impeachment” maka judul yang diberikan “NEGARA HUKUM DAN PEMBERHENTIAN PRESIDEN/WAKIL PRESIDEN MENURUT UUD 1945”
Dalam politik kontemporer, jatuhnya Presiden Soekarno pada tahun 1967, karena ditariknya mandat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) melalui Ketetapan (Tap) MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 hanya dengan alasan mayoritas anggota MPRS tidak menerima pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno, yang dinamainya Nawaksara, mengenai sebab-sebab terjadinya peristiwa G 30S/PKI .
Sedangkan Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2001, dengan argumen Presiden Abdurrahman Wahid dinilai telah melakukan pelanggaran hukum dan konstitusi, para anggota DPR kemudian mengajukan usulan memorandum yang memang diatur oleh TAP MPR Nomor III/MPR/1978. Memorandum kepada presiden itu untuk meminta keterangan dalam kasus Buloggate dan Bruneigate.
Keterangan yang disampaikan oleh presiden dalam Memorandum Pertama ditolak oleh mayoritas anggota DPR yang berakibat harus dilakukan Memorandum Kedua. Namun pada Memorandum Kedua ini keterangan presiden tetap ditolak oleh mayoritas anggota DPR. Dalam situasi yang seperti itu, konflik politik antara presiden dan DPR menjadi tajam.
Dalam posisi politik yang semakin terjepit dan kelanjutan kekuasaannya terancam, Presiden Abdurrahman Wahid pun lalu mengambil langkah politik mengeluarkan Dekrit Presiden yang menyatakan membubarkan parlemen dan akan segera melakukan pemilihan umum.
Langkah politik presiden itu dibalas oleh mayoritas anggota DPR dengan tidak mengakui Dekrit Presiden tersebut dan kemudian melakukan Memorandum Ketiga yang dipercepat dengan agenda mencabut mandat terhadap presiden (impeachment) .
Meskipun tidak ada aturan yang jelas mengenai impeachment baik karenanya penarikan mandat oleh MPRS terhadap Presiden Soekarno dan MPR terhadap Abdurrahman Wahid menunjukkan bahwa dalam praktik ketatanegaraan Indonesia pernah terjadi impeachment terhadap presiden.
Dalam kajian ini lebih tepat penulis mendefinisikan sebagai pendekatan politik an sich
Untuk mempertegas proses pemberhentian Presiden/wakil Presiden menurut UUD 1945 tentu saja tidak dapat dilepaskan landasan konstitusi yang meletakkan Indonesia sebagai negara hukum.
NEGARA HUKUM
Menurut konstitusi, Indonesia telah memposisikan dirinya sebagai negara hukum (rechtstaat), tidak bersifat absolutisme/kekuasaan yang tidak terbatas (machtsstaat).
Meminjam istilah Notohamijoyo “Negara hukum adalah negara yang menempatkan kekuasaan tertinggi pada hukum bukan pada seorang penguasa absolut . Padmo Wahjono dengan mengutip pernyataan Oemar Seno Adji dalam ”Indonesia Negara Hukum” menyimpulkan bahwa penerapan prinsip-prinsip umum negara yang berdasar atas hukum terletak pada dua hal, yaitu (1) teori Rechtsstaat yang dicirikan dengan adanya pengakuan hak-hak asasi manusia, adanya Trias Politica, adanya pemerintahan yang berdasarkan undang-undang dan adanya peradilan administratif; dan (2) teori Rule of Law yang dicirikan dengan adanya konstitusi yang bersumber pada hak-hak asasi manusia, adanya persamaan menurut hukum bagi semua orang dan adanya prinsip bahwa hukum mengatasi segala-galanya .
Dalam berbagai tafsiran “Negara hukum adalah negara yang menempatkan kekuasaan tertinggi pada hukum bukan pada seorang penguasa absolut”.
Prinsip ini telah berlangsung sejak tahun 1945 di mana pertama kali UUD 1945 disusun dan diberlakukan. Sebagai pernyataan politik dan ikrar komitmen pendiri republik (Founding Father) pernyataan tersebut tidak usah diragukan.
Bahkan didalam Penjelasan Undang-undang Dasar 1945, telah tegas dijelaskan. Sejak Indonesia merdeka, pemerintah RI telah mengeluarkan berbagai macam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum.
“Ide Negara Hukum, terkait konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’. Negara Hukum, yang asal katanya adalah “rechtsstaat”, yang di dalam pencantumannya yaitu dalam Penjelasan UUD 1945 - sampai sekarang pun masih menggunakan kata dan bahasa Belanda tersebut, termaktub dalam konstitusi Republik Indonesia sebagai ide dasar sistem pemerintahan republik ini.
Melihat “rechtsstaat”, dalam kamus besar bahasa Belanda adalah “staatsvorm die het recht air hoogste gezag handhaafl” Artinya, bahwa negara hukum seperti yang dimaksudkan oleh founding fathers negeri ini, sebuah bentuk negara (pemerintahan) yang menggunakan hukum sebagai kekuasaan pengatur yang tertinggi .
Pandangan Mr IC Van Der Vlies tentang negara hukum adalah tindakan pemerintah berdasarkan undang-undang. Asas ini mengandung pengertian “wetmatigheid” yang merupakan jaminan atas tindakan pemerintah yang dikatakan “rechmatigheid”.
Untuk mewujudkannya, maka pembentukan undang-undang yang dirancang harus memenuhi asas-asas pembentukan peraturan yang baik.
Lev sendiri menilai adanya perbedaan ini oleh karena pengaruh ideologi “Rechsstaat” yang berkembang di Eropa Continental tumbuh di wilayah birokrasi sentral yang kuat dan tidak dapat begitu mudah didobrak oleh kaum borjuasi. Mereka hanya dapat menghimbau agar diberikan konsensi.
Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropa Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’’.
Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan AV Dicey dengan sebutan “The Rule of Law” .
Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu : (1) Perlindungan hak asasi manusia,(2) Pembagian kekuasaan, (3) Pemerintahan berdasarkan undang-undang, (4) Peradilan tata usaha negara.
Sedangkan AV Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law“, yaitu : (1) Supremacy of Law. (2) Equality before the law. (3) Due Process of Law.
Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut diatas, pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh AV Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang .
Menurut Jimly Assidiq , “The International Cominission of Jurist“, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi.
Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut “The International Cominission of Jurists” itu adalah (1) Negara harus tunduk pada hukum. (2) Pemerintah menghormati hak-hak individu. (3) Peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Negara hukum berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dan perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’.
Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum.
Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggeris yang dikembangkan oleh AV Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “The Rule Of Law, And Not Of Man“.
Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang. Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa lnggeris dengan judul “The Laws”, jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dan zaman Yunani Kuno.
Sementara, ideologi Rule of Law secara histonis terbentuk di Inggris berkat pengaruh golongan kelas menengah yang menguasai parlemen dan birokrasi kerajaan yang relatif lemah. Sebagai akibatnya, kecenderungan prosedural Common Law lebih menguntungkan pihak swasta, sedangkan Civil Law berkecenderungan menguntungkan negara .
Baik konsep Rule of Law maupun Rechtsstaat selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, sehingga pengertian keduanya pada masa kini mempunyai beberapa perbedaan-perbedaan dengan pengertian keduanya pada masa lalu
PROSES PEMBERHENTIAN PRESIDEN/WAKIL PRESIDEN
Dengan menggunakan pendekatan ”negara hukum (rechtsstaat)” rumusan pemberhentian Presiden/Wakil Presiden menurut UUD 1945 disandarkan kepada rumusan yaitu:
o pengkhianatan terhadap negara,
o korupsi,
o penyuapan,
o tindak pidana berat lain,
o perbuatan tercela,
o tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden .
Rumusan inilah yang kemudian dijadikan dalil DPR-RI untuk mengajukan ke MK . MK kemudian mempertimbangkan apakah dalil yang disampaikan oleh DPR telah sesuai dengna bukti-bukti yang disampaikan atau tidak dapat.
Dengan demikian, maka berdasarkan Pasal 19 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 Tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden Dan/Atau Wakil Presiden, MK memutuskan
a. Permohonan tidak dapat diterima apabila tidak memenuhi syarat yang ditentukan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 Tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden Dan/Atau Wakil Presiden;
b. Membenarkan pendapat DPR apabila Mahkamah berpendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela dan atau terbukti tikda memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden
c. Permohonan ditolak apabila pendapat DPR tidak terbukti
Dalam dimensi ini, maka konsepsi “negara hukum” untuk menilai dalil yang disampaikan oleh DPR-RI diperiksa oleh MK.
Konsepsi “negara hukum” menemukan ruang di pengadilan sehingga proses fair dan tidak memihak (equality before the law).
Persidangan yang fair dan tidak memihak diperlukan agar proses politik yang didalilkan oleh DPR dapat diperiksa berdasarkan alasan-alasan konstitusi sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Selain itu juga, persidangan yang fair dan tidak memihak diperlukan agar kita tidak mengalami peradilan sesat seperti dalam persidangan Socrates. Seorang penganjur kebebasan pemikiran dan mengajarkan filsafat kepada anak-anak muda di Athena. Socrates kemudian diadili oleh Pengadilan Athena, dijatuhi hukuman mati dan di eksekusi pada tahun 399 SM .
Pemeriksaan dalil-dalil yang disampaikan oleh DPR tentu saja menggunakan berbagai varian dalam bacaan tentang negara hukum (rechtsstaat) dan ”rule of law”. Pemeriksaan didasarkan kepada apakah tuduhan terhadap Presiden/Wakil Presiden sesuai berdasarkan UU (wetmatigheid). Tuduhan dalil-dalil yang disampaikan oleh DPR harus tunduk kepada hukum.
Pemeriksaan dalil-dalil yang disampaikan oleh DPR dalam persidangan MK bertujuan agar kita tuduhan DPR dapat dijawab secara konstitusi.
Dengan melihat rumusan pasal 7A dan pasal 7B UUD 1945 junto pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi junto Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 Tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden Dan/Atau Wakil Presiden, maka proses pemberhentian Presiden/Wakil Presiden sebelumnya yang lebih menitikberatkan pendekatan politik an sich kemudian bergeser menjadi proses politik yang dinilai dalam perspektif hukum (baca melalui Putusan MK).
Dengan demikian, apabila sebelumnya proses pemberhentian Presiden/Wakil Presiden lebih menitikberatkan proses politik an sich maka bandul kemudian bergeser menjadi proses hukum.
Dalam dimensi ini, maka apabila dibaca secara sekilas, Penegasan Supremasi hukum menemukan ruang untuk mengapresiasinya. Sehingga istilah “to impeach” – baca yang berarti meminta pertanggungjawaban dan istilah “Pemakzulan” – baca sebuah proses dari sebuah badan legislatif yang secara resmi menjatuhkan dakwaan terhadap seorang pejabat tinggi negara” telah diperiksa oleh MK.
Dengan demikian, maka dimensi ini telah selesai.
BERGESERNYA BANDUL
Namun pemeriksaan dalil yang disampaikan oleh DPR dalam pemeriksaan di MK, tidak serta merta membuat putusan MK , dapat menjatuhkan Presiden/Wakil Presiden. DPR kemudian menyelenggarakan sidang Paripurna untuk menentukan sikapnya dan meneruskan ke MPR .
Proses ini “mirip” dalam proses pemberhentian Presiden di Amerika . Di Amerika pernah terjadi beberapa kali proses impeachment terhadap Presiden misalnya pada Andrew Johnson, Richard Nixon, dan terakhir pada William Clinton.
Namun, kesemua tuduhan impeachment yang dilakukan di Amerika itu tidak berakhir pada berhentinya Presiden. Pada kasus Richard Nixon, Nixon mengundurkan diri pada saat proses impeachment berlangsung sehingga belum sampai pada putusan dari proses impeachment itu.
Setelah Putusan MK, kemudian DPR mengadakan sidang Paripura untuk menentukan sikapnya dan meneruskan ke MPR, maka dapat dikategorikan bahwa proses hukum yang diperiksa oleh MK memerlukan proses politik di DPR dan MPR. Dengan demikian, maka apabila pendekatan dalam proses pemberhentian Presiden/Wakil Presiden melalui proses hukum maka memerlukan proses politik untuk menentukan kata akhir terhadap dalil-dalil yang disampaikan oleh DPR. Sehingga bandul yang semula menggunakan pendekatan hukum bergeser menjadi menjadi pendekatan politik .
Padahal proses pemberhentian Presiden pernah terjadi terhadap Presiden Lithuania, Rolandas Paskas berakhir pada berhentinya Paskas pada tanggal 6 April 2004 .
Begitu juga Korea Selatan.
Tak selang beberapa waktu yang lalu, Perdana Menteri Korea Selatan, Roh Moo Hyun, terkena kasus impeachment atas tuduhan kasus suap dalam pemilihan umum yang dimenangkannya.
Oleh Parlemen Korea Selatan Roh Moo Hyun telah terbukti bersalah dan diberhentikan dari kedudukannya. Atas putusan Parlemen itu Roh Moo Hyun dinonaktifkan dari jabatannya dan dapat mengajukan perkaranya kepada Mahkamah Konstitusi.
Setelah diperiksa di Mahkamah Konstitusi, putusan Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa Roh Moo Hyun memang melakukan suap tapi tuduhan itu tidak cukup untuk membuat dia turun dari jabatannya. Oleh karena itu Roh Moo Hyun tetap dalam jabatannya sebagai Perdana Menteri akibat putusan Mahkamah Konstitusi Korea Selatan sebagai benteng terakhir dari proses impeachment di Korea Selatan.
Bergesernya bandul yang semula menggunakan pendekatan politik an sich kemudian menggunakan pendekatan hukum dan kemudian bergeser memerlukan proses politik dalam periodesasi perjalanan konstitusi Indonesia menggambarkan bagaimana ikrar ”negara hukum” masih belum menjawab kebutuhan persoalan konstitusi.
Putusan MK yang kemudian menyatakan ” Membenarkan pendapat DPR apabila Mahkamah berpendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela dan atau terbukti tikda memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden” sebagaimana rumusan pasal 19 ayat (3) ternyata memerlukan proses politik yang tidak sederhana. DPR yang mengadakan sidang Paripurna kemudian meneruskan kepada MPR. MPR juga harus mengadakan sidang paripurna.
Dalam dimensi ini, pertimbangan MK yang telah memeriksa dan mengadili atas dalil-dalil yang disampaikan oleh DPR tidak serta merta dapat menjatuhkan Presiden/Wakil Presiden.
Proses hukum yang telah diperiksa oleh MK kemudian menjadi bahan untuk DPR untuk menentukan sikap dan proses yang panjang.
Dalam dimensi ini, sebenarnya pendekatan ”proses hukum” hanya digunakan untuk memeriksa dan mengadili dalil-dalil yang disampaikan oleh DPR oleh MK
Pendekatan ”proses hukum” ternyata tidak menjawab persoalan konstitusi. Putusan MK bukan merupakan putusan akhir dari perselisihan dalil yang disampaikan oleh DPR. Putusan MK memerlukan proses politik yang tentu saja dapat berbeda dengan putusan MK.
Dengan demikian, maka penegasan ”Supremasi hukum dalam proses impeachment” tidak dapat diterapkan dalam paparan yang telah penulis sampaikan. Supremasi hukum sebagai ikrar rumusan pasal 1 ayat (3) UUD 1945 sebagai negara hukum (rechtsstaat) tidak dapat menjawab persoalan konstitusi dalam proses Pemberhentian Presiden/Wakil Presiden. Supremasi hukum ”hanya” digunakan dalam proses pemeriksaan dalil-dalil yang disampaikan oleh DPR, dan ”hanya” digunakan sebagai bahan pemeriksaan di MK dan ”hanya” digunakan sebagai putusan MK ”membenarkan pendapat DPR”.
Selain itu juga rumusan pasal 7A dan pasal 7B UUD 1945 yang dinyatakan oleh Ahmad Yani ”Dicopy paste” dari konstitusi Amerika yang berkaitan dengan impeachment tentu saja menimbulkan implikasi yang berbeda. Konstitusi Amerika yang berangkat dari konsepsi sistem hukum ”rule of law” berbeda dengan konstitusi yang berangkat dari konsepsi sistem hukum ”rechtstaat” .
Dengan demikian, maka rumusan ”rechtstaat” yang berbeda dengan rumusan ”rule of law” menyebabkan problematika yuridis dan konstitusional.
Pendekatan yang digunakan oleh pasal 7 A dan pasal 7 B UUD 1945 yang nyata-nyata tidak tepat dikaitkan dengna rumusan pasal 1 ayat (3) UUD 1945 juga menimbulkan persoalan akademis untuk merumuskan secara tepat.
Berangkat dari pemaparan yang telah penulis sampaikan, maka rumusan pasal 7 A dan pasal 7 B UUD 1945 haruslah diberi ruang putusan MK merupakan putusan akhir dari perseteruan DPR vis Presiden.
Putusan MK mampu menyelesaikan problema konstitusi.
Padahal Sebagai benteng terakhir, Pengadilan adalah muara dari berbagai sumbatan “ketidakadilan” dan demokrasi. Pengadilan merupakan tiang utama dalam penegakan hukum dan keadilan serta dalam proses pembangunan peradaban bangsa.
Tegaknya hukum dan keadilan serta penghormatan terhadap keluhuran nilai kemanusiaan menjadi prasyarat tegak martabat dan integritas Negara. Hakim Sebagai figur sentral dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat banyak.
Putusan Pengadilan yang adil menjadi puncak kearifan bagi penyelesaian permasalahan hukum yang terjadi dalam kehidupan bernegara.
Putusan Pengadilan yang adil menjadi puncak kearifan bagi penyelesaian permasalahan hukum yang terjadi dalam kehidupan bernegara.
Perlu disadari tugas utama hakim adalah menyelesaikan sengketa di antara pihak-pihak, memberi kepuasan hukum kepada pihak yang berperkara. Keadilan atau kepastian yang lahir dan hakim adalah keadilan atau kepastian yang dibangun atas dasar dan menurut hukum.
Tentu saja paparan yang telah penulis sampaikan berangkat dari sudut pandang subyektif didalam melihat proses pemberhentian Presiden/Wakil Presiden. Paparan yang telah penulis sampaikan memerlukan kajian yang lebih dalam dan lebih argumentatif yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademis.