Akhir-akhir ini, DPR sedang mengadakan
test terbuka (fit and proper test) calon-calon sang ”pengadil” untuk Mahkamah
Agung. Fit and proper test sedang berlangsung, tenggelam dengan hiruk pikuk
kasus korupsi yang terkait dua Kementerian (Menpora dan Menteri Nakertrans).
Fit and proper test juga tenggelam dengan berbagai issu dan intrik politik
sejagat politik yang lagi hangat.
Padahal peristiwa ini sebenarnya adalah
hulu dari penegakkan hukum di Indonesia. Di tangan ”pengadil”, wajah hukum
Indonesia ditentukan. Di tangan ”pengadil”, wajah keadilan diwujudkan. Berpihak
kepada keadilan yang substantif atau terjebak dengan keadilan prosedural.
Issu pemilihan ”Pengadil” tidak terlepas
dari tarik menarik dan intrik yang berseliweran. Issu apakah yang dibutuhkan
harus memenuhi kuota sistem kamar atau harus independent tanpa affiliasi kepada
Parpol menguat dan mewarnai perdebatan di berbagai media massa. Issu ini selain
menguras energi justru mengaburkan terhadap fungsi dari lembaga ”pengadil” itu
sendiri.
Terhitung 1 Oktober mendatang, MA akan
menerapkan sistem kamar dengan menerapkan lima kamar. (Surat Keputusan Nomor 142/KIX/MA/ 2011, Rapat Kerja Nasional (rakernas)
MA, 2011). Pembagian sistem kamar bertujuan, agar putusan di tingkat
Mahkamah Agung disandarkan kepada spesialisasi dan background Hakim Agung yang
memeriksa dan mengadili perkara.
Sudah jamak diketahui, putusan yang
dihasilkan oleh Hakim Agung yang background berbeda dengna perkara yang
diperiksa menimbulkan problematika dan pertanggungjawaban ilmiah yang cukup
serius.
Hakim Agung yang mempunyai background dan
meniti karir Pengadilan Agama kemudian memeriksa perkara pidana misalnya, tentu
saja akan kesulitan dan sering mengabaikan prinsip-prinsip, norma hukum pidana.
Sehingga putusan yang dihasilkan menjadi aneh dan sulit dimengerti dalam
praktek hukum acara pidana.
Selain itu juga penulis sering menemukan putusan yang justru
berbeda dengan prinsip dari pemeriksaan di tingkat kasasi.
Padahal kewenangan Mahkamah Agung dalam
tingkat kasasi hanya berwenang untuk memeriksa terhadap penerapan suatu norma
terhadap putusan sebelumnya (Pengadilan Pertama dan tingkat banding). Prinsip
ini kemudian biasa dikenal dengna istilah ”judex jurist”. Hakim pada tingkat
kasasi tidka berwenang untuk memeriksa terhadap fakta-fakta persidangan.
Pemeriksaan fakta-fakta persidangan telah diperiksa dan diputus di tingkat
pertama dan tingkat banding. Prinsip ini biasa dikenal dengan istilah ”judex
factie”.
Prinsip ini sudah diatur dalam berbagai
yurisprudensi Mahkamah Agung dan sudah menjadi pengetahuan yang jamak di
ketahui praktisi hukum.
Namun dalam praktek, masih sering
ditemukan, hakim pada tingkat kasasi masih memeriksa terhadap ”judex factie”
dan memutuskan berdasarkan pertimbangan ”judex factie”.
Selain itu juga putusan MA tidak cukup menguraikan dengan jelas
alasan-alasan yang menjadi dasar pertimbangan hukum. Putusan MA hanya
mengatakan, 'menimbang bahwa permohonan
kasasi dari pemohon kasasi tidak dibenarkan karena judex facti tidak melanggar
hukum” tanpa pertimbangan hukum yang memuat argumentasi hukum yang jelas,
runtut, dan komprehensif.
Kekeliruan ini selain akan menimbulkan
persoalan yang serius dalam tataran pelaksanana putusan (eksekusi) juga
menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid)
Perdebatan tentang apakah calon hakim
agung berasal dari Partai atau tidak tidak relevan dibahas. Banyak contoh hakim
agung dari parpol tapi bisa independen. Sekedar menyebutkan Bagir Manan dari
Golkar, Mukhsin dari PPP, Muladi dari Golkar dan Abdurahman Saleh dari PBB
adalah hakim-hakim Agung yang mempunyai integritas dan tidak terjebak dalam
pragmatis politik. Begitu juga di MK ada
Pak Mahfud MD dari PKB, Pak Akil Mochtar dari Golkar justru dihormati dan
membuat MK salah satu lembaga yang dihormati.
Sebenarnya perhatian kita terhadap fit and
proper test berangka dari kerinduan Bangsa ini merindukan para hakim agung yang
memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan
berpengalaman di bidang hukum.
Kita tentu saja tidak bisa melepaskan
pandangan dan rasa hormat kita terhadap Bismar Siregar, Asikin Kusumah Atmadja dan
Benyamin Mangkudilaga contoh kecil dari nama-nama Hakim yang dihormati dan
membuat Mahkamah Agung diharapkan bersandar dari pencari keadilan (justice
artikelen)
Salah satu keputusan kontraversial Hakim Agung Siregar adalah saat menambah
hukuman seorang guru di Sumatra Utara, yang berbuat cabul dengan muridnya. (Tempo 31 Desember 1983).
Drs. Manginar Manullang, kepala SMPN III
Kisaran, Drs. Manginar Manullang, yang dihukum tujuh bulan penjara oleh
Pengadilan Negeri Kisaran karena berbuat cabul dengan muridnya kemudian
menyatakan banding. Bismar memperberat hukuman buat Manullang, menjadi tiga
tahun penjara. Tidak hanya itu. Bismar kemudian menjatuhkan hukuman tambahan
untuk Manullang, yaitu dipecat dari pekerjaannya. Bismar merasa berwenang
menjatuhkan hukuman tambahan itu walau pasal 35 ayat 2 KUHP mengecualikan
pemecatan pegawai negen oleh hakim. Alasan Bismar, selain sebagai Kepala Sekolah
tidak pantas melakukan perbuatan itu, terdakwa tidak pantas menjadi pegawai
negeri dan tidak perlu dibina lagi.
Sedangkan Benyamin Mangkudilaga tidak terlepas dari Namanya muncul ke
permukaan ketika sebagai hakim di sidang PTUN Jakarta, memenangkan gugatan
majalah Tempo yang dibredel pemerintah ORDE BARU, terhadap menteri penerangan
Harmoko. Ia patut disebut Ikon Integritas seorang Hakim Karir di negeri ini.
Hal serupa juga dilakukan oleh Hakim Agung Asikin ketika beliau membuat
putusan dalam kasus Kedung Ombo. Kasus tersebut, dalam tingkat pertama, ganti
rugi yang dituntut hanya Rp. 1000,- (seribu rupiah). Namun dalam tingkat
kasasi, Asikin memutuskan jumlah ganti rugi menjadi berlipat-lipat dari
tuntutan pada tingkat pertama, sehingga jumlahnya menjadi berpuluh-puluh ribu.
Beliau menerobos larangan ‘ultra petitum petita’. Putusan ini dibangun atas
pertimbangan beliau bahwa rentang waktu antara sidang pada tingkat pertama
dengan sidang pada tingkat kasasi sangat lama, sehingga nilai seribu pada waktu
sidang tingkat pertama nilainya menjadi berpuluh-puluh ribu pada waktu sidang
tingkat kasasi.
Mereka keluar dari pemikiran keadilan prosedural dan mengedepankan keadilan
yang substantif.
Hakim bertugas seperti peniup sangkakala.
Ia harus bisa menghidupkan teks yang mati, karena di balik teks terdapat ‘ruh’
yang harus dihidupkan oleh hakim agar relevan dengan kondisi sosial.