29 September 2011

opini musri nauli : Andi Samsan Nganro Dan Jabatan Diam


”Calon Hakim Agung Pamerkan Putusannya Jadi Rujukan”. Demikian judul provokatif dari media online dari pengamatan proses seleksi Hakim Agung di DPR. Judul ini sangat mengganggu dan menimbulkan persoalan kepantasan (etika), apakah seorang Hakim dibenarkan untuk mengomentari putusan yang telah dihasilkannya.
Dalam pemberitaan, Calon Hakim Agung Andi Samsan Nganro ”bercerita”, mengabulkan gugatan terhadap secure parking yang pernah diputusnya. Pendekatan yang digunakan moral justice. Ia mencontohkan gugatan terhadap secure parking yang pernah diputusnya ketika bertugas sebagai hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Bila hanya mengacu kepada legal justice, lanjutnya, penggugat sulit dimenangkan. Pasalnya, undang-undang dan perjanjian dalam karcis parkir yang menyatakan pengelola parkir tak bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan kendaraan. Ada klausula baku dalam karcis parkir itu dan didukung oleh Perda DKI Jakarta.

Dalam kasus ini, Pengadilan kemudian memutus berdasarkan moral justice. Apabila menggunakan pendekatan legal justice maka, tak ada peluang penggugat gugat kausula baku. Namun berungkali terjadi kehilangan kendaraan. Maka Klausula baku itu merupakan kesepakatan sepihak.  Tak sesuai kehendak bebas.

Selain putusan ini, Andi Samsan juga membanggakan putusan yang ia buat dalam kasus gugatan Citizen Law Suit dalam kasus Nunukan. Ini gugatan rakyat atas nama penduduk yang menggugat pemerintah dalam kasus buruh migran di Nunukan, Kalimantan Timur. 

Majelis hakim terbentur hukum acara yang belum mengatur CLS. Namun dengan asas Ius curia novit bahkan menjadi dasar sebuah pengadilan atau hakim dilarang menolak perkara dengan dalih hukumnya tidak diatur, maka kemudian CLS menjadi yurisprudensi terhadap kasus yang berangkat dari CLS.

Dua peristiwa yang dipaparkan oleh Calon Hakim Agung Andi Samsan Nganro memang menjadi peristiwa penting dan menjadi rujukan pembahasan kasus-kasus di Indonesia. Putusan-putusan yang dihasilkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat kemudian membuka ruang terhadap pemikiran positivisme dengan pendekatan legalitas menjadi pendekatan keadilan yang subsantif.

Namun yang menjadi persoalan dilihat dari kepantasan (etika) yang dilakukan oleh Calon Hakim Agung Andi Samsan Nganro.
Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan pada tahun 2007 telah mengingatkan jabatan hakim adalah jabatan diam. Jabatan yang tidak membicarakan pekerjaannya di depan publik.

Para hakim juga tidak diperbolehkan memberi komentar terhadap putusannya maupun putusan orang lain di muka publik.

Jabatan diam itu merupakan tradisi para hakim dimana pun yang harus dihormati.

Bagir juga menyatakan, selain tidak boleh mengomentari pekerjaannya sendiri, hakim-hakim dimanapun saja sangat tidak layak mengomentari pekerjaan instansi lain atau lembaga lain. Tidak boleh, tidak wajar, tidak layak. Hakim harus independen, adalah hakim yang netral kepada siapapun saja.

Berangkat dari pernyataan dari mantan Ketua Mahkamah Agung dengan melihat
penyampaian  Calon Hakim Agung Andi Samsan Nganro dalam fit and propert test di DPR maka menimbulkan persoalan kepantasan (etika) yang cukup serius. Kepantasan yang dilakukan oleh Calon Hakim Agung Andi Samsan Nganro mengakibatkan, sudah semestinya, adanya pelanggaran etika yang dilakukan oleh Calon Hakim Agung Andi Samsan Nganro. 

Dan menurut penulis ini sangat serius dan mengakibatkan jabatan hakim agung menjadi jabatan publik semata tanpa roh dan makna jabatan itu sendiri. Sebagai jabatan – meminjam istlah Bagir Manan – Jabatan diam.