”Calon
Hakim Agung Pamerkan Putusannya Jadi Rujukan”. Demikian judul
provokatif dari media online dari pengamatan proses seleksi Hakim Agung di DPR.
Judul ini sangat mengganggu dan menimbulkan persoalan kepantasan (etika),
apakah seorang Hakim dibenarkan untuk mengomentari putusan yang telah
dihasilkannya.
Dalam pemberitaan, Calon Hakim Agung Andi
Samsan Nganro ”bercerita”, mengabulkan gugatan terhadap secure parking
yang pernah diputusnya. Pendekatan yang digunakan moral justice. Ia
mencontohkan gugatan terhadap secure parking yang pernah diputusnya
ketika bertugas sebagai hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Bila hanya mengacu kepada legal justice,
lanjutnya, penggugat sulit dimenangkan. Pasalnya, undang-undang dan perjanjian
dalam karcis parkir yang menyatakan pengelola parkir tak bertanggung jawab
terhadap kehilangan atau kerusakan kendaraan. Ada klausula baku dalam karcis
parkir itu dan didukung oleh Perda DKI Jakarta.
Dalam kasus ini, Pengadilan kemudian memutus
berdasarkan moral justice. Apabila menggunakan pendekatan legal
justice maka, tak ada peluang penggugat gugat kausula baku. Namun berungkali
terjadi kehilangan kendaraan. Maka Klausula baku itu merupakan kesepakatan
sepihak. Tak sesuai kehendak bebas.
Selain putusan ini, Andi
Samsan juga membanggakan putusan yang ia buat dalam kasus gugatan Citizen Law Suit dalam
kasus Nunukan. Ini gugatan rakyat atas nama penduduk yang
menggugat pemerintah dalam kasus buruh migran di Nunukan, Kalimantan
Timur.
Majelis hakim terbentur hukum
acara yang belum mengatur CLS. Namun dengan asas Ius curia novit
bahkan menjadi dasar sebuah pengadilan atau hakim dilarang menolak perkara dengan dalih hukumnya
tidak diatur, maka kemudian CLS menjadi yurisprudensi terhadap kasus yang
berangkat dari CLS.
Dua peristiwa yang
dipaparkan oleh Calon Hakim Agung Andi Samsan Nganro memang menjadi
peristiwa penting dan menjadi rujukan pembahasan kasus-kasus di Indonesia. Putusan-putusan
yang dihasilkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat kemudian membuka ruang
terhadap pemikiran positivisme dengan pendekatan legalitas menjadi pendekatan
keadilan yang subsantif.
Namun yang menjadi persoalan dilihat dari
kepantasan (etika) yang dilakukan oleh Calon Hakim Agung Andi Samsan Nganro.
Mantan Ketua Mahkamah
Agung (MA) Bagir Manan pada tahun 2007 telah mengingatkan jabatan hakim adalah
jabatan diam. Jabatan yang tidak membicarakan pekerjaannya di depan publik.
Para hakim juga tidak diperbolehkan
memberi komentar terhadap putusannya maupun putusan orang lain di muka publik.
Jabatan diam itu merupakan tradisi para
hakim dimana pun yang harus dihormati.
Bagir juga menyatakan, selain tidak boleh
mengomentari pekerjaannya sendiri, hakim-hakim dimanapun saja sangat tidak
layak mengomentari pekerjaan instansi lain atau lembaga lain. Tidak boleh,
tidak wajar, tidak layak. Hakim harus independen, adalah hakim yang netral kepada
siapapun saja.
Berangkat dari pernyataan dari mantan
Ketua Mahkamah Agung dengan melihat
penyampaian Calon Hakim Agung Andi Samsan Nganro dalam
fit and propert test di DPR maka menimbulkan persoalan kepantasan (etika) yang
cukup serius. Kepantasan yang dilakukan oleh Calon Hakim Agung Andi Samsan
Nganro mengakibatkan, sudah semestinya, adanya pelanggaran etika yang dilakukan
oleh Calon Hakim Agung Andi Samsan Nganro.
Dan menurut penulis ini sangat
serius dan mengakibatkan jabatan hakim agung menjadi jabatan publik semata
tanpa roh dan makna jabatan itu sendiri. Sebagai jabatan – meminjam istlah
Bagir Manan – Jabatan diam.