SURAT TERBUKA KEPADA KAPOLDA
JAMBI
Kepada Yth Bapak
Kapolda Jambi
Di
Jambi
Sebelumnya
saya mengucapkan Selamat Datang kepada Kapolda Jambi yang baru, Brigadir
Jenderal Polisi Drs. Anang Iskandar SH MH yang menggantikan Kapolda sebelumnya
Brigjen Bambang Suparsono. Dan ucapan selamat Berpisah dan Terima kasih kepada
Kapolda sebelumnya Brigjen Bambang Suparsono
Bapak
Kapolda Anang, bapak telah berada di bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah, negeri yang
mengagungkan Nilai yang menjadi pegangan dan dihormati masyarakat, Titian Teras bertangga batu. Cermin nan tak kabur. Lantak nan tak goyang, kaping idak
tagensuo. Tidak lekang karena panas tidak lapuk karena hujan, “Adat bersendikan
syarak, Syarak bersendikan kitabbullah.
Sebagai Kapolda Jambi, maka harus dianggap
sebagai pemimpin Yang berhak untuk
memutih menghitamkam, Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan
berentak, diduri jangan menginjek
“Rajo alim, Rajo disembah, Rajo lalim,
Rajo disanggah”. Sedangkan pemimpin yang baik maka “Alam sekato Rajo,
Negeri sekato Bathin. Atau Alam berajo,
rantau bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak. Atau “Luak Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo,
Alam sekato Rajo, Rantau Sekato Jenang, Negeri sekato nenek moyang.
Dan dapat dilihat “negeri aman padi menjadi, airnyo bening
ikannyo jinak, rumput mudo kebaunyo gepuk, bumi senang padi menjadi, padi masak
rumpit mengupih, timun mengurak bungo tebu, menyintak ruas terung ayun
mengayun, cabe bagai bintang timur, keayek titik keno, kedarat durian guguu
Namun negeri ini terancam mulai rusak karena investasi
perkebunan kelapa sawit yang nyata-nyata merampas tanah dan hak masyarakat.
Dalam catatan penulis, Dari data-data yang berhasil penulis kumpulkan, issu
sejuta hektar pembangunan kelapa sawit yang merupakan program ambisius dari
Gubernur Jambi awal tahun 2000 telah memantik protes berbagai kalangan. Walhi
Jambi yang paling keras menentang program ini kemudian diprotes dan dianggap
menghambat pembangunan dan pekerjaan dari Gubernur Jambi yang baru terpilih. Issu
ini kemudian ditentang dan mendapat dukungan internasional. Internasional
kemudian menentang dan kemudian menjadi agenda internasional. Program ini
kemudian berhasil digagalkan
Namun, penghentian issu program sejuta hektar pembangunan
perkebunan kelapa sawit tidak serta merta pembangunan perkebunan kelapa sawit
menjadi terhenti. Pemberian izin terhadap pembangunan kelapa sawit masih terus
berlangsung dan menimbulkan konflik yang laten yang terus terjadi. Bahkan
pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak menyelesaikan berbagai sengketa yang
belum terselesaikan peninggalan pemerintahan orde baru.
Dalam kesempatan ini, penulis akan mencoba menguraikan
arsitektur konflik pembangunan kekapa sawit. Penulis menggunakan istilah
arsitektur sebagai ilusi atraktif untuk menggambarkan bangunan konflik
pembangunan kelapa sawit. Ilusi atraktif itu juga digunakan untuk memudahkan
kita melihat persoalan itu secara lebih luas walaupun dari sudut pandang
sederhana.
Dalam deskriptif yang juga hendak dipaparkan, arsitektur
yang dimaksudkan juga dilihat dari aktor yang berperan. Aktor yang terlibat
konflik pembangunan kelapa sawit yaitu masyarakat pemilik tanah, perusahaan dan
Pemerintah.
Arsitektur pertama adalah pembakaran perusahaan oleh
masyarakat. Pembakaran PT. DAS bulan November 1998 di Tungkal Ulu, Kabupaten
Tanjung jabung (kemudian setelah daerah pemekaran bernama Tanjung jabung
barat). Kemudian disusul pembakaran PT. Tebora januari 1999 di Muara Bungo.
September 1999 pembakaran PT. KDA di Bangko dan Januari 2000 pembakaran PT.
Jamika Raya di Muara Bungo. Bahkan pada April 2002 juga terjadi pembakaran PTPN
VI di Bungo dan pembakaran PT. DIPP Desember 2006 di Sarolangun.
Dari data-data yang dipaparkan, maka didapatkan beberapa
peristiwa yang dapat dijadikan pembelajaran bagi kita. Yang pertama, bahwa
hampir praktis tiap daerah telah terjadi pembakaran. Baik itu di Tanjung
Jabung, Bungo, Bangko dan sarolangun. Artinya, hampir tiap daerah telah
terjadinya pembakaran oleh masyarakat terhadap perusahaan pembangunan
perkebunan kelapa sawit. Kedua, rentang waktu yang hampir selalu terjadi setiap
tahun. Artinya, konflik yang terjadi tidak diantisipasi di daerah lain. Yang
ketiga cara-cara penyelesaian yang masih cenderung menggunakan cara-cara
represif dan tidak menyelesaikan masalah yang sebenarnya. Artinya. Pemerintah
setelah reformasi tidak berusaha menyelesaikan sengketa tanah dan cenderung
membiarkan sehingga terjadi terus menerus antara daerah satu dengan daerah
lain. Dengan demikian, daerah-daerah yang telah terjadi pembakaran perusahaan
tidak diselesaikan dngan masyarakat sekitar pembangunan tersebut.
Arsitektur yang kedua adalah pengalihan issu. Penulis
sengaja memberikan definisi ini, karena ada kecendrungan secara sistematis
untuk mengalihkan issu dari semula persoalan tanah menjadi persoalan kriminal.
Yang penulis maksudkan adalah persoalan tanah antara pemilik tanah dengan
perusahaan menjadi persoalan kriminal dan cenderung menggunakan hukum untuk
dijadikan sebagai alat untuk membungkam perjuangan masyarakat. Masyarakatpun
tersita pemikiran dan energi untuk mengurusi persoalan yang berkaitan dengan
hukum. Peristiwa pembakaran perusahaan perkebunan kelapa sawit kemudian
mengakibatkan masyarakat tidak lagi mau memperjuangkan kepntingan semula.
Selain karena sudah tersitanya kasus semula menjadi kasus hukum, teror dan
ketakutan proses hukum akan terjadi lagi apabila mereka masih mau
memperjuangkan kepentingannya membuat masyarakat. Cara-cara ini kemudian
effektif dan berhasil untuk menggeser itu.
Arsitektur ketiga adalah kriminalisasi terhadap
masyarakat yang memperjuangkan tanahnya. Cara-cara menggunakan hukum kepada
para pejuang dan masyarakat lebih sering digunakan sehingga konsentrasi
masyarakat untuk memperjuangkan tanahnya kemudian berkonsentrasi kepada persoalan
persidangan dan berbagai hal-hal yang berkaitan dengan hukum. Dalam putusan
terhadap terdakwa pembakaran PT. KDA, PT. Jamika Raya dan PT. DIPP, semua
pelaku diterapkan pasal 170 KUHP. Namun dalam menjatuhkan putusannya, sudut
pandang hakim berbeda. Apabila dalam didalam pembakaran PT. Jamika dan PT. KDA,
pelaku haruslah dibuktikan kesalahannya. Apabila pelaku tidak melakukan
perbuatan, maka pelaku haruslah dibebaskan. Sedangkan apabila pelaku melakukan
perbuatan maka pelaku haruslah dijatuhi hukuman. Namun berbeda dengan terdakwa
dalam pembakaran PT. DIPP. Pengadilan Negeri Bangko ternyata melihat dari sudut
pandang yang berbeda. Walaupun pelaku tidak melakukan perbuatan sebagaimana
diatur didalam pasal 170 KUHP, namun pelaku mempunyai niat untuk melakukan dan
tidak selesai karena bukan kehendak pelaku. Dengan demikian maka pelaku dapat
dikenakan perbuatan percobaan sebagaimana diatur didalam pasal 53 KUHP.
Selain itu juga, terhadap masyarakat yang memperjuangkan
tanahnya bisa saja dikenakan berbagai ketentuan lain seperti tuduhan membawa
senjata tajam, penggelapan dan berbagai skenario untuk menjerat masyarakat dan
mengkriminalisasi pelaku.
Selain daripada arsitektur yang telah dijelaskan
sebelumnya, arsitektur selanjutnya adalah pendudukan lahan dengan mengambil
alih tanah yang kemudian tidak dibangun oleh perusahaan perkebunanan kelapa
sawit. Cara-cara ini yang paling banyak dijumpai. Faktor yang mempengaruhi
digunakan cara ini antara lain. Pertama, perundingan antara masyarakat pemilik
tanah dengan pihak perusahaan berlangsung alot dan tidak tercapai kesepakatan. Masyarakatpun
jenuh dan mengambil kembali tanahnya. Kedua. Pihak perusahaan menelantarkan
perkebunan sawit. Baik karena memang ditelantarkan (pergantian manajement atau
pergantian saham) juga karena perusahaan tidak terlibat lagi dalam pembangunan
kelapa sawit. Baik karena sudah dicairkannya kredit perbankan ataupaun hanya
mengejar komoditas kayu semata dalam tahap land clearing. Cara-cara ini yang
masih trend dan digunakan pemilik tanah yang tanahnya dijadikan perkebunan
kelapa sawit.
Dari deskripsi sederhana yang telah penulis paparkan,
penulis berkeyakinan, bahwa sengketa pembangunan perkebunan kelapa sawit masih
terus terjadi dan terus berulang. Siapapun yang diberi amanat untuk menjalankan
negara ini, Maka menurut penulis, sudah saatnya agenda penyelesaikan sengketa
pembangunan perkebunan kelapas sawit merupakan agenda yang diprioritaskan dalam
program Kapolda Jambi.
Sebelum menutup pembahasan, penulis sekedar menyampaikan
kasus-kasus menonjol yang belum diselesaikan Kapolda sebelumnya. Kasus seperti
pengungkapan terhadap matinya pejuang petani di Senyerang, pemukulan terhadap
aksi-aksi yang dilakukan terhadap HMI Cabang Jambi, penyerbuan di kebun Karang
Mendapo. Kasus-kasus ini menarik perhatian publik, namun sangat lama dan belum
juga disidangkan di muka persidangan. Penulis berharap kepada Kapolda Brigadir
Jenderal Polisi Drs. Anang Iskandar SH MH untuk menjadikan prioritas 100 hari
dan mampu menuntasnya.
Berangkat dari Paparan yang telah penulis sampaikan,
penulis mengucapkan selamat bertugas kepada Kapolda Jambi.