Beberapa waktu yang lalu, Pengadilan
Negeri Bangko mengabulkan permohonan eksepsi (tangkisan) yang disampaikan oleh
Pengacara Arfandi dalam dugaan korupsi di Bangko.
Terlepas dari materi yang
disampaikan oleh Pengacara Arfandi yang kemudian dikabulkan oleh Pengadilan
Negeri Bangko terhadap penerapan pasal apakah menerapkan pasal 147 KUHAP
ataupun 156 KUHAP, dikabulkannya eksepsi dari pengacara Arfandi menimbulkan
problematika praktek peradilan dalam tindak pidana korupsi di Jambi.
Problematika praktek peradilan dalam tindak pidana korupsi disatu sisi justru
mengabaikan prinsip KUHAP, peradilan yang murah, cepat, menimbulkan konsekwensi
anggaran yang tidak diperhitungkan oleh para perumus UU tindak pidana korupsi.
Semangat pemberantasan korupsi menemukan
momentum disaat bersamaan bergulirnya reformasi, lahirnya UU No. 31 Tahun 1999
yang kemudian diamandemen dengan UU No. 20 Tahun 2001 kemudian diperkuat dengan lahirnya UU No. 30
Tahun 2002 Tentang KPK. Tiga rangkaian UU inilah yang kemudian disatu sisi
menimbulkan efek jera dalam pemberantasan korupsi, namun disisi lain menimbulkan
persoalan konstitusi dalam sistem hukum ketatanegaraan. UU No. 31 tahun 1999
dan UU No. 30 Tahun 2002 merupakan UU yang paling banyak digugat (judicial
review) di Mahkamah Konstitusi. Putusan terakhir MK yang paling menimbulkan
problematika disaat bersamaan MK mengabulkan permohonan dari para pihak yang
menyatakan UU No. 30 Tahun 2002 harus tunduk dalam sistem peradilan di
Indonesia. Namun bukannya memperbaiki UU, para perumus UU malah membentuk
peradilan Tipikor di berbagai kota besar di Indonesia. Dari titik inilah,
kemudian dibentuknya pengadilan Tipikor menimbulkan praktek peradilan dalam
upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Terlepas dari wacana polemik putusan
pengadilan Tipikor yang kemudian membebaskan para pelaku korupsi, praktek
pengadilan Tipikor menimbulkan Problematika praktek peradilan dalam tindak
pidana korupsi disatu sisi justru mengabaikan prinsip KUHAP, peradilan yang
murah, cepat, menimbulkan konsekwensi anggaran yang tidak diperhitungkan oleh
para perumus UU tindak pidana korupsi.
Sebagai contoh, upaya penyuapan dari oknum
Kades Lubuk Selasah yang termasuk kedalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Muara
Bulian sebesar Rp. 60-an, harus disidangkan di Pengadilan Tipikor di Jambi. Sebagai
pihak yang melimpahkan perkara korupsi harus menghadirkan saksi dan membawa ke
Jambi. Penulis harus menghitung
kalkulasi anggaran biaya yang mesti disiapkan oleh Jaksa Penuntut Umum untuk
membawa dan menghadirkan saksi ke Jambi. Termasuk akomodasi, transportasi,
konsumsi para saksi ke Jambi. Itu saja untuk daerah yang masih dekat dengan
Kota Jambi.
Bagaimana dengan tindak pidana korupsi di
Kerinci ? Tentu saja biaya yang dikeluarkan lebih besar dan waktu yang harus
digunakan lebih panjang.
Seluruh biaya yang dikeluarkan oleh Jaksa
Penuntut umum untuk membawa dan menghadirkan para saksi ke Kota Jambi, apabila
dilihat dari pagu anggaran dari Kejaksaan Agung, sama sekali tidak tersedia
angggaran untuk mewujudkan keinginan itu. Sehingga dalam upaya pemberatasan
korupsi akan menimbulkan persoalan dari sisi biaya.
Berangkat dari sekedar paparan yang
penulis sampaikan, terlepas dari semangat pemberantasan korupsi yang digalakkan
Pemerintah, harus dicari upaya yang sistematis untuk memberantas korupsi namun
disisi lain tidak membebani anggaran dan tidak bertentangan dengan prinsip
KUHAP.
Dimuat di Jambi Ekspress, 29 November 2011
Dimuat di Jambi Ekspress, 29 November 2011