27 November 2011

opini musri nauli : MEMANDANG PENGADILAN TIPIKOR DARI SUDUT PANDANG YANG BERBEDA


Beberapa waktu yang lalu, Pengadilan Negeri Bangko mengabulkan permohonan eksepsi (tangkisan) yang disampaikan oleh Pengacara Arfandi dalam dugaan korupsi di Bangko. 

Terlepas dari materi yang disampaikan oleh Pengacara Arfandi yang kemudian dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Bangko terhadap penerapan pasal apakah menerapkan pasal 147 KUHAP ataupun 156 KUHAP, dikabulkannya eksepsi dari pengacara Arfandi menimbulkan problematika praktek peradilan dalam tindak pidana korupsi di Jambi. Problematika praktek peradilan dalam tindak pidana korupsi disatu sisi justru mengabaikan prinsip KUHAP, peradilan yang murah, cepat, menimbulkan konsekwensi anggaran yang tidak diperhitungkan oleh para perumus UU tindak pidana korupsi.
Semangat pemberantasan korupsi menemukan momentum disaat bersamaan bergulirnya reformasi, lahirnya UU No. 31 Tahun 1999 yang kemudian diamandemen dengan UU No. 20 Tahun 2001  kemudian diperkuat dengan lahirnya UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK. Tiga rangkaian UU inilah yang kemudian disatu sisi menimbulkan efek jera dalam pemberantasan korupsi, namun disisi lain menimbulkan persoalan konstitusi dalam sistem hukum ketatanegaraan. UU No. 31 tahun 1999 dan UU No. 30 Tahun 2002 merupakan UU yang paling banyak digugat (judicial review) di Mahkamah Konstitusi. Putusan terakhir MK yang paling menimbulkan problematika disaat bersamaan MK mengabulkan permohonan dari para pihak yang menyatakan UU No. 30 Tahun 2002 harus tunduk dalam sistem peradilan di Indonesia. Namun bukannya memperbaiki UU, para perumus UU malah membentuk peradilan Tipikor di berbagai kota besar di Indonesia. Dari titik inilah, kemudian dibentuknya pengadilan Tipikor menimbulkan praktek peradilan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Terlepas dari wacana polemik putusan pengadilan Tipikor yang kemudian membebaskan para pelaku korupsi, praktek pengadilan Tipikor menimbulkan Problematika praktek peradilan dalam tindak pidana korupsi disatu sisi justru mengabaikan prinsip KUHAP, peradilan yang murah, cepat, menimbulkan konsekwensi anggaran yang tidak diperhitungkan oleh para perumus UU tindak pidana korupsi.

Sebagai contoh, upaya penyuapan dari oknum Kades Lubuk Selasah yang termasuk kedalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Muara Bulian sebesar Rp. 60-an, harus disidangkan di Pengadilan Tipikor di Jambi. Sebagai pihak yang melimpahkan perkara korupsi harus menghadirkan saksi dan membawa ke Jambi.  Penulis harus menghitung kalkulasi anggaran biaya yang mesti disiapkan oleh Jaksa Penuntut Umum untuk membawa dan menghadirkan saksi ke Jambi. Termasuk akomodasi, transportasi, konsumsi para saksi ke Jambi. Itu saja untuk daerah yang masih dekat dengan Kota Jambi.

Bagaimana dengan tindak pidana korupsi di Kerinci ? Tentu saja biaya yang dikeluarkan lebih besar dan waktu yang harus digunakan lebih panjang.

Seluruh biaya yang dikeluarkan oleh Jaksa Penuntut umum untuk membawa dan menghadirkan para saksi ke Kota Jambi, apabila dilihat dari pagu anggaran dari Kejaksaan Agung, sama sekali tidak tersedia angggaran untuk mewujudkan keinginan itu. Sehingga dalam upaya pemberatasan korupsi akan menimbulkan persoalan dari sisi biaya.

Berangkat dari sekedar paparan yang penulis sampaikan, terlepas dari semangat pemberantasan korupsi yang digalakkan Pemerintah, harus dicari upaya yang sistematis untuk memberantas korupsi namun disisi lain tidak membebani anggaran dan tidak bertentangan dengan prinsip KUHAP. 

Dimuat di Jambi Ekspress, 29 November 2011