PERSIDANGAN
AAL
( Waktu Salah diangkatnya Pedang Keadilan)
Musri Nauli
Sidang kasus dugaan
pencurian yang melibatkan AAL, pelajar SMK Negeri 3 Palu yang dituduh mencuri
sandal jepit milik Polisi menarik perhatian publik bersamaan dengan berita “rakitan mobil KIA-ESEMKA” yang kemudian
dijadikan mobil dinas Walikota Solo. Dua peristiwa ini sekedar gambaran,
bagaimana pelajar di Indonesia menjadi sorotan setelah generasi sebelumnya
dituding sebagai bagian dari korupsi di Indonesia dan generasi selanjutnya gagal
membina Sepakbola Indonesia.
Sidang Kasus pencurian
sandal jepit membuka mata publik dan mengingatkan terhadap persidangan terhadap
Muhammad Azwar alias Raju di Pengadilan Negeri Stabat, Langkat (Maret 2007). Di Jambi sendiri, di Tebo, kita dikabarkan
dengan berita gempar ditemukan meninggalnya seorang anak yang masih balita
(bawah umur lima tahun) korban berinisial Mz. Didalam proses penyidikan,
kemudian pihak kepolisian berhasil membongkar sebab kematian dari Mz. Seorang
pelaku yang kemudian dikenal dengan nama si AF mengaku melakukan perbuatan
“tidak senonoh” terhadap korban. Perbuatan Si AF yang melakukan perbuatan
“tidak senonoh” terhadap korban disebabkan setelah pelaku menonton video “ariel
Peterpan” dari rekaman HP (Maret 2011).
Tiga peristiwa diatas
sekedar menggambarkan bagaimana pandangan publik yang melihat proses peradilan
terhadap anak dibawah umur (UU Pengadilan
Anak memberikan batasan umur terhadap pelaku anak yang berusia dibawah 18 Tahun).
Tiga peristiwa diatas sekali lagi membuktikan kepada kita semua, bagaimana
proses hukum dimuka persidangan tidak terlepas dari tarik menarik paradigma
aliran positivisme disatu sisi dan aliran keadilan disisi lain.
Terlepas dari
pembuktian materiil terhadap tuduhan terhadap ketiga pelaku dari tiga peristiwa
diatas, Tiga proses persidangan terhadap AAL, Raju dan si AF menimbulkan
persoalan dalam praktek peradilan pidana.
MAKNA KEADILAN
Apabila kita melihat
pemikiran kalangan yang menghendaki agar menghentikan proses persidangan
terhadap AAL, maka penulis termasuk kalangan setuju. Dari konteks ini, penulis
berpendapat, bahwa proses persidangan terhadap AAL tidak memenuhi prinsip dari
hukum pidana tersebut. Prinsip dari hukum pidana yaitu menciptakan rasa adil
ditengah masyarakat, proses ini juga menimbulkan effek jera kepada pelaku dan
masyarakat umum terhadap perbuatan yang dilarang tersebut. Namun berpijak
kepada kasus AAL, dua fundamental ini tidak terpenuhi. Selain menimbulkan
kontroversial ditengah masyarakat, AAL sebagai terdakwa dalam perkara ini
tentunya merasakan ketidakadilan. AAL justru tidak
mengalami masa-masa indah dan bergaul dengan teman-teman sebayanya. AAL
mengalami “dunia” yang aneh dan cenderung asing dengan berbagai lapisan diluar
usianya. AAL “dipaksa” menjadi dewasa dan mandiri untuk bertahan hidup. Seluruh
perasaan ingin dibelai dan butuh perhatian kasih sayang dari orang yang
menyayangi tidak diterimanya lagi. AAL memang dituduh mencuri sandal jepit oleh
Jaksa Penuntut Umum didalam persidangan. Namun kelakuannya tersebut tidak
pantas kemudian disidangkan dimuka persidangan. Sehingga AAL mengalami
“hukuman” yang melebihi kesalahannya. AAL tidak pantas mengalami proses dan
hukuman sosial melebih kesalahannya dan tentu saja disinilah rasa
“ketidakadilan” yang dirasakan oleh AAL dan menggelitik penulis juga termasuk
barisan yang menyatakan ketidakadilan terhadap proses terhadap AAL.
Selain itu juga bahwa
peristiwa terhadap AAL tentunya tidak menimbulkan effek jera kepada masyarakat
umum. Sehingga dua fundamental dari hukum pidana tidak tercapai dengan
diterapkan proses persidangan terhadap AAL
Namun mengharapkan agar
persidangan ”dihentikan” sebagaimana disampaikan sebagian kalangan akan
berbenturan dengan paradigma aliran positivisme yang dianut sebagian besar
penegak hukum di Indonesia.
ALIRAN POSITIVISME
Sebagaimana kita
ketahui, hakim menjatuhkan putusan berpatokan kepada alat bukti sebagaimana
diatur didalam pasal 184 KUHAP. Suatu perbuatan tindak pidana yang harus
dilakukan kepada para pelaku harus juga memperhatikan teori pertanggungjawaban
pidana seperti teorkenbaarheid, criminal responbility, criminal liability yaitu
teori untuk menentukan apakah seorang tersangka/terdakwa dapat
dipertanggungjawabkan suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak. Artinya
perbuatan pidana tersebut dilakukan bersifat melawan hukum. Menurut Pompe
hubungan petindak dengna tindakannya ditinjaui dari sudut kehendak (de will),
kesalahan petindak adalah merupakan bagian dari kehendak tersebut. Maka asas yang
timbul adalah tiada pidana tanpa kesalahan. Nyatalah bahwa jika seseorang
melakukan tindakan yang tidak bersifat melawan hukum tersebut dihapuskan oleh
suatu keadaan tertentu berdasarkan undang-undang maka terhadap petindak itu
sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan pidana terhadapnya.
Dalam berbagai wacana
diskusi, penulis termasuk barisan yang konsisten menyatakan bahwa hakim di
Indonesia harus berpandangan positivisme dimana ajaran in merupakan ajaran umum
dalam hukum Indonesia. Ajaran ini merupakan terjemahan langsung dari
pengembangan ajaran legalisme. Ajaran legalisme menyatakan bahwa yang dinamakan
hukum adalah Undang-undang. Sedangkan ajaran positivisme merupakan ajaran yang
menyatakan bahwa selain UU juga adanya yurisprudensi. Dari titik masuk ini,
maka hakim di Indonesia harus berpandangan positivisme.
Dalam berbagai
literatur yang menjadi sorotan penulis, bahwa sebagaimana diatur didalam
Putusan Mahkamah Agung No. 178 K/Kr/1959 tanggal 8 Desember 1959 yang
menyatakan hakim bertugas semata-mata untuk melakukan undang-undang yang
berlaku dan tidak dapat menguji nilai atau keadilan suatu peraturan
perundang-undangan atau pernyataan bahwa karena unsur-unsur tindak pidana yang
dinyatakan dalam surat dakwaan tidak terbukti, terdakwa harus dibebaskan dari
segala tuduhan menurut penulis melambangkan alam berfikir hakim didalam
memutuskan perkara.
Dari ranah ini,
Berdasarkan teori pertanggungjawaban inilah, penulis menyatakan bahwa suatu
perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa tidak terpenuhi dan terdakwa tidak
dapat diminta pertanggungjawaban sebagaimana diatur didalam pasal 5 ayat (2) UU
No. 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak. Pasal 5 “(1) Dalam hal anak belum
mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana,
maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik.(2)
Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua
asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali,
atau orang tua asuhnya.
Bahwa mendasarkan
kepada pemikiran yang telah disampaikan oleh Bagir Manan, bahwa yang paling
penting didalam melakukan putusan terhadap suatu perkara haruslah memperhatikan
kepentingan publik (public interest), kepentingan sosial (social interest) dan
para pihak yang berperkara (privat interest) yang dalam hal ini adalah terdakwa
Raju. Apabila tidak dimungkinkan adanya keseimbangan dari kepentingan tersebut,
maka haruslah diutamakan kepada public interest yang mendasarkan kepada
kepastian hukum.
Apabila kita membedah
persidangan terhadap AAL, maka terhadap AA tidak ditemukan dasar untuk
dihentikan pemeriksaan persidangan sebagaimana diatur didalam KUHAP. KUHAP
hanya membuka ruang diskusi untuk menghentikan pemeriksaan persidangan dengan
alasan bahwa terdakwa sakit sebagaimana persidangan terhadap Soeharto dan
terdakwa meninggal dunia sebagaimana diatur didalam pasal 77 KUHP. Selain
daripada dua ketentuan tersbut, maka terdakwa haruslah tetap diperiksa dan
tidak dapat dihentikan pemeriksaan terhadapnya. Sedangkan apabila melihat
daripada alasan pembenar maupun pemaaf perbuatan terdakwa sebagaimana diatur
dari pasal 44 sampai dengan pasal 51 ayat (2) dapat dilakukan dalam pemeriksaan
namun, pasal ini juga tidak mengatur untuk dihentikan pemeriksaan.
Sedangkan dari UU No. 3
Tahun 1997 tentang Peradilan Anak tidak juga ditemukan dasar untuk menghentikan
pemeriksaan terhadap proses persidangan.
Secara yuridis-formil,
hakim harus memeriksa dan mengadili perkara ini dan tentu saja tidak dihentikan
karena tidak ditemukan alasan pembenar maupun pemaaf sebagaimana diatur didalam
KUHP. Pemikiran ini adalah positivisme yang senantiasa harus dilakukan oleh Hakim.
Dari seluruh ketentuan
normatif tersebut, maka dapat dimengerti bahwa hakim tidak dapat menghentikan
pemeriksaan tersebut dengan alasan apapun yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu
berdasarkan kepada ajaran positivisme, maka persidangan tidak dapat dihentikan.
Pertimbangan itulah yang membuat penulis memahami argumentasi aliran
positivisme dalam polemik terhadap persidangan AAL.
Namun wacana
persidangan terhadap AAL apabila kita dalilkan dengan ajaran positivisme dan
rasa keadilan ditengah masyarakat dan tidak terpenuhinya prinsip dari hukum
pidana yaitu mencari kebenaran yang sebenar-benarnya tidak akan terpenuhi dan
akan menimbulkan polemik yang berkepanjangan. Terhadap dua perbandingan
tersebut, maka dapat kita tarik benang merah sehingga untuk kedepan tidak
terulang peristiwa tersebut.
Apabila kita lihat
proses persidangan terhadap AAL, maka
kita harus membongkar rangkaian perjalanan perkara ini hingga diperiksa dimuka
persidangan. Pihak kepolisian haruslah diusut tuntas dengan pertimbangan,
Mengapa perkara ini tetap dilanjutkan ? Apakah sudah dilakukan upaya perdamaian
sehingga perkara ini tidak dilanjutkan. Apakah tidak dimungkinkan adanya
pembinaan dari orang tua AAL dalam perkara ini ? apakah sudah terlalu berbahaya
perbuatan AAL sehingga upaya diluar proses hukum tidak berjalan ? Apakah tidak
dilakukan cara-cara lain untuk menyelesaikan perkara ini. Pertanyaan ini
sengaja menggelitik penulis untuk dapat berfikir jernih didalam melihat perkara
ini.
Pertanyaan sama juga
ditujukan kepada Jaksa penuntut umum yang berdasarkan kewenangannya kemudian
menerima berkas dan membuat dakwaan dan membawa AAL dimuka persidangan. Apakah
pertimbangan itu juga menjadi bahan Jaksa Penuntut Umum sebelum membuat dakwaan
terhadap AAL Seluruh rangkaian perkara
ini hingga dimuka persidangan mengakibatkan perkara ini tidak dapat dihentikan.
Karena hakim tidak boleh menolak perkara sebagaimana diatur didalam berbagai
peraturan yang berkaitan dengna kedudukan hakim dan peraturan lainnya. oleh
karena itu sebenarnya titik taut kesalahan perkara ini muncul karena proses di
tingkat kepolisian dan Kejaksaan yang tidak sesuai dengan normatif UU peradilan
Anak.
Dari deskripsi
sederhana ini, banyak pelajaran yang menarik untuk kita tarik. Pertama. Bahwa
adanya pemahaman di tingkat penyidik dan Kejaksaan tentang Peradilan Anak dan
berbagai ketentuan normatif yang memberikan perlindungan anak. Kedua. Perlunya
revisi terhadap UU Peradilan Anak dan Kejahatan Anak yang memberikan kewenangan
kepada Mahkamah Agung untuk dapat mempunyai kewenangan menghentikan pemeriksaan
terhadap anak dibawah umur terhadap
kejahatan yang nilai kerugiannya kecil. Ketiga. Bahwa peradilan haruslah steril
dari “intervensi” diluar persidangan agar proses persidangan fair.
Apabila kita mau
sejenak untuk menghentikan perdebatan aliran positivisme dan makna keadilan
disisi lain, maka kita akan bertindak bijaksana dan tidak meminta kepada Dewi Themis, Sang Dewi Keadilan dalam Mitologi Yunani agar
tidak salah mengayunkan pedangnya.
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 6 Januari 2012
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 6 Januari 2012
.