04 Januari 2012

opini musri nauli : Persidangan AAL



PERSIDANGAN AAL
( Waktu  Salah diangkatnya Pedang Keadilan)
Musri Nauli

Sidang kasus dugaan pencurian yang melibatkan AAL, pelajar SMK Negeri 3 Palu yang dituduh mencuri sandal jepit milik Polisi menarik perhatian publik bersamaan dengan berita “rakitan mobil KIA-ESEMKA” yang kemudian dijadikan mobil dinas Walikota Solo. Dua peristiwa ini sekedar gambaran, bagaimana pelajar di Indonesia menjadi sorotan setelah generasi sebelumnya dituding sebagai bagian dari korupsi di Indonesia dan generasi selanjutnya gagal membina Sepakbola Indonesia.


Sidang Kasus pencurian sandal jepit membuka mata publik dan mengingatkan terhadap persidangan terhadap Muhammad Azwar alias Raju di Pengadilan Negeri Stabat, Langkat (Maret 2007).  Di Jambi sendiri, di Tebo, kita dikabarkan dengan berita gempar ditemukan meninggalnya seorang anak yang masih balita (bawah umur lima tahun) korban berinisial Mz. Didalam proses penyidikan, kemudian pihak kepolisian berhasil membongkar sebab kematian dari Mz. Seorang pelaku yang kemudian dikenal dengan nama si AF mengaku melakukan perbuatan “tidak senonoh” terhadap korban. Perbuatan Si AF yang melakukan perbuatan “tidak senonoh” terhadap korban disebabkan setelah pelaku menonton video “ariel Peterpan” dari rekaman HP (Maret 2011).
Tiga peristiwa diatas sekedar menggambarkan bagaimana pandangan publik yang melihat proses peradilan terhadap anak dibawah umur (UU Pengadilan Anak memberikan batasan umur terhadap pelaku anak yang berusia dibawah 18 Tahun). Tiga peristiwa diatas sekali lagi membuktikan kepada kita semua, bagaimana proses hukum dimuka persidangan tidak terlepas dari tarik menarik paradigma aliran positivisme disatu sisi dan aliran keadilan disisi lain.
Terlepas dari pembuktian materiil terhadap tuduhan terhadap ketiga pelaku dari tiga peristiwa diatas, Tiga proses persidangan terhadap AAL, Raju dan si AF menimbulkan persoalan dalam praktek peradilan pidana.

MAKNA KEADILAN

Apabila kita melihat pemikiran kalangan yang menghendaki agar menghentikan proses persidangan terhadap AAL, maka penulis termasuk kalangan setuju. Dari konteks ini, penulis berpendapat, bahwa proses persidangan terhadap AAL tidak memenuhi prinsip dari hukum pidana tersebut. Prinsip dari hukum pidana yaitu menciptakan rasa adil ditengah masyarakat, proses ini juga menimbulkan effek jera kepada pelaku dan masyarakat umum terhadap perbuatan yang dilarang tersebut. Namun berpijak kepada kasus AAL, dua fundamental ini tidak terpenuhi. Selain menimbulkan kontroversial ditengah masyarakat, AAL sebagai terdakwa dalam perkara ini tentunya merasakan ketidakadilan. AAL  justru tidak mengalami masa-masa indah dan bergaul dengan teman-teman sebayanya. AAL mengalami “dunia” yang aneh dan cenderung asing dengan berbagai lapisan diluar usianya. AAL “dipaksa” menjadi dewasa dan mandiri untuk bertahan hidup. Seluruh perasaan ingin dibelai dan butuh perhatian kasih sayang dari orang yang menyayangi tidak diterimanya lagi. AAL memang dituduh mencuri sandal jepit oleh Jaksa Penuntut Umum didalam persidangan. Namun kelakuannya tersebut tidak pantas kemudian disidangkan dimuka persidangan. Sehingga AAL mengalami “hukuman” yang melebihi kesalahannya. AAL tidak pantas mengalami proses dan hukuman sosial melebih kesalahannya dan tentu saja disinilah rasa “ketidakadilan” yang dirasakan oleh AAL dan menggelitik penulis juga termasuk barisan yang menyatakan ketidakadilan terhadap proses terhadap AAL.
Selain itu juga bahwa peristiwa terhadap AAL tentunya tidak menimbulkan effek jera kepada masyarakat umum. Sehingga dua fundamental dari hukum pidana tidak tercapai dengan diterapkan proses persidangan terhadap AAL
Namun mengharapkan agar persidangan ”dihentikan” sebagaimana disampaikan sebagian kalangan akan berbenturan dengan paradigma aliran positivisme yang dianut sebagian besar penegak hukum di Indonesia.

ALIRAN POSITIVISME

Sebagaimana kita ketahui, hakim menjatuhkan putusan berpatokan kepada alat bukti sebagaimana diatur didalam pasal 184 KUHAP. Suatu perbuatan tindak pidana yang harus dilakukan kepada para pelaku harus juga memperhatikan teori pertanggungjawaban pidana seperti teorkenbaarheid, criminal responbility, criminal liability yaitu teori untuk menentukan apakah seorang tersangka/terdakwa dapat dipertanggungjawabkan suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak. Artinya perbuatan pidana tersebut dilakukan bersifat melawan hukum. Menurut Pompe hubungan petindak dengna tindakannya ditinjaui dari sudut kehendak (de will), kesalahan petindak adalah merupakan bagian dari kehendak tersebut. Maka asas yang timbul adalah tiada pidana tanpa kesalahan. Nyatalah bahwa jika seseorang melakukan tindakan yang tidak bersifat melawan hukum tersebut dihapuskan oleh suatu keadaan tertentu berdasarkan undang-undang maka terhadap petindak itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan pidana terhadapnya.
Dalam berbagai wacana diskusi, penulis termasuk barisan yang konsisten menyatakan bahwa hakim di Indonesia harus berpandangan positivisme dimana ajaran in merupakan ajaran umum dalam hukum Indonesia. Ajaran ini merupakan terjemahan langsung dari pengembangan ajaran legalisme. Ajaran legalisme menyatakan bahwa yang dinamakan hukum adalah Undang-undang. Sedangkan ajaran positivisme merupakan ajaran yang menyatakan bahwa selain UU juga adanya yurisprudensi. Dari titik masuk ini, maka hakim di Indonesia harus berpandangan positivisme.
Dalam berbagai literatur yang menjadi sorotan penulis, bahwa sebagaimana diatur didalam Putusan Mahkamah Agung No. 178 K/Kr/1959 tanggal 8 Desember 1959 yang menyatakan hakim bertugas semata-mata untuk melakukan undang-undang yang berlaku dan tidak dapat menguji nilai atau keadilan suatu peraturan perundang-undangan atau pernyataan bahwa karena unsur-unsur tindak pidana yang dinyatakan dalam surat dakwaan tidak terbukti, terdakwa harus dibebaskan dari segala tuduhan menurut penulis melambangkan alam berfikir hakim didalam memutuskan perkara.
Dari ranah ini, Berdasarkan teori pertanggungjawaban inilah, penulis menyatakan bahwa suatu perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa tidak terpenuhi dan terdakwa tidak dapat diminta pertanggungjawaban sebagaimana diatur didalam pasal 5 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak. Pasal 5 “(1) Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik.(2) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.
Bahwa mendasarkan kepada pemikiran yang telah disampaikan oleh Bagir Manan, bahwa yang paling penting didalam melakukan putusan terhadap suatu perkara haruslah memperhatikan kepentingan publik (public interest), kepentingan sosial (social interest) dan para pihak yang berperkara (privat interest) yang dalam hal ini adalah terdakwa Raju. Apabila tidak dimungkinkan adanya keseimbangan dari kepentingan tersebut, maka haruslah diutamakan kepada public interest yang mendasarkan kepada kepastian hukum.
Apabila kita membedah persidangan terhadap AAL, maka terhadap AA tidak ditemukan dasar untuk dihentikan pemeriksaan persidangan sebagaimana diatur didalam KUHAP. KUHAP hanya membuka ruang diskusi untuk menghentikan pemeriksaan persidangan dengan alasan bahwa terdakwa sakit sebagaimana persidangan terhadap Soeharto dan terdakwa meninggal dunia sebagaimana diatur didalam pasal 77 KUHP. Selain daripada dua ketentuan tersbut, maka terdakwa haruslah tetap diperiksa dan tidak dapat dihentikan pemeriksaan terhadapnya. Sedangkan apabila melihat daripada alasan pembenar maupun pemaaf perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dari pasal 44 sampai dengan pasal 51 ayat (2) dapat dilakukan dalam pemeriksaan namun, pasal ini juga tidak mengatur untuk dihentikan pemeriksaan.
Sedangkan dari UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak tidak juga ditemukan dasar untuk menghentikan pemeriksaan terhadap proses persidangan.
Secara yuridis-formil, hakim harus memeriksa dan mengadili perkara ini dan tentu saja tidak dihentikan karena tidak ditemukan alasan pembenar maupun pemaaf sebagaimana diatur didalam KUHP. Pemikiran ini adalah positivisme yang senantiasa harus dilakukan oleh Hakim.
Dari seluruh ketentuan normatif tersebut, maka dapat dimengerti bahwa hakim tidak dapat menghentikan pemeriksaan tersebut dengan alasan apapun yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu berdasarkan kepada ajaran positivisme, maka persidangan tidak dapat dihentikan. Pertimbangan itulah yang membuat penulis memahami argumentasi aliran positivisme dalam polemik terhadap persidangan AAL.
Namun wacana persidangan terhadap AAL apabila kita dalilkan dengan ajaran positivisme dan rasa keadilan ditengah masyarakat dan tidak terpenuhinya prinsip dari hukum pidana yaitu mencari kebenaran yang sebenar-benarnya tidak akan terpenuhi dan akan menimbulkan polemik yang berkepanjangan. Terhadap dua perbandingan tersebut, maka dapat kita tarik benang merah sehingga untuk kedepan tidak terulang peristiwa tersebut.
Apabila kita lihat proses persidangan terhadap AAL,  maka kita harus membongkar rangkaian perjalanan perkara ini hingga diperiksa dimuka persidangan. Pihak kepolisian haruslah diusut tuntas dengan pertimbangan, Mengapa perkara ini tetap dilanjutkan ? Apakah sudah dilakukan upaya perdamaian sehingga perkara ini tidak dilanjutkan. Apakah tidak dimungkinkan adanya pembinaan dari orang tua AAL dalam perkara ini ? apakah sudah terlalu berbahaya perbuatan AAL sehingga upaya diluar proses hukum tidak berjalan ? Apakah tidak dilakukan cara-cara lain untuk menyelesaikan perkara ini. Pertanyaan ini sengaja menggelitik penulis untuk dapat berfikir jernih didalam melihat perkara ini.
Pertanyaan sama juga ditujukan kepada Jaksa penuntut umum yang berdasarkan kewenangannya kemudian menerima berkas dan membuat dakwaan dan membawa AAL dimuka persidangan. Apakah pertimbangan itu juga menjadi bahan Jaksa Penuntut Umum sebelum membuat dakwaan terhadap AAL  Seluruh rangkaian perkara ini hingga dimuka persidangan mengakibatkan perkara ini tidak dapat dihentikan. Karena hakim tidak boleh menolak perkara sebagaimana diatur didalam berbagai peraturan yang berkaitan dengna kedudukan hakim dan peraturan lainnya. oleh karena itu sebenarnya titik taut kesalahan perkara ini muncul karena proses di tingkat kepolisian dan Kejaksaan yang tidak sesuai dengan normatif UU peradilan Anak.
Dari deskripsi sederhana ini, banyak pelajaran yang menarik untuk kita tarik. Pertama. Bahwa adanya pemahaman di tingkat penyidik dan Kejaksaan tentang Peradilan Anak dan berbagai ketentuan normatif yang memberikan perlindungan anak. Kedua. Perlunya revisi terhadap UU Peradilan Anak dan Kejahatan Anak yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk dapat mempunyai kewenangan menghentikan pemeriksaan terhadap anak dibawah umur  terhadap kejahatan yang nilai kerugiannya kecil. Ketiga. Bahwa peradilan haruslah steril dari “intervensi” diluar persidangan agar proses persidangan fair.
Apabila kita mau sejenak untuk menghentikan perdebatan aliran positivisme dan makna keadilan disisi lain, maka kita akan bertindak bijaksana dan tidak meminta kepada Dewi Themis, Sang Dewi Keadilan dalam Mitologi Yunani agar tidak salah mengayunkan pedangnya. 

Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 6 Januari 2012



.