Media online ”hukumonline”
mengabarkan, tahun 2011, ”Seratusan Pasal
Pidana Siap Mengancam” 04 January 2012.
Berita ini memberikan inspirasi
kepada penulis untuk melihat bagaimana hukum (terutama hukum pidana) memberikan penghukuman (judgement) kepada masyarakat dan paradigma negara melihat hukum
yang cenderung represif dalam melihat berbagai pelanggaran.
Hampir seratus pasal pidana siap mengancam
siapapun yang melanggarnya. Penelusuran yang dilakukan terhadap 24
undang-undang yang dihasilkan Pemerintah dan DPR sepanjang tahun 2011, tercatat
tidak kurang dari 95 pasal baru yang memuat ancaman pidana, baik ditujukan
kepada subjek hukum perorangan maupun subjek hukum korporasi. Jumlahnya
kemungkinan masih bertambah karena DPR dan Pemerintah juga telah menyetujui RUU
Pengadaan Tanah untuk disahkan menjadi undang-undang.
Meskipun terdapat 95 pasal, norma
pidananya dipastikan lebih banyak. Ada beberapa pasal yang terdiri dari dua
atau lebih ayat. Pasal 73 D dan pasal 73 E UU No 10 Tahun 2011, yang mengatur Perdagangan
Berjangka Komoditi, misalnya masing-masing memuat lima ayat. Ancaman terbanyak
terdapat pada UU No 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian, yang memuat 24 pasal. Dalam aturan keimigrasian lama (UU No 9 Tahun 1992), hanya ada 14 pasal ancaman
pidana.
Jumlah Pasal Ancaman Pidana dalam Undang-Undang Tahun 2011
Nomor
UU
|
Tentang
|
Jumlah
Pasal Pidana
|
1.
|
Perumahan
dan Kawasan Pemukiman
|
13
pasal
|
2.
|
Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik
|
-
|
3.
|
Transfer
Dana
|
8
pasal
|
4.
|
Informasi
Geospasial
|
5
pasal
|
5.
|
Akuntan
Publik
|
3
pasal
|
6.
|
Keimigrasian
|
24
pasal
|
7.
|
Mata
Uang
|
8
pasal
|
8.
|
Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi
|
-
|
9.
|
Perubahan
atas Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 tentang Resi Gudang
|
|
10.
|
Perubahan atas UU No. 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan
Berjangka Komoditi.
|
9
pasal
|
11.
|
Perubahan
atas Undang-Undang No. 10 Tahun 2010 tentang APBN Tahun Anggaran 2010
|
-
|
12.
|
Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan
|
-
|
13.
|
Penanganan
Fakir Miskin
|
2
pasal
|
14.
|
Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran
2010
|
-
|
15.
|
Penyelenggaraan
Pemilihan Umum
|
-
|
16.
|
Bantuan
Hukum
|
1
pasal
|
17.
|
Intelijen
Negara
|
4
pasal
|
18.
|
Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial
|
-
|
19.
|
Pengesahan Convention
on the Rights of Persons With Disabilities
|
-
|
20.
|
Rumah
Susun
|
8
pasal
|
21.
|
Otoritas
Jasa Keuangan
|
3
pasal
|
22.
|
APBN
Tahun Anggaran 2012
|
-
|
23.
|
Pengelolaan
Zakat
|
3
pasal
|
24.
|
Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial
|
2
pasal
|
T
o t a l
|
95
pasal
|
Sumber : www.hukumonline,
4 Januari 2012
Dosen hukum pidana Universitas Widyagama
Malang, Zulkarnain, mengatakan perumusan pidana acapkali dibutuhkan untuk
mengakomodir perkembangan baru. Banyak perbuatan baru yang perlu diatur karena
belum ada aturan yang bisa menjerat perbuatan tersebut, termasuk di KUHP. “Rumusan pidana dalam KUHP kan belum tentu
komprehensif,” ujarnya.
Faktor lain yang mendorong perlunya perumusan
pidana, kata Zulkarnain, karena perubahan paradigma. Jika dulu subjek
hukum pidana itu hanya orang perseorangan, kini subjek hukum korporasi semakin
banyak dikenal. Semakin banyak Undang-Undang yang mengenal pertanggungjawaban
pidana korporasi.
Kebiasaan legislator membuat rumusan pidana nyaris
dalam setiap Undang-Undang sebenarnya mengkhawatirkan. Akibat yang paling
mungkin adalah potensi disharmoni dan perbedaan perumusan norma pidananya. Di
satu Undang-Undang suatu tindak pidana bisa bersifat aduan, tetapi norma yang
nyaris sama di Undang-Undang lain bukan delik aduan. “Disparitas hukuman pidananya juga mungkin berbeda,” kata Zulkarnain
Semakin banyak rumusan pidana dicantumkan, semakin
potensial saling bertentangan.
Padahal Hukum seharusnya selaras dengan keadaan
bangsa. Cesare Beccaria menyebutkan Di antara masyarakat yang belum keluar dari
kebiadannya, hukuman yang paling berat karena pengaruh yang kuat diperlukan.
Tetapi seiring pikiran manusia yang melunak karena hubungannya dalam
masyarakat, berat hukuman harus dikurangi.
Hakim tidak punya hak untuk menafsirkan hukum
pidana karena ia bukanlah pembuat UU. Jika kekuasaan untuk menafsirkan hukum merupakan kejahatan, maka
ketidakjelasan dalam hukum pastinya merupakan kejahatan lain.
Perumusan setiap UU yang mencantumkan pidana
penjara terhadap pelanggar ketentuan UU membuktikan, negara masih menganut
paradigma didalam melihat setiap pelanggaran Pidana dalam rumusan UU. Negara
masih menganut paradigma yang memandang sempit setiap kesalahan merupakan
pidana penjara.
Berangkat dari kekeliruan dan paradigma yang
memandang sempit pelaksanaan hukuman pidana, membuat rumusan penerapan
pasal-pasal dijatuhi pidana penjara membuat, setiap persoalan penyelesaikan
menggunakan pendekatan premium remedium. Pidana penjara merupakan penyelesaikan
utama dan pendekatan pertama didalam menyelesaikan kesalahan penerapan hukum.
Padahal sebagaimana telah kita ketahui
bersama, pendekatan premium remedium
sudah lama usang dan sudah ditinggalkan justru di kawasan negara-negara Eropa
daratan/Eropa kontinental (aliran hukum
positivisme yang kemudian diadopsi oleh Belanda dan kemudian diteruskan dalam
berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia). Menjadi aneh dan
mengganggu pemikiran kita semua, pendekatan pendekatan premium remedium
kemudian menjadi mantra yang ”seakan-akan” sakti yang digunakan para legislator
dalam perumusan UU.
Justru pendekatan yang kemudian
digunakan adalah ”Ultimum remedium”. Pendekatan
yang menggunakan pengadilan sebagai sarana terakhir didalam memproses
pelanggaran pidana.
Pendekatan yang digunakan juga
membuktikan paradigma yang digunakan negara masih tertinggal dalam pemikiran
kolonial yang di Eropa masih dalam abad kegelapan (Abad XII-XIV). Padahal Setiap hukuman yang tidak lahir dari kebutuhan mutlak bersifat lalim. Hukum
apapun yang menyimpang dari prinsip ini
Atau negara masih teringat pernyataan Nicolas
machiavelli. PEMIMPIN LEBIH
BAIK DITAKUTI DARIPADA DIHORMATI.
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 11 Januari 2012
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 11 Januari 2012