06 Januari 2012

opini musri nauli : Paradigma negara dalam melihat hukum pidana




Media online ”hukumonline” mengabarkan, tahun 2011, ”Seratusan Pasal Pidana Siap Mengancam04 January 2012. Berita ini memberikan inspirasi kepada penulis untuk melihat bagaimana hukum (terutama hukum pidana) memberikan penghukuman (judgement) kepada masyarakat dan paradigma negara melihat hukum yang cenderung represif dalam melihat berbagai pelanggaran.

Hampir seratus pasal pidana siap mengancam siapapun yang melanggarnya. Penelusuran yang dilakukan terhadap 24 undang-undang yang dihasilkan Pemerintah dan DPR sepanjang tahun 2011, tercatat tidak kurang dari 95 pasal baru yang memuat ancaman pidana, baik ditujukan kepada subjek hukum perorangan maupun subjek hukum korporasi. Jumlahnya kemungkinan masih bertambah karena DPR dan Pemerintah juga telah menyetujui RUU Pengadaan Tanah untuk disahkan menjadi undang-undang. 
Meskipun terdapat 95 pasal, norma pidananya dipastikan lebih banyak. Ada beberapa pasal yang terdiri dari dua atau lebih ayat. Pasal 73 D dan pasal 73 E UU No 10 Tahun 2011, yang mengatur Perdagangan Berjangka Komoditi, misalnya masing-masing memuat lima ayat. Ancaman terbanyak terdapat pada UU No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, yang memuat 24 pasal. Dalam aturan keimigrasian lama (UU No 9 Tahun 1992), hanya ada 14 pasal ancaman pidana.

Jumlah Pasal Ancaman Pidana dalam Undang-Undang Tahun 2011
Nomor UU
Tentang
Jumlah Pasal Pidana
1.
Perumahan dan Kawasan Pemukiman
13 pasal
2.
Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
-
3.
Transfer Dana
8 pasal
4.
Informasi Geospasial
5 pasal
5.
Akuntan Publik
3 pasal
6.
Keimigrasian
24 pasal
7.
Mata Uang
8 pasal
8.
Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
-
9.
Perubahan atas Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 tentang Resi Gudang

10.
Perubahan atas UU No. 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi.
9 pasal
11.
Perubahan atas Undang-Undang No. 10 Tahun 2010 tentang APBN Tahun Anggaran 2010
-
12.
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
-
13.
Penanganan Fakir Miskin
2 pasal
14.
Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2010
-
15.
Penyelenggaraan Pemilihan Umum
-
16.
Bantuan Hukum
1 pasal
17.
Intelijen Negara
4 pasal
18.
Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
-
19.
Pengesahan Convention on the Rights of Persons With Disabilities
-
20.
Rumah Susun
8 pasal
21.
Otoritas Jasa Keuangan
3 pasal
22.
APBN Tahun Anggaran 2012
-
23.
Pengelolaan Zakat
3 pasal
24.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
2 pasal
T o t a l
95 pasal
Sumber : www.hukumonline, 4 Januari 2012

Dosen hukum pidana Universitas Widyagama Malang, Zulkarnain, mengatakan perumusan pidana acapkali dibutuhkan untuk mengakomodir perkembangan baru. Banyak perbuatan baru yang perlu diatur karena belum ada aturan yang bisa menjerat perbuatan tersebut, termasuk di KUHP. “Rumusan pidana dalam KUHP kan belum tentu komprehensif,” ujarnya.
Faktor lain yang mendorong perlunya perumusan pidana, kata Zulkarnain, karena perubahan paradigma. Jika dulu subjek hukum pidana itu hanya orang perseorangan, kini subjek hukum korporasi semakin banyak dikenal. Semakin banyak Undang-Undang yang mengenal pertanggungjawaban pidana korporasi.
Kebiasaan legislator membuat rumusan pidana nyaris dalam setiap Undang-Undang sebenarnya mengkhawatirkan. Akibat yang paling mungkin adalah potensi disharmoni dan perbedaan perumusan norma pidananya. Di satu Undang-Undang suatu tindak pidana bisa bersifat aduan, tetapi norma yang nyaris sama di Undang-Undang lain bukan delik aduan. “Disparitas hukuman pidananya juga mungkin berbeda,” kata Zulkarnain
Semakin banyak rumusan pidana dicantumkan, semakin potensial saling bertentangan.
Padahal Hukum seharusnya selaras dengan keadaan bangsa. Cesare Beccaria menyebutkan Di antara masyarakat yang belum keluar dari kebiadannya, hukuman yang paling berat karena pengaruh yang kuat diperlukan. Tetapi seiring pikiran manusia yang melunak karena hubungannya dalam masyarakat, berat hukuman harus dikurangi.
Hakim tidak punya hak untuk menafsirkan hukum pidana karena ia bukanlah pembuat UU. Jika kekuasaan untuk menafsirkan hukum merupakan kejahatan, maka ketidakjelasan dalam hukum pastinya merupakan kejahatan lain.
Perumusan setiap UU yang mencantumkan pidana penjara terhadap pelanggar ketentuan UU membuktikan, negara masih menganut paradigma didalam melihat setiap pelanggaran Pidana dalam rumusan UU. Negara masih menganut paradigma yang memandang sempit setiap kesalahan merupakan pidana penjara.
Berangkat dari kekeliruan dan paradigma yang memandang sempit pelaksanaan hukuman pidana, membuat rumusan penerapan pasal-pasal dijatuhi pidana penjara membuat, setiap persoalan penyelesaikan menggunakan pendekatan premium remedium. Pidana penjara merupakan penyelesaikan utama dan pendekatan pertama didalam menyelesaikan kesalahan penerapan hukum.
Padahal sebagaimana telah kita ketahui bersama,  pendekatan premium remedium sudah lama usang dan sudah ditinggalkan justru di kawasan negara-negara Eropa daratan/Eropa kontinental (aliran hukum positivisme yang kemudian diadopsi oleh Belanda dan kemudian diteruskan dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia). Menjadi aneh dan mengganggu pemikiran kita semua, pendekatan pendekatan premium remedium kemudian menjadi mantra yang ”seakan-akan” sakti yang digunakan para legislator dalam perumusan UU.
Justru pendekatan yang kemudian digunakan adalah ”Ultimum remedium”. Pendekatan yang menggunakan pengadilan sebagai sarana terakhir didalam memproses pelanggaran pidana.
Pendekatan yang digunakan juga membuktikan paradigma yang digunakan negara masih tertinggal dalam pemikiran kolonial yang di Eropa masih dalam abad kegelapan (Abad XII-XIV). Padahal  Setiap hukuman yang tidak lahir dari kebutuhan mutlak bersifat lalim. Hukum apapun yang menyimpang dari prinsip ini
Atau negara masih teringat pernyataan Nicolas machiavelli. PEMIMPIN LEBIH BAIK DITAKUTI DARIPADA DIHORMATI. 

Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 11 Januari 2012