Ketika
Hukum Tertinggal mengikuti Perkembangan zaman
Beberapa
waktu yang lalu, media massa
mengabarkan peristiwa “rencana”
pembobolan dana nasabah di sebuah Bank di Jambi. Penulis sengaja menuliskan “rencana” karena pembobolan dana nasabah
kemudian digagalkan oleh Pihak Kepolisian Kota Sektor Pasar Polresta Jambi.
Dalam istilah hukum, “rencana” yang kemudian gagal dikenal dengan istlah “poeging”. Artinya “gagal” itu disebabkan bukan dari kehendak pelaku.
Dari
berbagai pemberitaan di media massa,
kemudian penyidik menetapkan pasal-pasal seperti tindak pidana pemalsuan (karena para pelaku dengna modus operandi
memalsukan buku tabungan nasabah) dan pasal pencurian sebagaimana diatur
didalam Pasal 363 KUHP.
Dari titik ini, penulis merasa gelisah.
Modus operandi canggih (sebelumnya para
pelaku berhasil membobol di sebuah Bank di Bengkulu Selatan) namun kemudian
hanya menerapkan pasal-pasal di dalam KUHP. Perbuatan pencurian yang berkaitan
dengan Bank (kejahatan canggih/white
crime) namun hanya menerapkan pasal didalam KUHP (kejahatan konvensional).
Penulis kemudian tersentak ketika membaca
rumusan tindak pidana didalam UU Perbankan sebagaimana diatur didalam UU No. 10
Tahun 1998. Didalam norma tindak pidana didalam UU Perbankan sama sekali tidak
mencantumkan perbuatan pidana yang dapat diterapkan kepada para pelaku. Begitu
juga didalam UU ITE sebagaimana didalam rumusan UU No. 11 Tahun 2008. Sama
sekali tidak mencantumkan tindak pidana yang dapat diterapkan kepada para
pelaku.
UU Perbankan hanya mengatur terhadap
komunitas perbankan seperti mengenai pencatatan nasabah, bisnis perbankan, tata
aturan mengenai perbankan. Pokoknya segala sesuatu yang berkaitan dengan
perbankan. Sedangkan didalam UU No. 11 Tahun 2008 mengenai ITE hanya mengatur
terhadap pembobolan dana nasabah dengan modus
operandi cyber crime. Kejahatan pembobolan dana nasabah melalui internet.
Penulis kemudian sadar, ternyata semangat
membuat UU Perbankan hanya mengatur yang berkaitan dengan perbankan. Atau
dengna kata lain, tindak pidana hanya ditujukan kepada komisaris, Direktur dan pegawai
bank. Sama sekali tidak mengatur tindak pidana sebagaimana peristiwa tersebut.
Tiba-tiba penulis tersentak, bagaimana
mungkin tindak pidana yang dilakukan para pelaku kemudian tidak termasuk kedalam
rumusan tindak pidana dalam UU Perbankan. Ketika membuat UU Perbankan, para dafter tidak memasukkan kejahatan
para pelaku tidak memasukkan kedalam UU perbankan.
Alangkah naifnya apabila tidak dikatakan
sebagai upaya yang lemah para dafter yang tidak memasukkan kejahatan ini
kedalam UU Perbankan. Peristiwa ini merupakan peristiwa yang serius yang
terjadi. Kejahatan yang sangat canggih kemudian hanya diterapkan dalam rumusan KUHP
yang konvensional
Dari peristiwa ini, maka sesungguhnya
kelemahan para dafter, membuat hukum menjadi tertinggal dari perkembangan yang
cepat dari peristiwa tindak pidana. Peristiwa ini juga mengajarkan bagaimana
kejahatan terus terjadi, semakin canggih dan senantiasa selalu mengintai di
sekeliling kita.
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 12 Maret 2012
http://www.jambiekspres.co.id/opini/21693-ketika-hukum-tertinggal-mengikuti-perkembangan-zaman.html
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 12 Maret 2012
http://www.jambiekspres.co.id/opini/21693-ketika-hukum-tertinggal-mengikuti-perkembangan-zaman.html