30 Agustus 2012

opini musri nauli : Yurisprudensi

Dalam tataran ilmu hukum, istilah “yurisprudensi” mempunyai makna yang berbeda, yurisprudential (latin), jurisprudentie (Belanda),


Jurisprudence (Perancis) yang berarti ilmu hukum. Dalam sistem hukum Anglo Saxon (Common law), artinya, suatu ilmu pengetahuan hukum positif dan hubungan dengan ilmu hukum lain. 


Sedangkan didalam sistem Eropa kontinental (civil law), artinya putusan hakim yang sudah inkracht yang kemudian diikuti hakim lain.


Dalam sistem hukum Eropa kontinental (civil law) yang menjunjung tinggi kepastian hukum (hukum adalah UU), maka peraturan yang memuat hukum sudah lengkap sehingga hakim tinggal menerapkan. Menurut John Austin hukum adalah hukum positif (laws properly so called positif law), hukum adalah perintah dari penguasa yang berdaulat (sovereignty), hukum pada kekuasaan dari pemegang kedaulatan yang berisi perintah, sanksi, kewajiban, kedaulatan, suatu sistem yang logis, tetap dan tertutup. Pendapat ini kemudian didukung oleh Hans Kelsen (Reine Rechtslehre). 


Sehingga menurut Jeremi Bentham dan John Austin, penguasa yang berdaulat yang melahirkan UU, hukum harus bersih dari urusan moral (tidak dibenarkan mempertanyakan ketidakadilan), Maka fungsi hakim adalah corong UU (la bouche de la loi/mouthpiece of the law/the machine – like loudspeaker of the law/subsumptie automaat), hakim tidak perlu memperjuangkan “yang seharusnya (Das sollen) namun hanya menerapkan hukum yang berlaku (ius constitutum). Hukum adalah yang tertulis (law as it is written in the book), yang mengakibatkan hukum sebagai norma tanpa mempersoalkan keadilan.


Semuanya berangkat dari teori Montesqueieu yang terkenal “Trias Politica” dalam ajaran “separation of power” yang terdiri dari legislative power, eksekutif power dan judikative power. 


Dengan demikian, maka yang berwenang menciptakan hukum adalah “legislative power”.


Sedangkan didalam sistem hukum anglo saxon (common law), terutama dalam aliran realisme hukum sebagaimana telah dijelaskan Ronald Dworkin “Tolking Right Seriously” hukum baru menjadi hukum ketika digunakan hakim untuk menyelesaikan kasus hukum. Dan pernyataan seperti putusan pengadilan adalah hukum. Istilah ini kemudian dikenal dengan “judge made laws”. Hakim pembuat hukum.


Berangkat dari dua konsepsi hukum didalam memandang yuriprudeni, maka Indonesia yang berangkat dari sistem hukum Eropa kontinental (civil law) kemudian mengadopsi pemikiran yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum selain UU, traktat, dan doktrin. Pemikiran ini kemudian berangkat dari hakekat kebenaran adalah keadilan (to enforce the truth, to enforce the justice).


Berdasarkan yurisprudensi No. 395 K/Pid/1995 “hakim didalam menafsirkan UU harus memperhatikan masalah suatu kasus yang kongkrit, UU hanya merupakan acuan untuk pemecahan masalah dan bukan satu-satunya sumber hukum. Pemikiran inilah kemudian membuat posisi hakim mempunyai kewenangan untuk menyimpangi ketentuan tertulis yang telah usang, ketinggalan zaman sehingga tidak lagi mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat (contra legem).


Yurisprudensi yang kemudian dapat dijadikan sumber hukum memerlukan seleksi ketat. MA kemudian merumuskan, yurisprudeni yang dapat digunakan apabila tidak pilih kasih, tidak melihat menyenangkan atau tidak, memuaskan perasaan kedua belah pihak dan tidak boleh menyakiti perasaan masyarakat luas, ketertiban umum dan kesadaran.


Namun yang pasti, penerapan yurisprudensi harus mengutamakan hukum yang masih berlaku (dalam sistem hukum eropa kontinental sebagaimana ajaran statute laws system) barulah berlaku statute laws prevail.