Banyak ujaran bijak yang sering memberikan nilai kepada kita
bagaimana menulis. Ada
yang menyebutkan, menulis menuangkan gagasan. Menulis memperkaya batin. Menulis
mempertajam makna. Menulis mendatangkan gairah. Menulis menampakkan jati diri
kita. Bahkan para penulis besar sering mengatakan, menulis akan dikenang zaman.
Kita mengenal Goenawan Muhammad, Syahrir, Hatta, Tan Malaka,
Pramudya Ananta Toer adalah sedikit orang yang bisa disebutkan, penulis yang
sampai sekarang, bukunya masih sering didiskusikan, dibicarakan bahkan sering
menjadi rujukan berbagai tulisan.
Goenawan Muhammad sampai sekarang menulis “catatan pinggiran”
Tempo yang terbit setiap minggu. Hatta menulis buku yang terkenal, Demokrasi
Kita. Tan Malaka menulis risalah penting untuk memotret “Madilog” yang sampai
sekarang tiada bandingannya. Pramudya Ananta Toer membuat Tetralogi yang
terkenal, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Belum
lagi berbagai buku yang sampai sekarang menjadi perburuan para maniak buku.
Bukan terbitan yang ada di toko buku, namun cetakan stensilan.
Tentu saya tulisan ini dipaparkan sekedar memotivasi penulis untuk
menceritakan sedikit pengalaman penulis didalam tulisan yang dimuat media massa .
Sebagai praktisi hukum, kegelisahan penulis didasarkan kepada
pengalaman persidangan yang sering diperlakukan tidak adil. Penulis merasakan
“bagaimana hukum yang hanya tajam kebawah, namun tumpul dan tidak berdaya
berhadapan dengan kekuasaan, materil dan intervensi terhadap proses hukum.
Kegelisahan inilah kemudian dituangkan ke berbagai media massa dilihat dari relung
sanubari untuk menyampaikan berbagai gagasan.
Dari kegelisahan itulah, kemudian berbagai tulisan penulis
disadari sering sekali menimbulkan berbagai polemik, perdebatan bahkan
berhadapan dengan issu sensitif.
Sebelumnya, Dalam catatan penulis, polemik terhadap berbagai issu
yang penulis lontarkan mengingatkan akan berbagai perdebatan dengna beberapa
penulis
Tahun 2000, penulis pernah berbeda
pendapat dengan Thabrani M Sholeh SH, MH.
Penulis ingat, pada waktu merebak
kasus Soeharto, penulis berbeda pendapat secara tajam.
Secara singkat suasana
psikologis waktu itu, Soeharto diseret dimuka persidangan dengan berbagai
tuduhan pidana.
Namun pada waktu yang ditentukan, Soeharto tidak dapat hadir
dengan alasan sakit. Proses pemeriksaan tidak dapat dilanjutkan.
Disinilah
perdebatan muncul. Thabrani M. Saleh menulis opini, kasus Soeharto sebaiknya
dihentikan dengna ”pertimbangan
sakit. Namun penulis berpendapat berbeda. Soeharto tidak dapat dihentikan
kasusnya dengan alasan sakit.
Namun
apabila terdakwa sakit, maka pemeriksaan tidak
dapat dilanjutkan. Dan itu sudah ditentukan didalam KUHAP.
Secara
hakiki itu perbedaan yang mendasar. Disatu sisi, beliau menganjurkan ”menghentikan perkara, namun disisi lain, penulis
tidak sependapat. Alasan sakit hanya digunakan sebagai alasan untuk ”menghentikan” pemeriksaan
terhadap Soeharto. Bukanmenghentikan” perkara. (IN MEMORIAM
Thabrani M Sholeh SH, MH, Jambi Ekspress, Maret 2012
Begitu juga perdebatan penulis dengan Erdianto mengenai hukuman
mati. Sebelumnya penulis menolak hukuman mati yang dimuat di Jambi Ekspress, 12
Oktober 2006 yang berjudul “Hukuman Mati dari Perspektif HAM”, yang kemudian
ditanggapi oleh Erdianto Erdianto yang kemudian memberikan pandangannya yang
berjudul “Sekali Lagi, Soal Pidana Mati – Tanggapan atas Opini Musri Nauli”
yang diterbitkan pada tanggal 2 November 2006. Penulis kemudian menanggapi “KEKELIRUAN PENAFSIRAN HUKUMAN MATI
(Otokritik Terhadap Hukuman Mati), Jambi Ekspres, 9 November 2006
Sampai sekarang perbedaan pandangan antara penulis dengan Erdianto
mengenai hukuman mati masih menjadi perbedaan pandangan sekedar mewakili
bagaimana dikalangan ahli hukum juga terbelah baik yang mendukung hukuman mati
maupun ahli yang menolak hukuman mati
Perdebatan dengan Dr. Helmi juga pernah terjadi mengenai
‘PENANGANAN PELAKU KAYU ILLEGAL” yang disampaikan oleh Dr. Helmi, SH. Secara
ringkas perbedaan didasarkan kepada “barang bukti” yang menurut Dr. Helmi
berdasarkan kepada UU Kehutanan, haruslah dirampas. Penulis berbeda pandangan
dengan Dr. Helmi, selain terhadap barang bukti yang terdapat kepada pihak
ketiga, maka dimungkinkan terhadap penerapan pasal 39 KUHP dan penghormatan
konstitusi MK untuk melindungi barang milik
Penulis pernah berpolemik dengan Budi Setiawan dalam persoalan
Unja yang dimuat tahun 2005-2006
Namun tulisan penulis yang berjudul “Issu aliran sesat dari
perspektif hukum” yang dimuat di Harian Jambi Ekspress, tanggal 27 November
2007 merupakan salah topik yang paling kontroversial. Tulisan ini dibuat pada
saat itu, di Jambi sedang disidangkan perkara yang berkaitan dengan Islam Model
Baru (IMB). Tulisan ini kemudian dibahas di Program Filsafat Pemikiran S2 IAIN
dan penulis dijadikan salah satu narasumber untuk menyampaikan gagasan.
Yang paling teranyar, tentu saja tulisan Ketua KPU Kota Jambi,
Ratna Dewi yang berjudul “Mantan Napi dan hak-hak yang dipulihkan – Surat
Terbuka untuk Musri Nauli, SH. Penulis kemudian menanggapi dengan judul Beberapa alasan menolak pemikiran Ratna Dewi –
Otokritik pemikiran dalam konsep hak dipilih
Sekedar cerita yang telah penulis sampaikan “memotivasi” bagi
penulis sendiri ternyata berbagai gagasan yang sering dimuat di media massa
memberikan “energi” tambahan dan memberikan motivasi gagasan. Gagasan yang
sering “mengendap” dalam pikiran agar selalu disuarakan agar “perdebatan” hukum
juga menjadi tema menarik dan menggelitik orang banyak untuk urun rembug dari
sudut pandang yang berbeda. Kekayaan itulah yang kemudian bagi penulis yang
tidak ternilai yang sering kali abai kita memperhatikannya.
Tentu saja, kegelisahan, rasa penasaran, terus belajar, sikap
marah merupakan energi yang tiap hari penulis sampaikan. Sampai orang bosan,
sampai orang jenuh hingga tulisan itu kemudian tetap disuarakan.