04 September 2012

opini musri nauli : MENULIS, YA MENULIS



Banyak ujaran bijak yang sering memberikan nilai kepada kita bagaimana menulis. Ada yang menyebutkan, menulis menuangkan gagasan. Menulis memperkaya batin. Menulis mempertajam makna. Menulis mendatangkan gairah. Menulis menampakkan jati diri kita. Bahkan para penulis besar sering mengatakan, menulis akan dikenang zaman.
Kita mengenal Goenawan Muhammad, Syahrir, Hatta, Tan Malaka, Pramudya Ananta Toer adalah sedikit orang yang bisa disebutkan, penulis yang sampai sekarang, bukunya masih sering didiskusikan, dibicarakan bahkan sering menjadi rujukan berbagai tulisan.

Goenawan Muhammad sampai sekarang menulis “catatan pinggiran” Tempo yang terbit setiap minggu. Hatta menulis buku yang terkenal, Demokrasi Kita. Tan Malaka menulis risalah penting untuk memotret “Madilog” yang sampai sekarang tiada bandingannya. Pramudya Ananta Toer membuat Tetralogi yang terkenal, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Belum lagi berbagai buku yang sampai sekarang menjadi perburuan para maniak buku. Bukan terbitan yang ada di toko buku, namun cetakan stensilan.

Tentu saya tulisan ini dipaparkan sekedar memotivasi penulis untuk menceritakan sedikit pengalaman penulis didalam tulisan yang dimuat media massa.

Sebagai praktisi hukum, kegelisahan penulis didasarkan kepada pengalaman persidangan yang sering diperlakukan tidak adil. Penulis merasakan “bagaimana hukum yang hanya tajam kebawah, namun tumpul dan tidak berdaya berhadapan dengan kekuasaan, materil dan intervensi terhadap proses hukum.

Kegelisahan inilah kemudian dituangkan ke berbagai media massa dilihat dari relung sanubari untuk menyampaikan berbagai gagasan.

Dari kegelisahan itulah, kemudian berbagai tulisan penulis disadari sering sekali menimbulkan berbagai polemik, perdebatan bahkan berhadapan dengan issu sensitif.

Sebelumnya, Dalam catatan penulis, polemik terhadap berbagai issu yang penulis lontarkan mengingatkan akan berbagai perdebatan dengna beberapa penulis

Tahun 2000, penulis pernah berbeda pendapat dengan Thabrani M Sholeh SH, MH. 

Penulis ingat, pada waktu merebak kasus Soeharto, penulis berbeda pendapat secara tajam. 

Secara singkat suasana psikologis waktu itu, Soeharto diseret dimuka persidangan dengan berbagai tuduhan pidana. 

Namun pada waktu yang ditentukan, Soeharto tidak dapat hadir dengan alasan sakit. Proses pemeriksaan tidak dapat dilanjutkan. 

Disinilah perdebatan muncul. Thabrani M. Saleh menulis opini, kasus Soeharto sebaiknya dihentikan dengna ”pertimbangan sakit. Namun penulis berpendapat berbeda. Soeharto tidak dapat dihentikan kasusnya dengan alasan sakit. 

Namun apabila terdakwa sakit, maka pemeriksaan tidak dapat dilanjutkan. Dan itu sudah ditentukan didalam KUHAP.  

Secara hakiki itu perbedaan yang mendasar. Disatu sisi, beliau menganjurkan ”menghentikan perkara, namun disisi lain, penulis tidak sependapat. Alasan sakit hanya digunakan sebagai alasan untuk ”menghentikan” pemeriksaan terhadap Soeharto. Bukanmenghentikan” perkara. (IN MEMORIAM Thabrani M Sholeh SH, MH, Jambi Ekspress, Maret 2012

Begitu juga perdebatan penulis dengan Erdianto mengenai hukuman mati. Sebelumnya penulis menolak hukuman mati yang dimuat di Jambi Ekspress, 12 Oktober 2006 yang berjudul “Hukuman Mati dari Perspektif HAM”, yang kemudian ditanggapi oleh Erdianto Erdianto yang kemudian memberikan pandangannya yang berjudul “Sekali Lagi, Soal Pidana Mati – Tanggapan atas Opini Musri Nauli” yang diterbitkan pada tanggal 2 November 2006. Penulis kemudian menanggapi “KEKELIRUAN PENAFSIRAN HUKUMAN MATI (Otokritik Terhadap Hukuman Mati), Jambi Ekspres, 9 November 2006

Sampai sekarang perbedaan pandangan antara penulis dengan Erdianto mengenai hukuman mati masih menjadi perbedaan pandangan sekedar mewakili bagaimana dikalangan ahli hukum juga terbelah baik yang mendukung hukuman mati maupun ahli yang menolak hukuman mati

Perdebatan dengan Dr. Helmi juga pernah terjadi mengenai ‘PENANGANAN PELAKU KAYU ILLEGAL” yang disampaikan oleh Dr. Helmi, SH. Secara ringkas perbedaan didasarkan kepada “barang bukti” yang menurut Dr. Helmi berdasarkan kepada UU Kehutanan, haruslah dirampas. Penulis berbeda pandangan dengan Dr. Helmi, selain terhadap barang bukti yang terdapat kepada pihak ketiga, maka dimungkinkan terhadap penerapan pasal 39 KUHP dan penghormatan konstitusi MK untuk melindungi barang milik

Penulis pernah berpolemik dengan Budi Setiawan dalam persoalan Unja yang dimuat tahun 2005-2006

Namun tulisan penulis yang berjudul “Issu aliran sesat dari perspektif hukum” yang dimuat di Harian Jambi Ekspress, tanggal 27 November 2007 merupakan salah topik yang paling kontroversial. Tulisan ini dibuat pada saat itu, di Jambi sedang disidangkan perkara yang berkaitan dengan Islam Model Baru (IMB). Tulisan ini kemudian dibahas di Program Filsafat Pemikiran S2 IAIN dan penulis dijadikan salah satu narasumber untuk menyampaikan gagasan.

Yang paling teranyar, tentu saja tulisan Ketua KPU Kota Jambi, Ratna Dewi yang berjudul “Mantan Napi dan hak-hak yang dipulihkan – Surat Terbuka untuk Musri Nauli, SH. Penulis kemudian menanggapi dengan judul Beberapa alasan menolak pemikiran Ratna Dewi – Otokritik pemikiran dalam konsep hak dipilih


Sekedar cerita yang telah penulis sampaikan “memotivasi” bagi penulis sendiri ternyata berbagai gagasan yang sering dimuat di media massa memberikan “energi” tambahan dan memberikan motivasi gagasan. Gagasan yang sering “mengendap” dalam pikiran agar selalu disuarakan agar “perdebatan” hukum juga menjadi tema menarik dan menggelitik orang banyak untuk urun rembug dari sudut pandang yang berbeda. Kekayaan itulah yang kemudian bagi penulis yang tidak ternilai yang sering kali abai kita memperhatikannya.

Tentu saja, kegelisahan, rasa penasaran, terus belajar, sikap marah merupakan energi yang tiap hari penulis sampaikan. Sampai orang bosan, sampai orang jenuh hingga tulisan itu kemudian tetap disuarakan.