Dengan tidak mengurangi rasa hormat, tulisan Saudara
Bahren Nurdin berjudul ”DOKTOR MUMPUNG ; KETIKA GELAR AKADEMIK KEHILANGAN
MAKNA menggelitik penulis untuk bersikap. Terlepas dari substansi yang
hendak dipaparkan, ada beberapa kritik yang hendak disampaikan untuk ”memperkuat”
tulisan.
Pertama. Sebagaimana telah disampaikan oleh
saudara Bahren Nurdin, harus diakui ”gelar akademik” telah memberikan
entitas tersendiri. Dalam struktur masyarakat Melayu, struktur ini ditempatkan
dalam istilah ”cerdik pandai”. Sebuah struktur masyarakat yang diajak ”rembuk”
dalam membicarakan berbagai persoalan sosial dalam rapat-rapat adat. Struktur
ini sejajar dengan struktur lain seperti ”tuo tengganai”, ”alim ulama”
dan sebagainya.
Dalam struktur sosial masyarakat Melayu, posisi
ini cukup dihormati. Berbagai persoalan pelik sering kali mampu diterangkan
dengan ”jernih”, ”tuntas”,
”to the point”, sehingga dalam berbagai persoalan cepat tuntas diselesaikan.
”to the point”, sehingga dalam berbagai persoalan cepat tuntas diselesaikan.
Dengan mengikuti alur struktur masyarakat Melayu,
maka kita akan mudah mengidentifikasikan, apakah gelar akademik telah
menunaikan tugasnya ?
Ukurannya sangat jelas. Apakah tulisan di
berbagai media massa lokal sering diisi oleh orang ”gelar akademik”.
Apakah berbagai persoalan pelik dalam persoalan sosial di tengah masyarakat
mampu dengna ”jernih” bisa dijelaskan dan diselesaikan oleh ”gelar
akademik” ?
Berapa banyak buletin, jurnal, makalah atau buku
yang telah dihasilkan oleh ”gelar akademik ”. Pertanyaan menggugat sudah
sepantasnya terus disuarakan. Agar ”gelar akademik’ tidak menjadi
barisan ”penggembira” mengisi panjang barisan. Antonio Gramsi telah
menyindir. Kalangan ini lebih tepat dikategorikan sebagai ”intelektual
mekanik”.
Kedua. Apakah kelompok ”gelar akademik”
terus melakukan ”Pengembaraan pemikiran”, ”menggugat sebuah kebenaran”,
”mempertanyakan ilmu”, ”melakukan riset sosial”, ”mempersoalkan nurani”
dan berbagai kegiatan intelektual yang berpihak kepada masyarakat.
Ketiga. Apakah ”gelar akademik”
membutuhkan simbol, tanda, arah sehingga menjadi kelompok elitis yang ”jauh
dari persoalan sebenarnya” yang terjadi di tengah masyarakat.
Keempat. Apakah ”gelar akademik” sudah ”memperjuangkan nilai” yang terus berkembang di tengah
masyarakat. Jangan-jangan ”gelar akademik” telah menjadi kelas sosial yang
pragmatis, menjadi tukang dari penguasa yang lalim, menjadi ”speaker”
dari rezim yang menindas.
Kelima. Apakah ”gelar akademik” senantiasa
berangkat dari ”nurani dan suara hati” yang menjunjung nilai-nilai
universal.
Beberapa penjelasan yang telah disampaikan, tentu
saja membutuhkan jawaban yang cukup serius. Namun yang menjadi titik perhatian
dari tulisan ini, menggugat ”gelar akademik” merupakan
pertanggungjawaban kaum intelektual agar selalu berpihak kepada kebenaran,
menjunjung tinggi nilai sosial di tengah masyarakat, ”mengembara” dari
pemikiran, ”gelisah terhadap ketidakadilan”.
Baca : Anak Bandel