Setelah
KPU DKI Jakarta menetapkan JOKOWI sebagai pemenang Pilkada DKI
Jakarta, demam “kotak-kotak” tidak terbendung. Dalam
berbagai pembicaraan baik di dunia maya maupun dalam berbagai
tingkatan sosial “seakan-akan” tidak habis-habis mengalami
peristiwa ini. Rakyat DKI larut dengan suasana ini.
Ini
penulis rasakan ketika pada akhir pekan lalu di Jakarta. Penulis yang
menggunakan transportasi taksi “selalu membuka wacana” dan
memulai pembicaraan dengan suasana “kotak-kotak”.
Pertanyaan selalu dimulai untuk mencairkan suasana kaku dan sekaligus
mengetahui tingkat partisipasi publik DKI Jakarta dalam suasana
Pilkada.
Dengan
semangat, bapak supir taksi selalu menceritakan dengna kebanggaan.
Seakan-akan “suasana” demokrasi sudah kembali hakekatnya.
Dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat. Mereka membicarakan seperti
suasana “Sang Ratu adil” telah datang. Dalam mitologi
Jawa, Ratu adil selalu ditunggu setelah “goro-goro” dalam
lakon wayang. Sang Ratu adil merupakan manifestasi “kerinduan”
akan keteladanan pemimpin yang mau “mengurus” mereka.
Meminjam istilah Jokowi “pemimpin tuh malah belajar dari rakyat.
Semua ide dan energi bagaimana mereka menyelesaikan masalahnya,
justru kita belajar dari mereka”.
Suasana
“eforia” kemudian dijabarkan panjang lebar. Sebutlah
namanya Pak Ali. Dia menceritakan, sudah lama tidak mau mengikuti
Pemilu (termasuk Pilkada). Alasannya, selain yang dipilih
tidak dikenal (baik prestasi dan perhatiannya terhadap masalah
rakyat), kadang-kadang tim suksesnya “lebih begaya dari
babe”. Dengan semangat kemudian dia bercerita, dia sekarang mau
“mencoblos” karena tidak ingin Jokowi kalah. Dia tidak mau
“kesesatan” tetap berkuasa (semua kata-kata yang
dikutip merupakan istilah yang disampaikan)
Demam
“kotak-kotak” mewabah. Seperti virus, menjalar cepat,
berbagai lapisan dan semua “mau terlibat” dan
bertanggungjawab untuk memenangkannya.
Sementara
supir lain, sebutlah namanya Pak mamat malah bercerita persis seperti
mengikuti penataran. Dimulai dari pernyataan. Saya memilih karena
Jokowi orang Indonesia. Bukan karena agama islam, bukan karena orang
jawa. Dia orang Indonesia. Pak mamat menolak “issu agama”
yang diteriakkan Rhoma Irama. Dengan lugas dia menjelaskan. Hari gini
kok orang masih bicara agama. Harusnya bicara Indonesia dong. Kalo
kayak begini, kapan Indonesia maju.
Selanjutnya
dia menjabarkan “boleh orang berpolitik dengan dasar agama”.
Tapi tidak boleh agama dijadikan kepentingan politik”. Kalimat
ini lebih tepat untuk menjawab “issu agama” yang
diteriakkan. “saya tidak penting agama orang itu apa. Tapi yang
penting dia bisa mensejahterahkan”.
Berbagai
kalimat penting yang penulis kutip menyadarkan penulis. Kalimat yang
“seakan-akan” mantra yang sering disampaikan dalam forum
ilmiah, dalam pernyataan pemimpin formal, seakan-akan menemukan roh
dan makna apabila disampaikan oleh supir taksi. Kalimat itu
menggetarkan karena mampu membawa dan menggerakan orang untuk datang
ke TPS. “memastikan dukungan” agar Jokowi tidak kalah.
Mantra
itu “ajaib”. Mantra itu sakti. Mantra itu punya “gelegar”
sehingga pak mamat dan pak ali datang ke TPS. Datang untuk memilih.
Datang untuk memastikan suara. Datang untuk memastikan Jokowi tidak
kalah.
Suasana
“kotak-kotak” memberikan pelajaran kepada penulis.
Memimpin dengan birokrasi, memimpin yang bersikap Raja tidak sesuai
dengan konteks sekarang. Memimpin dengan “hati” memimpin
dengan “suara nurani” lebih didengar. Rakyat sudah muak
dengan dalil-dalil yang canggih. Rakyat sudah jenuh “sering
dijanjikan” dengan harapan semu. Rakyat butuh jawaban sederhana
untuk melihat persoalan mereka. Rakyat butuh itu.
Pelajaran
penting kembali “ditularkan” oleh Pak ali dan Pak mamat.
Pelajaran Pilkada DKI merupakan “miniatur” mini yang
kembali menemukan roh “justru” dalam perjalanan selama di
Jakarta.