29 September 2012

opini musri nauli : WATAK KEKERASAN



Entah apa yang terjadi di negeri ini. Belum usai mendiskusikan korupsi, terorisme, eh, generasi muda – anak sekolahan lagi membikin geger. Apabila sebelumnya tawuran masih menjadi gejala kenakalan remaja, sekarang memakan korban. Alawy Yusianto Putra (15) dan Deny Yanuar (17) tewas setelah masing-masing dibacok di dada dan dikeroyok.

Diskusi hangat diberbagai media massa memang membenturkan dua norma yang serius untuk disikapi. Pertama terhadap korban. Kedua adalah pelakunya.

Apabila dilihat dari fakta yang terlihat yang telah dipaparkan oleh berbagai media massa, harus diakui, korbannya adalah anak dibawah umur. Dalam UU perlindungan anak, telah diklasifikasikan umur yang dikategorikan masih dibawah umur 18 tahun. Dengan melihat rumusan diatas, maka dimana korbannya adalah anak, maka sanksi terhadap pelaku cukup berat dibandingkan dengan kejahatan yang semata-mata diatur didalam KUHP.

Namun norma ini tidak serta-merta langsung bisa diterapkan. Walaupun terhadap korbannya adalah anak, namun apabila perbuatan itu dilakukan terhadap anak, maka berdasarkan kepada UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak (penulis memberikan istilah pelaku anak), maka terhadap pelaku anak tidak serta-merta langsung diterapkan pemidanaan berupa penjara. UU no. 3 Tahun 1997 telah membuka ruang, bahwa pemidanaan penjara merupakan ultimum remedium, senjata pamungkas. Hukum pidana merupakan upaya terakhir yang digunakan. Maka terhadap pelaku anak, dapat diberikan pilihan seperti ”dikembalikan kepada orang tua”, atau ”menyerahkan kepada  negara”. Pertimbangan itu tetap diserahkan kepada Pengadilan untuk memutuskannya. Tinggal kita menunggu perkembangan dari kasus ini.

Substansi yang hendak saya sampaikan bukan berangkat dari benturan dua norma (conflik norma). Tulisan ini hendak membicarakan berbagai akibat dari kekerasan yang ”dibiarkan” oleh negara.

Membicarakan kekerasan dilihat dari akar sejarah perjalanan bangsa tentu saja membutuhkan berbagai data pendukung untuk memperkuat argumentasi. Terlepas  dari pembuktian terhadap sejarah perjalanan bangsa, harus diakui, berbagai kudeta yang terjadi berangkat dari kekerasan. Ken Arok, Tunggul Ametung, Raden Wijaya hingga ke kerajaan Singosari memang tidak bisa dipisahkan dari berbagai kudeta yang berdarah.

Orde Baru mewariskan kekerasan. Soekarno ditumbangkan dan digantikan dengna sistem orde baru. Soeharto mewarisi kekerasan. Hampir setiap peristiwa selalu diakhiri dengan kekerasan. Pembantaian anggota yang dituduh terlibat komunis, Petrus, penculikan aktivis hingga kekerasan termasuk pemerkosaan tanggal 12-13 Mei 1998. Soehartopun tumbang oleh gerakan reformasi 98.

Namun orde reformasi justru kekerasan semakin marak. Hampir setiap perbedaan pendapat, perbedaan keyakinan selalu diakhir dengan kekerasan. Kericuhan Pilkada, pemilihan partai bahkan kekerasan terhadap minoritas seperti Ahmadiyah, Nasrani bahkan terhadap kelompok Syiah.

Kekerasan kemudian menemukan wujudnya dengan jubah berseragam, berbaju berbau kemiliteran (uniform arigency) dan berbagai atribut lainnya.

Kekerasan sudah menjadi ”penyelesaian pragmatis” untuk menguasai kelompok minoritas. Kekerasan sudah menjadi ”model keliru” terhadap perbedaan dan cara menyelesaikan perbedaan.

Rieke Dyah Pitaloka menguraikan  problem kekerasan orde baru berangkat dari gagasan Hannah Arendt yang menghubungkan antara kekuasaan dan kekerasan negara serta turut andilnya masyarakat dalam kekerasan. Semuanya berangkat dari kedangkalan berfikir dan ketidakmampuan untuk kritis yang menyebabkan masyarakat melakukan kekerasan karena sebelumnya masyarakat telah terkondisikan untuk melumrahkan kejahatan. Yang kemudian dikenal sebagai banality evil. (lihat tesis ”Kekerasan negara menular ke masyarakat)

Dengan melihat berbagai rangkaian panjang, tradisi kekerasan merupakan salah satu ”contoh buruk” yang ditularkan kepada generasi muda termasuk anak sekolahan. Tawuran merupakan muara dari berbagai rangkaian panjang.

Sekali lagi kita mengelus dada. Pelajaran orde baru kembali meninggalkan catatan kelam. Kekerasan telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dan sudah menurun ke generasi muda.