Entah apa yang terjadi di negeri ini. Belum usai
mendiskusikan korupsi, terorisme, eh, generasi muda – anak sekolahan lagi
membikin geger. Apabila sebelumnya tawuran masih menjadi gejala kenakalan
remaja, sekarang memakan korban. Alawy Yusianto Putra (15) dan Deny Yanuar (17)
tewas setelah masing-masing dibacok di dada dan dikeroyok.
Diskusi hangat diberbagai media massa memang
membenturkan dua norma yang serius untuk disikapi. Pertama terhadap korban.
Kedua adalah pelakunya.
Apabila dilihat dari fakta yang terlihat yang
telah dipaparkan oleh berbagai media massa, harus diakui, korbannya adalah anak
dibawah umur. Dalam UU perlindungan anak, telah diklasifikasikan umur yang
dikategorikan masih dibawah umur 18 tahun. Dengan melihat rumusan diatas, maka
dimana korbannya adalah anak, maka sanksi terhadap pelaku cukup berat
dibandingkan dengan kejahatan yang semata-mata diatur didalam KUHP.
Namun norma ini tidak serta-merta langsung bisa
diterapkan. Walaupun terhadap korbannya adalah anak, namun apabila perbuatan
itu dilakukan terhadap anak, maka berdasarkan kepada UU No. 3 Tahun 1997
Tentang Peradilan Anak (penulis memberikan istilah pelaku anak), maka
terhadap pelaku anak tidak serta-merta langsung diterapkan pemidanaan berupa
penjara. UU no. 3 Tahun 1997 telah membuka ruang, bahwa pemidanaan penjara
merupakan ultimum remedium, senjata pamungkas. Hukum pidana merupakan upaya
terakhir yang digunakan. Maka terhadap pelaku anak, dapat diberikan pilihan
seperti ”dikembalikan kepada orang tua”, atau ”menyerahkan kepada negara”. Pertimbangan itu tetap diserahkan
kepada Pengadilan untuk memutuskannya. Tinggal kita menunggu perkembangan dari
kasus ini.
Substansi yang hendak saya sampaikan bukan
berangkat dari benturan dua norma (conflik norma). Tulisan ini hendak
membicarakan berbagai akibat dari kekerasan yang ”dibiarkan” oleh
negara.
Membicarakan kekerasan dilihat dari akar sejarah
perjalanan bangsa tentu saja membutuhkan berbagai data pendukung untuk
memperkuat argumentasi. Terlepas dari
pembuktian terhadap sejarah perjalanan bangsa, harus diakui, berbagai kudeta
yang terjadi berangkat dari kekerasan. Ken Arok, Tunggul Ametung, Raden Wijaya
hingga ke kerajaan Singosari memang tidak bisa dipisahkan dari berbagai kudeta
yang berdarah.
Orde Baru mewariskan kekerasan. Soekarno
ditumbangkan dan digantikan dengna sistem orde baru. Soeharto mewarisi
kekerasan. Hampir setiap peristiwa selalu diakhiri dengan kekerasan.
Pembantaian anggota yang dituduh terlibat komunis, Petrus, penculikan aktivis
hingga kekerasan termasuk pemerkosaan tanggal 12-13 Mei 1998. Soehartopun
tumbang oleh gerakan reformasi 98.
Namun orde reformasi justru kekerasan semakin
marak. Hampir setiap perbedaan pendapat, perbedaan keyakinan selalu diakhir
dengan kekerasan. Kericuhan Pilkada, pemilihan partai bahkan kekerasan terhadap
minoritas seperti Ahmadiyah, Nasrani bahkan terhadap kelompok Syiah.
Kekerasan kemudian menemukan wujudnya dengan
jubah berseragam, berbaju berbau kemiliteran (uniform arigency) dan
berbagai atribut lainnya.
Kekerasan sudah menjadi ”penyelesaian pragmatis”
untuk menguasai kelompok minoritas. Kekerasan sudah menjadi ”model keliru”
terhadap perbedaan dan cara menyelesaikan perbedaan.
Rieke Dyah Pitaloka menguraikan problem kekerasan orde baru berangkat dari gagasan
Hannah Arendt yang menghubungkan antara kekuasaan dan kekerasan negara serta
turut andilnya masyarakat dalam kekerasan. Semuanya berangkat dari kedangkalan berfikir
dan ketidakmampuan untuk kritis yang menyebabkan masyarakat melakukan kekerasan
karena sebelumnya masyarakat telah terkondisikan untuk melumrahkan kejahatan.
Yang kemudian dikenal sebagai banality evil. (lihat tesis ”Kekerasan negara
menular ke masyarakat)
Dengan melihat berbagai rangkaian panjang,
tradisi kekerasan merupakan salah satu ”contoh buruk” yang ditularkan
kepada generasi muda termasuk anak sekolahan. Tawuran merupakan muara dari
berbagai rangkaian panjang.
Sekali lagi kita mengelus dada. Pelajaran orde
baru kembali meninggalkan catatan kelam. Kekerasan telah menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dan sudah menurun ke generasi muda.