(Laporan
Kedatangan PT. REKI ke Walhi Jambi)
Tanggal
3 April 2013 pukul 13.30, Walhi Jambi kedatangan Perkumpulan Burung
Indonesia dan PT. REKI untuk “bersilahturahmi”
(penulis
sengaja menggunakan kata “silahturahmi”).
Kedatangan ini sengaja diadakan, selain PT. REKI akan menjelaskan
tentang program dan kerja yang telah dilakukan, PT. REKI juga ingin
mengetahui pandangan dan sikap Walhi Jambi didalam melihat persoalan
ini.
Komunikasi
“sebenarnya” sudah lama di bangun. Mangara sebagai perwakilan
Perkumpulan Burung Indonesia sudah berkomunikasi dengan penulis
jauh-jauh hari untuk menyampaikan keinginannya datang “resmi” ke
Walhi Jambi (kata
“resmi”, digunakan, karena secara informal, Mangara sudah
beberapa kali datang ke Walhi Jambi).
Keinginan untuk datang ke Walhi Jambi dilanjutkan dengna mengirimkan
email. Dengan email itulah, kemudian penulis mengundang beberapa
teman yang kemudian datang untuk menghadiri acara itu.
Sebelum
pertemuan dimulai, penulis sudah menegaskan, apapun hasil pertemuan
yang diadakan pada hari ini, tidak dapat digunakan sebagai bahan
kampanye ataupun menarik dukungan dari Walhi Jambi. Untuk memantapkan
posisi dan sikap Walhi Jambi, penulis membuat position paper untuk
menegaskan sikap dan posisi.
Pertemuan
dimulai dari saling perkenalan. Penulis memperkenalkan diri
bersama-sama dengan Para Manager Regional untuk memperkuat
kerja-kerja advokasi. Walhi Jambi periode 2012-2016 dengan struktur
pembagian wilayah (region). Regional Hulu, Regional tengah dan
regional hilir.
Pendekatan
ini sengaja digunakan selain melihat tipologi konflik dan juga ada
kedekatan berbagai indikator yang akan mempermudah kerja-kerja
advokasi. Di hulu, hutannya relatif masih bagus, konflik masih laten
(tersembunyi) dan masih kuatnya hukum adat. Maka pendekatan selain
menggunakan dan berangkat dari “kearifan lokal” juga memperkuat
berbagai infrastruktur yang telah ada.
Di
regional tengah, selain hutannya masih ada yang baik, namun konflik
mulai terbuka. Konflik mulai merebak. Adanya ancaman sawit, HTI,
tambang merupakan ancaman yang mulai dirasakan. Selain menggunakan
pendekatan hukum adat yang berangkat dari “kearifan lokal”,
pengorganisasian menggunakan cara-cara yang konfrontatif.
Sedangkan
di regional hilir, konflik mulai terbuka (manifest), konflik sudah
perebutan wilayah klaim, hutan sudah hancur, pengusiran pemilik
tanah, bahkan cenderung menggunakan pendekatan hukum formal untuk
menghadapi ancaman konflik. Bahkan cenderung adanya upaya
kriminalisasi, pembakaran rumah dan meninggalnya korban.
Untuk
memudahkan pembagian peran, maka digunakan Regional Hulu yang terdiri
dari Kabupaten Kerinci, Kota Kerinci, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten
Merangin. Regional tengah kabupaten Muara Bungo, Kabupaten Tebo dan
kabupaten Batanghari. Sedangkan di Regional hilir adalah Kabupaten
Muara Jambi, Kabupaten Tanjabbar dan kabupaten Tanjabtim.
Dalam
position paper, Walhi Jambi sudah menegaskan, Secara organisasi,
Walhi selalu memandang dari dua sisi. “Ruang kelola” dan
“keberlanjutan”.
Berangkat
dari dua nilai inilah, Walhi memandang setiap persoalan lingkungan
harus memenuhi dua nilai tersebut. Tanpa melihat dan memandang dua
nilai-nilai Walhi, maka Walhi harus tetap “kritis” untuk bersikap
dan selalu memainkan peran untuk mengusung nilai-nilai itu.
Dengan
dua nilai yang menjadi pegangan, maka Walhi Jambi akan selalu melihat
penjelasan yang akan disampaikan baik yang akan disampaikan oleh
perkumpulan Burung dan PT. REKI.
Mangara
memperkenalkan diri dari Perkumpulan Burung Indonesia dan
memperkenalkan para “petinggi” PT. REKI. Kemudian “sedikit”
memperkenalkan profile perkumpulan Burung Indonesia, tentang
Restorasi dan sejarah PT. REKI.
PT.
REKI sebagai pemegang konsensi areal seluas kurang lebih 101.355
hektar yang terletak di Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Selatan
sebagai areal Restorasi Ekosistem di Hutan Produksi, melalui
Kepmenhut SK. No. 83/Menhut–II/2005 dari Menteri Kehutanan
bertanggungjawab untuk menjaga kawasan hutan produksi.
Diskusipun
mengalir. Tema utama “ruang kelola” dan keberlanjutan”
merupakan pedoman dan arah bagi Walhi Jambi untuk melihat penjelasan
yang telah disampaikan. Tanpa bermaksud untuk “mengkritik”
pemberian izin dengan model “restorasi”, menurut penulis, apakah
pertanyaan “ruang kelola dan keberlanjutan” dapat terintegrasi
dengan model restorasi.
Tema
“ruang kelola” merupakan tema yang penting untuk didiskusikan.
“ruang kelola” bukan semata-mata adanya hak untuk membuka hutan
untuk dibagi-bagi. Bagi penulis, ruang kelola tidak berkaitan dengan
berkaitan tentang “membuka hutan” dan kemudian membagi-bagi
kepada “orang yang berhak untuk mendapatkan tanah”. Bukan itu.
Terlalu sederhana memandangnya dan terlalu naif juga kemudian dengan
argumentasi pasal 33 UUD dijadikan sandaran.
Ruang
kelola berupa “akses terhadap hutan” yang memang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Ruang kelola juga merupakan
identitas yang tidak mudah hanya “membicarakan kayu” an sich.
Ruang kelola merupakan ruang yang didapatkan dari pengetahuan lokal
yang diwariskan dengan turun temurun.
Dalam
berbagai pendekatan hukum adat yang sering penulis temukan di daerah
regional hulu dan regional tengah, tata cara membuka hutan sangatlah
ketat. Selain adanya waktu yang ditentukan, luasnya yang boleh
dibuka, penguasaan terhadap tanah dan mekanisme penyelesaian terhadap
berbagai persoalan yang timbul. Dengan model “ruang kelola”
inilah, membuktikan, 17 Desa yang kemudian mengusulkan hutan desa
seluas 49.508 ha terbukti “tutupan hutannya masih baik. Mereka
mempunyai cara dan model pengelolaan yang terbukti arif dan
bijaksana. Sangat ketat dan masih dihormati masyarakat.
Namun
Ruang kelola juga berkaitan dengan “keberlanjutan”. “membuka
hutan” kemudian “membagi-bagi” tanah, menurut penulis bukanlah
“ruang kelola”. Itu sama sekali tidak sesuai dengan konteks
dengan nilai yang diusung oleh Walhi. Menggunakan argumentasi pasal
33 UUD dengan alasan “membagi-bagi tanah” juga tidak tepat. Salah
kaprah inilah yang kemudian Walhi Jambi memandang persoalan yang
penting ini.
Dengan
nilai-nilai inilah, kemudian, penulis menolak konsepsi tentang hutan
yang harus “diproteksi”. Hutan untuk binatang-binatang saja dan
tidak menghargai manusia yang juga menjaga hutan. Pengusiran terhadap
masyarakat yang mempunyai “ruang kelola” di hutanpun merupakan
pelanggaran nilai-nilai Walhi.
Namun
memberikan “tanah” kepada masyarakat yang kemudian menguasai
tanah sampai puluhan hektarpun, menurut penulis juga tidak sesuai
dengan konteks “ruang kelola”. Model kapital penguasaan tanah
untuk kepentingan ambisi pribadi merupakan pertentangan nilai-nilai
Walhi.
Dengan
tema inilah, kemudian terhadap paparan PT. REKI menjadi penting untuk
disampaikan.
Pertama.
Pendekatan pemberian izin dengan model restorasi merupakan salah satu
pilihan yang belum dapat menjadi indikator apakah model restorasi ini
baik untuk menjaga hutan dengan restorasi atau masih memerlukan
evaluasi yang menyeluruh terhadap proses yang akan dilakukan.
Kedua.
Model-model pemberian tanah kepada pembuka hutan tanpa memperhatikan
keberlanjutan terhadap fungsi hutan itu sendiri merupakan “salah
persepsi” yang penting untuk diluruskan. Mekanisme ini masih sering
menjadi pengetahuan yang harus disampaikan terus menerus kepada
berbagai pihak.
Ketiga.
Dilakukan evaluasi terus menerus untuk memastikan “ruang kelola”
dan keberlanjutan.
Keempat.
Harus dipastikan, yang harus diperjuangkan adalah mereka yang
mempunyai “ruang kelola” yang memperhatikan “keberlanjutan”.
Itu tema yang utama. Diluar daripada nilai-nilai yang ditentukan,
menurut penulis merupakan “musuh utama” dari kehancuran hutan.
Kelima.
Terhadap proses yang dilakukan, penulis meyakini, nilai-nilai
merupakan pondasi penting sehingga dapat ditentukan (filter) apakah
yang diperjuangkan adalah merupakan hak terhadap ruang kelola ataupun
para pendukung “cukong-cukong” yang berkedok dengan argumentasi
yang tidak tepat.
Tema
“ruang kelola” merupakan salah satu tema yang paling menyita
perhatian. Entah beberapa kali penulis harus meluruskan persepsi
“ruang kelola”.
Diskusi
kecilpun sempat hangat untuk meluruskan “indigenous people”.
Menurut penulis, membicarakan “ruang kelola” sama sekali tidak
berkaitan dengan “indigenous people” ataupun masyarakat lokal.
Tema itu terlalu sempit.
Ruang
kelola juga membicarakan masyarakat adat (adatrechtskringen). Sebuah
persekutuan hukum sepakat dengan nilai-nilai yang telah dijelaskan.
Pendekatan yang memisahkan antara “indigenous people” dengan
“adatrechtskringen” sama sekali tidak menjawab terhadap tema yang
ditawarkan.
Dalam
pengamatan penulis, “indigenous people” yang terdapat di Suku
Anak Dalam Bathin IX dan masyarakat adat (adatrechtskringen) di
Desa-desa disekitar izin konsensi tidak dapat dipisahkan. Penulis
kemudian meminta kepada PT. REKI, apakah sudah menginventarisir
terhadap komunitas yang penulis maksudkan. Menurut PT. REKI mereka
sudah menginventarisir namun tidak membawa dalam pertemuan itu.
Penulis
menegaskan, itu adalah pondasi untuk melihat dan upaya penyelesaian
konflik yang terjadi.
Dalam
tema yang lain, Mangara menggunakan kata “moratorium balak”
sebagai padanan “moratorium logging” sebagai pendekatan yang pas
untuk memahami pikiran Walhi. Mangara menggunakan istilah “irisan”
yang dapat mempertemukan berbagai gagasan.
Tema
yang lain yang menyita perhatian adalah pendekatan keamanan didalam
upaya menyelesaikan kasus. Penulis menegaskan tidak menggunakan
pendekatan dan “Menabukan” cara-cara mekanisme pendekatan
keamanan (security approach) dan menggunakan cara-cara “non-violent”
(anti kekerasan).
Waktu
selama hampir 3 jam tidak terasa. Pesan penting yang hendak
disampaikan dan terus ditegaskan adalah “ruang kelola” dan
keberlanjutan”. Dan Walhi Jambi akan selalu memposisikan diluar
(outsiders) dan menjadikan sikap kritis sebagai bagian untuk mengawal
nilai-nilai.
Dan
untuk memastikan proses itu, maka PT. REKI tidak dapat menggunakan
pertemuan ini sebagai bagian dari kampanye dan publikasi apapun.
Sikap ini kemudian “diamini” dan ditegaskan oleh Mangara.