04 April 2013

opini musri nauli : RESTORASI SYSTEM DAN “RUANG KELOLA”



(Laporan Kedatangan PT. REKI ke Walhi Jambi)


Tanggal 3 April 2013 pukul 13.30, Walhi Jambi kedatangan Perkumpulan Burung Indonesia dan PT. REKI untuk “bersilahturahmi” (penulis sengaja menggunakan kata “silahturahmi”). Kedatangan ini sengaja diadakan, selain PT. REKI akan menjelaskan tentang program dan kerja yang telah dilakukan, PT. REKI juga ingin mengetahui pandangan dan sikap Walhi Jambi didalam melihat persoalan ini.

Komunikasi “sebenarnya” sudah lama di bangun. Mangara sebagai perwakilan Perkumpulan Burung Indonesia sudah berkomunikasi dengan penulis jauh-jauh hari untuk menyampaikan keinginannya datang “resmi” ke Walhi Jambi (kata “resmi”, digunakan, karena secara informal, Mangara sudah beberapa kali datang ke Walhi Jambi). Keinginan untuk datang ke Walhi Jambi dilanjutkan dengna mengirimkan email. Dengan email itulah, kemudian penulis mengundang beberapa teman yang kemudian datang untuk menghadiri acara itu.

Sebelum pertemuan dimulai, penulis sudah menegaskan, apapun hasil pertemuan yang diadakan pada hari ini, tidak dapat digunakan sebagai bahan kampanye ataupun menarik dukungan dari Walhi Jambi. Untuk memantapkan posisi dan sikap Walhi Jambi, penulis membuat position paper untuk menegaskan sikap dan posisi.

Pertemuan dimulai dari saling perkenalan. Penulis memperkenalkan diri bersama-sama dengan Para Manager Regional untuk memperkuat kerja-kerja advokasi. Walhi Jambi periode 2012-2016 dengan struktur pembagian wilayah (region). Regional Hulu, Regional tengah dan regional hilir.

Pendekatan ini sengaja digunakan selain melihat tipologi konflik dan juga ada kedekatan berbagai indikator yang akan mempermudah kerja-kerja advokasi. Di hulu, hutannya relatif masih bagus, konflik masih laten (tersembunyi) dan masih kuatnya hukum adat. Maka pendekatan selain menggunakan dan berangkat dari “kearifan lokal” juga memperkuat berbagai infrastruktur yang telah ada.

Di regional tengah, selain hutannya masih ada yang baik, namun konflik mulai terbuka. Konflik mulai merebak. Adanya ancaman sawit, HTI, tambang merupakan ancaman yang mulai dirasakan. Selain menggunakan pendekatan hukum adat yang berangkat dari “kearifan lokal”, pengorganisasian menggunakan cara-cara yang konfrontatif.

Sedangkan di regional hilir, konflik mulai terbuka (manifest), konflik sudah perebutan wilayah klaim, hutan sudah hancur, pengusiran pemilik tanah, bahkan cenderung menggunakan pendekatan hukum formal untuk menghadapi ancaman konflik. Bahkan cenderung adanya upaya kriminalisasi, pembakaran rumah dan meninggalnya korban.

Untuk memudahkan pembagian peran, maka digunakan Regional Hulu yang terdiri dari Kabupaten Kerinci, Kota Kerinci, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Merangin. Regional tengah kabupaten Muara Bungo, Kabupaten Tebo dan kabupaten Batanghari. Sedangkan di Regional hilir adalah Kabupaten Muara Jambi, Kabupaten Tanjabbar dan kabupaten Tanjabtim.

Dalam position paper, Walhi Jambi sudah menegaskan, Secara organisasi, Walhi selalu memandang dari dua sisi. “Ruang kelola” dan “keberlanjutan”.

Berangkat dari dua nilai inilah, Walhi memandang setiap persoalan lingkungan harus memenuhi dua nilai tersebut. Tanpa melihat dan memandang dua nilai-nilai Walhi, maka Walhi harus tetap “kritis” untuk bersikap dan selalu memainkan peran untuk mengusung nilai-nilai itu.

Dengan dua nilai yang menjadi pegangan, maka Walhi Jambi akan selalu melihat penjelasan yang akan disampaikan baik yang akan disampaikan oleh perkumpulan Burung dan PT. REKI.

Mangara memperkenalkan diri dari Perkumpulan Burung Indonesia dan memperkenalkan para “petinggi” PT. REKI. Kemudian “sedikit” memperkenalkan profile perkumpulan Burung Indonesia, tentang Restorasi dan sejarah PT. REKI.

PT. REKI sebagai pemegang konsensi areal seluas kurang lebih 101.355 hektar yang terletak di Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Selatan sebagai areal Restorasi Ekosistem di Hutan Produksi, melalui Kepmenhut SK. No. 83/Menhut–II/2005 dari Menteri Kehutanan bertanggungjawab untuk menjaga kawasan hutan produksi.

Diskusipun mengalir. Tema utama “ruang kelola” dan keberlanjutan” merupakan pedoman dan arah bagi Walhi Jambi untuk melihat penjelasan yang telah disampaikan. Tanpa bermaksud untuk “mengkritik” pemberian izin dengan model “restorasi”, menurut penulis, apakah pertanyaan “ruang kelola dan keberlanjutan” dapat terintegrasi dengan model restorasi.

Tema “ruang kelola” merupakan tema yang penting untuk didiskusikan. “ruang kelola” bukan semata-mata adanya hak untuk membuka hutan untuk dibagi-bagi. Bagi penulis, ruang kelola tidak berkaitan dengan berkaitan tentang “membuka hutan” dan kemudian membagi-bagi kepada “orang yang berhak untuk mendapatkan tanah”. Bukan itu. Terlalu sederhana memandangnya dan terlalu naif juga kemudian dengan argumentasi pasal 33 UUD dijadikan sandaran.

Ruang kelola berupa “akses terhadap hutan” yang memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Ruang kelola juga merupakan identitas yang tidak mudah hanya “membicarakan kayu” an sich. Ruang kelola merupakan ruang yang didapatkan dari pengetahuan lokal yang diwariskan dengan turun temurun.

Dalam berbagai pendekatan hukum adat yang sering penulis temukan di daerah regional hulu dan regional tengah, tata cara membuka hutan sangatlah ketat. Selain adanya waktu yang ditentukan, luasnya yang boleh dibuka, penguasaan terhadap tanah dan mekanisme penyelesaian terhadap berbagai persoalan yang timbul. Dengan model “ruang kelola” inilah, membuktikan, 17 Desa yang kemudian mengusulkan hutan desa seluas 49.508 ha terbukti “tutupan hutannya masih baik. Mereka mempunyai cara dan model pengelolaan yang terbukti arif dan bijaksana. Sangat ketat dan masih dihormati masyarakat.

Namun Ruang kelola juga berkaitan dengan “keberlanjutan”. “membuka hutan” kemudian “membagi-bagi” tanah, menurut penulis bukanlah “ruang kelola”. Itu sama sekali tidak sesuai dengan konteks dengan nilai yang diusung oleh Walhi. Menggunakan argumentasi pasal 33 UUD dengan alasan “membagi-bagi tanah” juga tidak tepat. Salah kaprah inilah yang kemudian Walhi Jambi memandang persoalan yang penting ini.

Dengan nilai-nilai inilah, kemudian, penulis menolak konsepsi tentang hutan yang harus “diproteksi”. Hutan untuk binatang-binatang saja dan tidak menghargai manusia yang juga menjaga hutan. Pengusiran terhadap masyarakat yang mempunyai “ruang kelola” di hutanpun merupakan pelanggaran nilai-nilai Walhi.

Namun memberikan “tanah” kepada masyarakat yang kemudian menguasai tanah sampai puluhan hektarpun, menurut penulis juga tidak sesuai dengan konteks “ruang kelola”. Model kapital penguasaan tanah untuk kepentingan ambisi pribadi merupakan pertentangan nilai-nilai Walhi.

Dengan tema inilah, kemudian terhadap paparan PT. REKI menjadi penting untuk disampaikan.

Pertama. Pendekatan pemberian izin dengan model restorasi merupakan salah satu pilihan yang belum dapat menjadi indikator apakah model restorasi ini baik untuk menjaga hutan dengan restorasi atau masih memerlukan evaluasi yang menyeluruh terhadap proses yang akan dilakukan.

Kedua. Model-model pemberian tanah kepada pembuka hutan tanpa memperhatikan keberlanjutan terhadap fungsi hutan itu sendiri merupakan “salah persepsi” yang penting untuk diluruskan. Mekanisme ini masih sering menjadi pengetahuan yang harus disampaikan terus menerus kepada berbagai pihak.

Ketiga. Dilakukan evaluasi terus menerus untuk memastikan “ruang kelola” dan keberlanjutan.

Keempat. Harus dipastikan, yang harus diperjuangkan adalah mereka yang mempunyai “ruang kelola” yang memperhatikan “keberlanjutan”. Itu tema yang utama. Diluar daripada nilai-nilai yang ditentukan, menurut penulis merupakan “musuh utama” dari kehancuran hutan.

Kelima. Terhadap proses yang dilakukan, penulis meyakini, nilai-nilai merupakan pondasi penting sehingga dapat ditentukan (filter) apakah yang diperjuangkan adalah merupakan hak terhadap ruang kelola ataupun para pendukung “cukong-cukong” yang berkedok dengan argumentasi yang tidak tepat.

Tema “ruang kelola” merupakan salah satu tema yang paling menyita perhatian. Entah beberapa kali penulis harus meluruskan persepsi “ruang kelola”.

Diskusi kecilpun sempat hangat untuk meluruskan “indigenous people”. Menurut penulis, membicarakan “ruang kelola” sama sekali tidak berkaitan dengan “indigenous people” ataupun masyarakat lokal. Tema itu terlalu sempit.

Ruang kelola juga membicarakan masyarakat adat (adatrechtskringen). Sebuah persekutuan hukum sepakat dengan nilai-nilai yang telah dijelaskan. Pendekatan yang memisahkan antara “indigenous people” dengan “adatrechtskringen” sama sekali tidak menjawab terhadap tema yang ditawarkan.

Dalam pengamatan penulis, “indigenous people” yang terdapat di Suku Anak Dalam Bathin IX dan masyarakat adat (adatrechtskringen) di Desa-desa disekitar izin konsensi tidak dapat dipisahkan. Penulis kemudian meminta kepada PT. REKI, apakah sudah menginventarisir terhadap komunitas yang penulis maksudkan. Menurut PT. REKI mereka sudah menginventarisir namun tidak membawa dalam pertemuan itu.

Penulis menegaskan, itu adalah pondasi untuk melihat dan upaya penyelesaian konflik yang terjadi.

Dalam tema yang lain, Mangara menggunakan kata “moratorium balak” sebagai padanan “moratorium logging” sebagai pendekatan yang pas untuk memahami pikiran Walhi. Mangara menggunakan istilah “irisan” yang dapat mempertemukan berbagai gagasan.

Tema yang lain yang menyita perhatian adalah pendekatan keamanan didalam upaya menyelesaikan kasus. Penulis menegaskan tidak menggunakan pendekatan dan “Menabukan” cara-cara mekanisme pendekatan keamanan (security approach) dan menggunakan cara-cara “non-violent” (anti kekerasan).

Waktu selama hampir 3 jam tidak terasa. Pesan penting yang hendak disampaikan dan terus ditegaskan adalah “ruang kelola” dan keberlanjutan”. Dan Walhi Jambi akan selalu memposisikan diluar (outsiders) dan menjadikan sikap kritis sebagai bagian untuk mengawal nilai-nilai.

Dan untuk memastikan proses itu, maka PT. REKI tidak dapat menggunakan pertemuan ini sebagai bagian dari kampanye dan publikasi apapun. Sikap ini kemudian “diamini” dan ditegaskan oleh Mangara.