MOMENTUM
HASIL INVESTIGASI LP GEBONGAN
Tim
investigasi TNI Angkatan Darat mengungkap keterlibatan oknum anggota
Korps Pasukan Khusus (Kopassus) dalam penyerangan LP Cebongan,
Sleman, Yogyakarta pada tanggal 23 Maret 2013.
Hasil
ini memang mengejutkan berbagai kalangan. Selain adanya pengakuan
“jujur” dan cepat dari Tim Investigasi, hasil yang didapatkan
“sekedar” memastikan bagaimana para penembak merupakan “pasukan”
terlatih, cepat dan “cenderung” bersih untuk melaksanakan
tugasnya.
Banyak
komentar terhadap cepat dan jujur dari hasil tim investigasi TNI
angkatan Darat. Sebagai sebuah tim yang dibentuk dengna memaparkan
hasil yang cepat dan jujur harus diberi apresiasi. Sehingga kita
tetap berkeyakinan dan memberi ruang TNI sedang berbenah dan terus
berbenah dengan semangat reformasi.
Namun
hasil itu tidak sederhana kemudian dengan “pengakuan” cepat dan
jujur dari pelaku. Masih dibutuhkan proses panjang sebagaimana
dinyatakan oleh Menko Polkam. Selain dibukanya “transparasi”
terhadap hasil penyidikan, diperiksa para pelaku dan dijatuhi hukuman
sesuai dengan kesalahan. Catatan ini merupakan momentum terhadap
upaya serius kita “membenahi” TNI kedalam paradigma negara
demokratis.
Berangkat
dari pemikiran itulah, maka diperlukan “upaya” yang utuh untuk
menyelesaikan kasus ini agar dapat dipahami dalam konteks demokrasi.
Pengadilan
Militer vis Pengadilan Umum
Di
masa awal-awal reformasi, tuntutan agar militer harus diadili dalam
pengadilan umum terhadap kejahatan yang berkaitan tindak pidana umum
merupakan salah satu amanat reformasi. Pemisahan Polri dan TNI dan
diadili Polri dalam pengadilan umum sebagaimana amanat UU No. 2 Tahun
2002 tidak diikuti dengan dibukanya “wacana” pelaku yang berasal
dari TNI dalam tindak pidana umum.
Para
pelaku yang berasal dari TNI masih “diadili” di Pengadilan
militer. Pengadilan militer masih menggunakan hukum acara tersendiri,
masih menggunakan KUHP militer. Sehingga praktis wacana untuk
mengadili di pengadilan umum merupakan salah satu pekerjaan besar
amanat reformasi yang tertinggal.
Dalam
bacaan negara demokratis, setiap pelaku yang melakukan tindak pidana
umum haruslah disidangkan di pengadilan umum. Tidak ada pembedaan dan
tidak ada pemisahan. Ada persamaan dimuka hukum (equality before the
law). Sebuah asas yang universal yang menjadi pandangan dunia didalam
melihat demokratis dan penghormatan negara hukum (rechtstaat).
Pengadilan
militer hanya menyidangkan perkara-perkara yang berkaitan dengan
“deserse” dan “disiplin” dalam fungsi-fungsi kemiliteran.
Pengadilan militer mengadili yang berkaitan dengan militer.
Namun
terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana
sebagaimana diatur didalam KUHP, maka harus disidangkan di Pengadilan
umum.
Dengan
mudah kita akan memperbandingkan antara kejahatan-kejahatan umum dan
kejahatan yang berhubungan dengan kemiliteran.
Berangkat
dari pemikiran itulah, wacana untuk untuk menempatkan para pelaku
yang berasal dari militer harus diberi porsi yang sesuai dengan
negara hukum (rechtstaat) dan dalam konsepsi negara demokratis. Sudah
saatnya pembahasan tentang RUU KUHAP militer dan KUHP militer
dibahas. Sudah saatnya militer dikembalikan sebagai fungsi
“pertahanan” yang berkaitan dengan “kedaulatan' negara. Sudah
saatnya militer menjalankan tugas suci negara didalam mempertahakan
kedaulatan negara.
Kita
tidak mau “kehormatan” bangsa dipertaruhkan. Kita tidak ingin
makna “negara hukum” (rechtstaat) dihancurkan oleh segelintir
oknum militer.
Kita
tidak ingin “pasukan” elite kebanggaan rakyat “dirusak” oleh
sikap yang tidak pantas dipertontonkan.
Dan
ruang untuk “menyelesaikannya” adalah di pengadilan umum yang
dapat dilihat dan disaksikan pada sidang yang terbuka untuk umum.
Pengadilan umum akan “memeriksa” dan mengadili perkara-perkara
yang berkaitan dengan tindak pidana umum.
Tentu
saja dibutuhkan “keberanian” luar biasa dari elite negeri untuk
mengembalikan fungsi itu. Hasil investigasi TNI Angkatan Darat merupakan momentum yang baik untuk memulainya.
Sehingga
kita meyakini TNI sedang berbenah dan terus berubah.
Sehingga kita yakin TNI berada dalam
relung hati rakyat Indonesia yang meyakini adanya “pelindung”
sebagai penjaga kehormatan dan kebanggaan rakyat.