29 Agustus 2013

opini musri nauli : Menafsirkan Putusan Sujiono Timan



Jagat dunia hukum geger. Mahkamah Agung mengeluarkan putusan “melepaskan” perkara terhadap peninjauan kembali (PK) Sudjiono Timan.

Dunia hukum geger, karena putusan ini selain berdampak kepada upaya pemberantasan korupsi, polemik di kalangan dunia hukum membuat putusan pengadilan merupakan salah satu penting pandangan dunia hukum kepada putusan pengadilan.

Polemik didasarkan kepada hukum acara pidana. Apakah dimungkinkan dapat diajukan PK apabila terpidana tidak menjalani hukuman (eksekusi) putusan pengadilan. Mengapa perkara ini bisa “bebas” padahal di tingkat kasasi, perkara ini terbukti bersalah. Bagaimana terhadap perkara yang sudah diputuskan di kasasi dapat diajukan PK kembali oleh “ahli waris” ?

Pertanyaan itulah yang “mewarnai” berbagai perdebatan dunia hukum.

Sekedar gambaran, 3 Desember 2004, Majelis Kasasi Mahkamah Agung yang dipimpin Bagir Manan memvonis Sudjiono 15 tahun penjara, denda Rp 50 juta, dan membayar uang pengganti Rp 369 miliar.

Saat hendak dieksekusi pada Selasa 7 Desember 2004 dia melarikan diri. Sudjiono Timan termasuk dalam 14 koruptor yang menjadi buronan Jaksa Agung.

Namun dalam tingkat PK, Mahkamah Agung membebaskan mantan Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) Sudjiono Timan, terpidana korupsi Rp 369 miliar melalui permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan kuasa hukum dan istrinya.

PK diajukan oleh ahli waris

Saya memulai perdebatan siapa yang mengajukan PK ?.

Didalam KUHAP, pasal 263 secara tegas dinyatakan “pengajuan PK tersebut hanya boleh diajukan terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kecuali terhadap putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum dan yang mengajukan permintaan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung tersebut adalah terpidana atau ahli warisnya

Kata-kata “terpidana dan ahli waris” sudah tegas dinyatakan (secara limitatif). Sehingga pasal 263 KUHAP harus dibaca “adanya” terpidana. (Saya tidak akan mendiskusikan dalam praktek PK juga pernah diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam kasus PK terhadap Mochtar Pakpahan tahun 1996 dan kasus Pollycarpus tahun 2007. Itu merupakan kajian tersendiri.)

Kata-kata “adanya terpidana”, maka haruslah ditafsirkan “memerintahkan” kepada terpidana untuk menjalani putusan kasasi terlebih dahulu barulah kemudian mengajukan PK.

Dengan demikian, maka pihak merasa keberatan terhadap putusan kasasi dapat mengajukan PK yang harus dihadiri kedua belah pihak.

Dari sudut pandang inilah, maka penulis berbeda pendapat dengan pemikiran “apabila tidak ada terpidana bisa diajukan oleh ahli waris.

Kejadian tidak “adanya terpidana” dan dapat diajukan oleh “ahli waris” mengingatkan kita dalam kasus PK oleh Tommy Soeharto. “ahli waris” Tommy Soeharto mengajukan PK padahal Tommy Soeharto telah kabur. MA kemudian mengabulkan PK Tommy Soeharto. Sehingga kritik disampaikan ke Mahkamah Agung

MA membuat Surat Edaran No 1 Tahun 2012 tanggal 28 Juni 2012 (SEMA) yang menegaskan bahwa permintaan PK yang diajukan oleh kuasa hukum terpidana tanpa dihadiri oleh terpidana harus ditolak dan berkas perkaranya tidak dilanjutkan ke MA.

Dalam kasus Sujiono Timan, sebagian pendapat berdalih, karena Surat Edaran Mahkamah Agung SEMA Nomor 1 Tahun 2012 tanggal 28 Juni 2012 sedangkan PK Sujiono Timan diajukan sebelum tanggal 28 Juni 2012, maka SEMA tidak dapat diterapkan dalam kasus PK Sujino Timan.

Merunut kata-kata “adanya terpidana” maka mempunyai konsekwensi logis. Secara limitatif, kata-kata terpidana didasarkan kepada terpidana yang telah menjalani putusan yang kemudian “berhak” mengajukan PK.

Sehingga walaupun SEMA belum bisa diterapkan dalam kasus Sujiono Timan, maka Sujiono Timan tetap tidak bisa mengajukan PK.

Sekarang menjadi perdebatan bagaimana apabila seseorang tidak menjalani pidana putusan pengadilan (eksekusi) kemudian mengajukan PK.

Sebagian kalangan berpendapat menyatakan “ahli waris” dapat mengajukan PK. Nah. Mengapa ahli waris berhak mengajukan PK.

Betul. Apabila tidak ada “terpidana” maka PK dapat diajukan oleh ahli waris.

Sekarang mari kita lihat dari definisi ahli waris. Didalam KUHAP sendiri, tidak pernah menegaskan tentang definisi ahli waris. Padanan kata “ahli waris” dapat kita lihat diluar KUHAP. Baik didalam BW (burgelijk wetboek/Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) maupun di Kompalasi Hukum Islam.

Ahli Waris adalah sebuah ungkapan yang artinya Orang yang berhak menerima warisan orang yang meninggal dunia. Orang yang berhak menerima warisan orang yang meninggal dunia diistilahkan sebagai Ahli Waris. Jadi arti Ahli Waris adalah Orang yang berhak menerima warisan orang yang meninggal dunia. Kata Istilah Ahli Waris merupakan ungkapan resmi dalam Bahasa Indonesia.

Dengan demkian maka yang berhak mewaris hanyalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah/perkawinan dengan pewaris. Baik itu berupa keturunan langsung maupun orang tua, saudara, nenek/kakek atau keturunannya dari saudara-saudaranya.

Didalam BW sendiri telah tegas dinyatakan sebagai ahli waris. Yaitu (1) Golongan I: suami/isteri yang hidup terlama dan anak/keturunannya (Pasal 852 KUHPerdata). (2) Golongan II: orang tua dan saudara kandung Pewaris, (3) Golongan III: Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris. Golongan IV: Paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.

Sehingga PK yang diajukan oleh istrinya sah. Itu dalam praktek normal. Dalam praktek dimana pihak terpidana telah menjalani putusan pengadilan (eksekusi).

Namun yang dilupakan sebagian kalangan, ahli waris akan timbul setelah “pewaris” telah meninggal. Ahli waris tidak bisa ada, apabila pewaris masih ada. Sedangkan Sujiono Timan belum pernah dinyatakan telah meninggal dunia. Sehingga tidak terdapat hak kepada “ahli waris”.

Kembali ke Sujiono Timan. Sujiono Timan tidak menjalani pidana sehingga tidak dapat mengajukan PK. Selain karena Sujiono Timan “dianggap” menerima putusan Kasasi karena tidak menjalani kasasi dan mengajukan PK, Pengajukan PK juga tidak berdasar.

Sehingga ketika dilakukan eksekusi, Sujiono Timan kabur dan tidak menjalani putusan pengadilan. Apakah ketika Sujiono Timan kabur dan hampir 10 tahun kemudian dinyatakan “meninggal” ? Logika apa yang hendak dibangun. Apakah ketika seseorang yang kabur dari putusan pengadilan kemudian dapat “dinyatakan” meninggal sehingga ahli waris “berhak” mengajukan PK ?

Logika ini yang hendak dibangun didalam putusan MA.

Namun antara logika satu dengan logika yang lain harus bersesuaian sehingga dapat terbangun “silogisme'. Tidak boleh antara logika satu dengan logika lain bertentangan (menegasikan). Logika satu dengan logika lain yang bertentangan akan membangun “kebodohan” akal pikiran manusia sehingga putusan pengadilan PK terhadap Sujiono Timan dapat “dibaca” rakyat akan mencederai keadilan rakyat.

Membangun logika putusan PK terhadap putusan Sujiono Timan akan “mempertentangkan” antara “tidak menjalani eksekusi” dengna logika “telah meninggal”. Apakah tepat logika itu. Apakah logika itu sudah “rasional” ? Bagaimana meyakini logika itu ?.

Bagaimana “meyakini” rakyat, “tidak menjalani eksekusi” artinya “telah meninggal”. Apakah “membaca” putusan PK “tidak menjalani eksekusi” dapat dijadikan argumentasi dengna logic “telah meninggal” ? Mengapa kemudian “tidak menjalani eksekusi” kemudian dinyatakan “telah meninggal” kemudian menimbulkan polemik dan heboh jagat dunia hukum.

Nalar saya “terganggu”. Logika yang hendak dibangun dalam putusan PK Sujiono Timan “belum dapat” saya tangkap.