Jagat dunia hukum geger.
Mahkamah Agung mengeluarkan putusan “melepaskan” perkara terhadap
peninjauan kembali (PK) Sudjiono Timan.
Dunia hukum geger, karena
putusan ini selain berdampak kepada upaya pemberantasan korupsi,
polemik di kalangan dunia hukum membuat putusan pengadilan merupakan
salah satu penting pandangan dunia hukum kepada putusan pengadilan.
Polemik didasarkan kepada
hukum acara pidana. Apakah dimungkinkan dapat diajukan PK apabila
terpidana tidak menjalani hukuman (eksekusi) putusan pengadilan.
Mengapa perkara ini bisa “bebas” padahal di tingkat kasasi,
perkara ini terbukti bersalah. Bagaimana terhadap perkara yang sudah
diputuskan di kasasi dapat diajukan PK kembali oleh “ahli waris”
?
Pertanyaan itulah yang
“mewarnai” berbagai perdebatan dunia hukum.
Sekedar gambaran, 3
Desember 2004, Majelis Kasasi Mahkamah Agung yang dipimpin Bagir
Manan memvonis Sudjiono 15 tahun penjara, denda Rp 50 juta, dan
membayar uang pengganti Rp 369 miliar.
Saat hendak dieksekusi
pada Selasa 7 Desember 2004 dia melarikan diri. Sudjiono Timan
termasuk dalam 14 koruptor yang menjadi buronan Jaksa Agung.
Namun dalam tingkat PK,
Mahkamah Agung membebaskan mantan Direktur Utama PT Bahana Pembinaan
Usaha Indonesia (BPUI) Sudjiono Timan, terpidana korupsi Rp 369
miliar melalui permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan kuasa
hukum dan istrinya.
PK diajukan oleh ahli
waris
Saya memulai perdebatan siapa yang
mengajukan PK ?.
Didalam KUHAP, pasal 263
secara tegas dinyatakan “pengajuan PK tersebut hanya boleh
diajukan terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
kecuali terhadap putusan bebas atau putusan lepas dari segala
tuntutan hukum dan yang mengajukan permintaan peninjauan kembali ke
Mahkamah Agung tersebut adalah terpidana atau ahli warisnya”
Kata-kata “terpidana
dan ahli waris” sudah tegas dinyatakan (secara limitatif).
Sehingga pasal 263 KUHAP harus dibaca “adanya” terpidana. (Saya
tidak akan mendiskusikan dalam praktek PK juga pernah diajukan oleh
Jaksa Penuntut Umum dalam kasus PK terhadap Mochtar Pakpahan tahun
1996 dan kasus Pollycarpus tahun 2007. Itu merupakan kajian
tersendiri.)
Kata-kata “adanya
terpidana”, maka haruslah ditafsirkan “memerintahkan”
kepada terpidana untuk menjalani putusan kasasi terlebih dahulu
barulah kemudian mengajukan PK.
Dengan demikian, maka
pihak merasa keberatan terhadap putusan kasasi dapat mengajukan PK
yang harus dihadiri kedua belah pihak.
Dari sudut pandang
inilah, maka penulis berbeda pendapat dengan pemikiran “apabila
tidak ada terpidana bisa diajukan oleh ahli waris.
Kejadian tidak “adanya
terpidana” dan dapat diajukan oleh “ahli waris”
mengingatkan kita dalam kasus PK oleh Tommy Soeharto. “ahli
waris” Tommy Soeharto mengajukan PK padahal Tommy Soeharto
telah kabur. MA kemudian mengabulkan PK Tommy Soeharto. Sehingga
kritik disampaikan ke Mahkamah Agung
MA membuat Surat Edaran
No 1 Tahun 2012 tanggal 28 Juni 2012 (SEMA) yang menegaskan bahwa
permintaan PK yang diajukan oleh kuasa hukum terpidana tanpa dihadiri
oleh terpidana harus ditolak dan berkas perkaranya tidak dilanjutkan
ke MA.
Dalam kasus Sujiono
Timan, sebagian pendapat berdalih, karena Surat Edaran Mahkamah Agung
SEMA Nomor 1 Tahun 2012 tanggal 28 Juni 2012 sedangkan PK Sujiono
Timan diajukan sebelum tanggal 28 Juni 2012, maka SEMA tidak dapat
diterapkan dalam kasus PK Sujino Timan.
Merunut kata-kata “adanya
terpidana” maka mempunyai konsekwensi logis. Secara limitatif,
kata-kata terpidana didasarkan kepada terpidana yang telah menjalani
putusan yang kemudian “berhak” mengajukan PK.
Sehingga walaupun SEMA
belum bisa diterapkan dalam kasus Sujiono Timan, maka Sujiono Timan
tetap tidak bisa mengajukan PK.
Sekarang menjadi
perdebatan bagaimana apabila seseorang tidak menjalani pidana putusan
pengadilan (eksekusi) kemudian mengajukan PK.
Sebagian kalangan
berpendapat menyatakan “ahli waris” dapat mengajukan PK.
Nah. Mengapa ahli waris berhak mengajukan PK.
Betul. Apabila tidak ada
“terpidana” maka PK dapat diajukan oleh ahli waris.
Sekarang mari kita lihat
dari definisi ahli waris. Didalam KUHAP sendiri, tidak pernah
menegaskan tentang definisi ahli waris. Padanan kata “ahli
waris” dapat kita lihat diluar KUHAP. Baik didalam BW
(burgelijk wetboek/Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) maupun
di Kompalasi Hukum Islam.
Ahli Waris adalah sebuah
ungkapan yang artinya Orang yang berhak menerima warisan orang yang
meninggal dunia. Orang yang berhak menerima warisan orang yang
meninggal dunia diistilahkan sebagai Ahli Waris. Jadi arti Ahli Waris
adalah Orang yang berhak menerima warisan orang yang meninggal dunia.
Kata Istilah Ahli Waris merupakan ungkapan resmi dalam Bahasa
Indonesia.
Dengan demkian maka yang
berhak mewaris hanyalah orang-orang yang mempunyai hubungan
darah/perkawinan dengan pewaris. Baik itu berupa keturunan langsung
maupun orang tua, saudara, nenek/kakek atau keturunannya dari
saudara-saudaranya.
Didalam BW sendiri telah
tegas dinyatakan sebagai ahli waris. Yaitu (1) Golongan I:
suami/isteri yang hidup terlama dan anak/keturunannya (Pasal 852
KUHPerdata). (2) Golongan II: orang tua dan saudara kandung Pewaris,
(3) Golongan III: Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak
dan ibu pewaris. Golongan IV: Paman dan bibi pewaris baik dari pihak
bapak maupun dari pihak ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat
keenam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta
keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.
Sehingga PK yang diajukan
oleh istrinya sah. Itu dalam praktek normal. Dalam praktek dimana
pihak terpidana telah menjalani putusan pengadilan (eksekusi).
Namun yang dilupakan
sebagian kalangan, ahli waris akan timbul setelah “pewaris”
telah meninggal. Ahli waris tidak bisa ada, apabila pewaris masih
ada. Sedangkan Sujiono Timan belum pernah dinyatakan telah meninggal
dunia. Sehingga tidak terdapat hak kepada “ahli waris”.
Kembali ke Sujiono Timan.
Sujiono Timan tidak menjalani pidana sehingga tidak dapat mengajukan
PK. Selain karena Sujiono Timan “dianggap” menerima
putusan Kasasi karena tidak menjalani kasasi dan mengajukan PK,
Pengajukan PK juga tidak berdasar.
Sehingga ketika dilakukan
eksekusi, Sujiono Timan kabur dan tidak menjalani putusan pengadilan.
Apakah ketika Sujiono Timan kabur dan hampir 10 tahun kemudian
dinyatakan “meninggal” ? Logika apa yang hendak dibangun.
Apakah ketika seseorang yang kabur dari putusan pengadilan kemudian
dapat “dinyatakan” meninggal sehingga ahli waris “berhak”
mengajukan PK ?
Logika ini yang hendak
dibangun didalam putusan MA.
Namun antara logika satu
dengan logika yang lain harus bersesuaian sehingga dapat terbangun
“silogisme'. Tidak boleh antara logika satu dengan logika
lain bertentangan (menegasikan). Logika satu dengan logika
lain yang bertentangan akan membangun “kebodohan” akal
pikiran manusia sehingga putusan pengadilan PK terhadap Sujiono Timan
dapat “dibaca” rakyat akan mencederai keadilan rakyat.
Membangun logika putusan
PK terhadap putusan Sujiono Timan akan “mempertentangkan”
antara “tidak menjalani eksekusi” dengna logika “telah
meninggal”. Apakah tepat logika itu. Apakah logika itu sudah
“rasional” ? Bagaimana meyakini logika itu ?.
Bagaimana “meyakini”
rakyat, “tidak menjalani eksekusi” artinya “telah
meninggal”. Apakah “membaca” putusan PK “tidak
menjalani eksekusi” dapat dijadikan argumentasi dengna logic
“telah meninggal”
? Mengapa kemudian “tidak menjalani eksekusi” kemudian
dinyatakan “telah meninggal” kemudian menimbulkan polemik
dan heboh jagat dunia hukum.
Nalar saya “terganggu”.
Logika yang hendak dibangun dalam putusan PK Sujiono Timan “belum
dapat” saya tangkap.