02 September 2013

opini musri nauli : Mengembara dalam Kesunyian : In Memoriam Prof. Soetanyo Wignyosoebroto



Saya mendapatkan kabar di dunia sosial media ketika dikabarkan “Telah pergi Prof. Soetanyo Wignyosoebroto. Kekagetan itu cukup “telak”. Selain saya masih ingat mendengarkan penjelasan beliau ketika mendiskusikan landmark “Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional” ketika pelatihan “Penelitian Hukum Interdispliner” yang diadakan Epistema institute April 2013. Selama 3 hari effektif saya menggagumi “kebegawanan” beliau menjaga ilmu tetap sebagai “obor” dari kesesatan (mistake) dan perdebatan praktis ilmu hukum yang semakin jauh dari rohnya.
Ketika didalam Pertemuan di Konferensi Nasional “Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia', Surabaya, 27-28 Agustus 2013, saya mencari-cari beliau namun mendapatkan kabar beliau “kurang sehat'.

Karena memang forum sebesar pertemuan Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia yang memang beliau “harus hadir', pertemuan itu juga mempertemukan berbagai pengajar dan penggiat Filsfat Hukum yang berkumpul seluruh Indonesia. Sehingga pertemuan yang sebesar itu kemudian tidak dihadiri oleh Beliau, saya juga sedikit “merasa kehilangan”.

Untuk mengenal Prof. Soetanyo Wignyosoebroto (Prof. Tanyo) tidak bisa dilepaskan dari buku yang menjadi landmark mengenal Sejarah hukum di Indonesia. Bukunya yang terkenal “Dari hukum Kolonial menjadi Hukum Nasional-Suatu Kajian tentang dinamika sosial politik dalam perkembangan hukum selama satu setengah Abad di Indonesia (1840-1990)” merupakan buku yang menceritakan tentang sejarah digunakan hukum kodifikasi Hukum Belanda. Prof. Tanyo menyebutkan “hukum Kolonial”. Sebuah istilah bentuk sinisme terhadap diterapkan hukum Belanda untuk masyarakat pribumi.

Sebagai sebuah buku yang menjadikan landmark Prof. Tanyo dalam pemikiran yang “dahsyat”, bertemu dan mendengarkan penjelasan langsung yang diberikan merupakan sebuah kesempatan “langka”, tanpa menyebutkan kata-kata “luar biasa'. Lebih banyak disampaikan secara ketika pertemuan dari buku itu sendiri. Dalam. Ibarat “sungai” semakin digali, semakin tidak berarti ilmu yang telah kita ketahui. Dan penulis berkesempatan mendengarkan penjelasan langsung.

Buku yang terkenal itu kemudian bisa memahami, mengapa negara Kolonial Belanda “gigih” menerapkan hukum modern di tengah masyarakat Indonesia yang terbelakang. Runut, sistematis dan menggunakan literatur yang langsung digali di Belanda, membuat buku ini menjadi “bernyawa”. Dan sebagai bagian dari proses “perenungan yang panjang”, penulis merasakan “getar” amarah, getar ngejek terhadap masih digunakan hukum-hukum nasional di tengah masyarakat yang sangat plural. Ditambah penguasaan bahasa belanda dan bahasa inggeris, membuat diskusi menjadi hidup, diskusi menjadi sederhan walaupun harus memerlukan perenungan yang dalam. Sebagai buku landmark, tidak salah kemudian beliau bertutur “Buku itu merupakan master piece”. Dan penulis sangat sedih ketika beliau berbicara masih ada keinginan untuk melahirkan buku-buku sejenis, tapi belum mendapatkan kesempatan.

Buku “master piece” dan landmark Prof. Soetanyo dapat disejajarkan dengan buku-buku seperti The Pure of Law dari Hans Kelsen. Sebagai “master piece”, penulis kesulitan mencari buku-buku yang memang didedikasikan kepada ilmu pengetahuan namun tetap berangkat dari “nasionalisme” sejati” yang mengagungkan kekuatan hukum adat. Kebesaran hukum adat.

Dalam diskusi, kesan yang penulis rasakan, beliau merupakan tipe seorang “ilmuwan sejati”. Buku 70 tahun usia Prof. Soetanyo merupakan pandangan dari berbagai kalangan yang sekarang menempati posisi penting. Buku itu juga menggambarkan bagaimana seorang Soetanyo yang mendesainkan Sosiologi hukum sebagai mata kuliah yang penting yang bisa “memotret” gejala-gejala sosial dan mampu menangkap keinginan publik terhadap hukum. Buku itu dapat menggambarkan bagaimana posisi Prof. Soetanyo yang dapat melewati berbagai krisisi kebangsaan dengan tetap menawarkan konsep hukum yang “Bernyawa”.

Sebagai orang yang mengikuti perkembangan zaman, Prof. Soetanyo sering melontarkan perasaannya di status FB. Entah di tengah malam, beliau mengkritik terhadap berbagai penulisan Disertasi yang cenderung “copas” copy paste, kritik beliau yang hanya menempatkan hukum sebagai bentuk mekanik seperti robot terhadap atau berbagai peristiwa kebangsaan yang menurut beliau terlalu mudah diurai namun menjadi pelik di tengah pengurus negeri.

Sebagai “Begawan” hukum, posisi beliau memang bisa disejajarkan dengan tokoh-tokoh hukum Indonesia seperti “Satjipto Rahardjo”. Beliau selalu berangkat dari kegelisah rakyat dan kemudian mampu “memotret” secara bening penegakkan hukum.

Sebagai “Begawan hukum”, beliau berhasil menjadi orang yang dihormati. Bukan karena beliau ingin dihormati, tetap berbagai karya-karya beliau secara konsisten terus dimuat di berbagai media massa. Cara penyampaian ilmu hukum baik dilihat dari kajian sosiologi, filsafat hukum berhasil melewati batas zaman. Di tangan beliau, hukum menjadi sederhana. Argumentasi beliau “jernih”, fokus, sistematis.

Sebagai “Begawan hukum” dia mendengarkan penjelasan dengan baik pemaparan dari generasi selanjutnya. Entah mendengarkan penjelasan dari Dr. Sidharta, Dr. Rikardo Simarmata ataupun berusaha menyimak penjelasan dari berbagai kalangan. Beliau memberikan catatan penting untuk memperkuat argumentasi yang dipaparkan. Dengan teori-teori hukum yang didukung dengna penguasaan bahasa Perancis, Bahasa Inggeris dia memberikan dukungan. Kebegawanan beliau terus dipompakan agar generasi muda dan penerusnya terus berkarya.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada ahli hukum lainnya, Kebegawanan beliau memang sulit dicari tandingannya. Beliau masih terus “memberikan kuliah” dimana-mana. Memberikan catatan. Teliti sebelum menjawab. Tekun dan terus memperbaiki catatannya. Bahkan dalam berbagai kesempatan, beliau adalah orang yang disiplin dengan waktu. Sehingga berbagai keteladanan beliau mampu memberikan inspirasi dan menggerakan orang.

Energi inilah yang terus disebarkan setiap hari. Setiap waktu.

Beliau terus menabur benih-benih.

Dengan kepergian beliau, maka penulis berharap, agar energi yang disebarkan dan benih-benih yang telah ditabur dapat kita tuaikan. Agar generasi selanjutnya tidak merasa malu dan terus memperjuangkan hukum nasional dan tidak minder dengan hukum kolonial.

Selamat Jalan Prof.