Saya mendapatkan kabar di
dunia sosial media ketika dikabarkan “Telah pergi Prof. Soetanyo
Wignyosoebroto. Kekagetan itu cukup “telak”. Selain saya
masih ingat mendengarkan penjelasan beliau ketika mendiskusikan
landmark “Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional” ketika
pelatihan “Penelitian Hukum Interdispliner” yang diadakan
Epistema institute April 2013. Selama 3 hari effektif saya
menggagumi “kebegawanan” beliau menjaga ilmu tetap sebagai “obor”
dari kesesatan (mistake) dan perdebatan praktis ilmu hukum yang
semakin jauh dari rohnya.
Ketika didalam Pertemuan
di Konferensi Nasional “Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia',
Surabaya, 27-28 Agustus 2013, saya mencari-cari beliau namun
mendapatkan kabar beliau “kurang sehat'.
Karena memang forum
sebesar pertemuan Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia yang memang
beliau “harus hadir', pertemuan itu juga mempertemukan berbagai
pengajar dan penggiat Filsfat Hukum yang berkumpul seluruh Indonesia.
Sehingga pertemuan yang sebesar itu kemudian tidak dihadiri oleh
Beliau, saya juga sedikit “merasa kehilangan”.
Untuk mengenal Prof.
Soetanyo Wignyosoebroto (Prof. Tanyo) tidak bisa dilepaskan dari buku
yang menjadi landmark mengenal Sejarah hukum di Indonesia. Bukunya
yang terkenal “Dari hukum Kolonial menjadi Hukum Nasional-Suatu
Kajian tentang dinamika sosial politik dalam perkembangan hukum
selama satu setengah Abad di Indonesia (1840-1990)” merupakan buku
yang menceritakan tentang sejarah digunakan hukum kodifikasi Hukum
Belanda. Prof. Tanyo menyebutkan “hukum Kolonial”. Sebuah istilah
bentuk sinisme terhadap diterapkan hukum Belanda untuk masyarakat
pribumi.
Sebagai sebuah buku yang
menjadikan landmark Prof. Tanyo dalam pemikiran yang “dahsyat”,
bertemu dan mendengarkan penjelasan langsung yang diberikan merupakan
sebuah kesempatan “langka”, tanpa menyebutkan kata-kata “luar
biasa'. Lebih banyak disampaikan secara ketika pertemuan dari buku
itu sendiri. Dalam. Ibarat “sungai” semakin digali, semakin tidak
berarti ilmu yang telah kita ketahui. Dan penulis berkesempatan
mendengarkan penjelasan langsung.
Buku yang terkenal itu
kemudian bisa memahami, mengapa negara Kolonial Belanda “gigih”
menerapkan hukum modern di tengah masyarakat Indonesia yang
terbelakang. Runut, sistematis dan menggunakan literatur yang
langsung digali di Belanda, membuat buku ini menjadi “bernyawa”.
Dan sebagai bagian dari proses “perenungan yang panjang”, penulis
merasakan “getar” amarah, getar ngejek terhadap masih digunakan
hukum-hukum nasional di tengah masyarakat yang sangat plural.
Ditambah penguasaan bahasa belanda dan bahasa inggeris, membuat
diskusi menjadi hidup, diskusi menjadi sederhan walaupun harus
memerlukan perenungan yang dalam. Sebagai buku landmark, tidak salah
kemudian beliau bertutur “Buku itu merupakan master piece”.
Dan penulis sangat sedih ketika beliau berbicara masih ada keinginan
untuk melahirkan buku-buku sejenis, tapi belum mendapatkan
kesempatan.
Buku “master piece”
dan landmark Prof. Soetanyo dapat disejajarkan dengan buku-buku
seperti The Pure of Law dari Hans Kelsen. Sebagai “master piece”,
penulis kesulitan mencari buku-buku yang memang didedikasikan kepada
ilmu pengetahuan namun tetap berangkat dari “nasionalisme”
sejati” yang mengagungkan kekuatan hukum adat. Kebesaran hukum
adat.
Dalam diskusi, kesan yang
penulis rasakan, beliau merupakan tipe seorang “ilmuwan sejati”.
Buku 70 tahun usia Prof. Soetanyo merupakan pandangan dari berbagai
kalangan yang sekarang menempati posisi penting. Buku itu juga
menggambarkan bagaimana seorang Soetanyo yang mendesainkan Sosiologi
hukum sebagai mata kuliah yang penting yang bisa “memotret”
gejala-gejala sosial dan mampu menangkap keinginan publik terhadap
hukum. Buku itu dapat menggambarkan bagaimana posisi Prof. Soetanyo
yang dapat melewati berbagai krisisi kebangsaan dengan tetap
menawarkan konsep hukum yang “Bernyawa”.
Sebagai orang yang
mengikuti perkembangan zaman, Prof. Soetanyo sering melontarkan
perasaannya di status FB. Entah di tengah malam, beliau mengkritik
terhadap berbagai penulisan Disertasi yang cenderung “copas” copy
paste, kritik beliau yang hanya menempatkan hukum sebagai bentuk
mekanik seperti robot terhadap atau berbagai peristiwa kebangsaan
yang menurut beliau terlalu mudah diurai namun menjadi pelik di
tengah pengurus negeri.
Sebagai “Begawan”
hukum, posisi beliau memang bisa disejajarkan dengan tokoh-tokoh
hukum Indonesia seperti “Satjipto Rahardjo”. Beliau selalu
berangkat dari kegelisah rakyat dan kemudian mampu “memotret”
secara bening penegakkan hukum.
Sebagai “Begawan
hukum”, beliau berhasil menjadi orang yang dihormati. Bukan karena
beliau ingin dihormati, tetap berbagai karya-karya beliau secara
konsisten terus dimuat di berbagai media massa. Cara penyampaian ilmu
hukum baik dilihat dari kajian sosiologi, filsafat hukum berhasil
melewati batas zaman. Di tangan beliau, hukum menjadi sederhana.
Argumentasi beliau “jernih”, fokus, sistematis.
Sebagai “Begawan hukum”
dia mendengarkan penjelasan dengan baik pemaparan dari generasi
selanjutnya. Entah mendengarkan penjelasan dari Dr. Sidharta, Dr.
Rikardo Simarmata ataupun berusaha menyimak penjelasan dari berbagai
kalangan. Beliau memberikan catatan penting untuk memperkuat
argumentasi yang dipaparkan. Dengan teori-teori hukum yang didukung
dengna penguasaan bahasa Perancis, Bahasa Inggeris dia memberikan
dukungan. Kebegawanan beliau terus dipompakan agar generasi muda dan
penerusnya terus berkarya.
Tanpa mengurangi rasa
hormat kepada ahli hukum lainnya, Kebegawanan beliau memang sulit
dicari tandingannya. Beliau masih terus “memberikan kuliah”
dimana-mana. Memberikan catatan. Teliti sebelum menjawab. Tekun dan
terus memperbaiki catatannya. Bahkan dalam berbagai kesempatan,
beliau adalah orang yang disiplin dengan waktu. Sehingga berbagai
keteladanan beliau mampu memberikan inspirasi dan menggerakan orang.
Energi inilah yang terus
disebarkan setiap hari. Setiap waktu.
Beliau terus menabur
benih-benih.
Dengan kepergian beliau,
maka penulis berharap, agar energi yang disebarkan dan benih-benih
yang telah ditabur dapat kita tuaikan. Agar generasi selanjutnya
tidak merasa malu dan terus memperjuangkan hukum nasional dan tidak
minder dengan hukum kolonial.
Selamat Jalan Prof.
Baca : MENGEMBARA DALAM KESUNYIAN