26 Agustus 2013

opini musri nauli : ISSU AGAMA DI LENTENG AGUNG



Sungguh aneh. Kota Jakarta sebagai Ibukota Negara, “miniatur Indonesia, “tempat masyarakat Indonesia berkumpul”, 70% uang berputar, multi etnik, multi agama, kota tua dalam sejarah panjang Indonesia, masih ada “sedikit” penduduknya masih berfikir kolot, rasial, diskriminasi, bias gender. Tuntutan agar Lurah Lenteng Agung “diberhentikan” dengan alasan “perempuan dan beragama Protestan”. Tuntutan “mundur” dibumbuhi cerita tanda tangan dan KTP dan disampaikan kepada Jokowi dan Ahok.

Saya masih sulit menerima usulan itu. Selain karena praktis Indonesia yang mempunyai sejarah panjang terhadap berbagai budaya dunia (China, India, Arab) termasuk agama (Islam, Kristen, Hindu dan Budha), pemikiran ini sungguh-sungguh “berbahaya”.

Pemikiran “radikal” dan rasial terhadap golongan tertentu selain akan menyebarkan bibit-bibit dan ancaman “perpecahan”, cara ini bertentangan dengan ajaran islam itu sendiri.

Saya tidak menduga itu masih terjadi di Kota Jakarta.

Di berbagai daerah di Indonesia, sikap toleransi sudah banyak kita temukan. Masyarakat berbagai pelosok sudah berbaur sehingga saling mempengaruhi. Berbagai kebudayaan sudah saling melengkapi dan masih banyak kita temukan. Bahkan berbagai mesjid malah dipengaruhi budaya China.

Begitu juga pertemuan antara agama satu dengan lain sering mewarnai pesta-pesta adat di berbagai daerah.

Issu rasial di Jakarta, mengingatkan kasus Rhoma Irama. Dengan mengutip sebuah ayat, Rhoma Irama “mengajak” agar tidak memilih dengan alasan “tidak seiman”.

Rhoma Irama kemudian keseleo lidah. Semangat berapi-api dan tuduhan kepada Ahok melebar kepada tuduhan kepada Jokowi. Jokowi “difitnah” sebagian keluarganya tidak beragama islam.

Rhoma Irama beralasan mendapatkan sumber dari dunia maya. Setelah didesak, Rhoma Irama tidak bisa memastikan dari link yang menyebarkan berita itu. Dan suara media kemudian menyalahkan Rhoma Irama yang tidak melakukan klarifikasi terhadap berita itu.

Jokowi dengna santai menjelaskan tentang tuduhan Rhoma Irama. Bahkan dengan cengar-cengir, Jokowi mengakui sebagai pengagum Rhoma Irama. Dengan fasih dengan menyanyikan lagu Rhoma Irama seperti “begadang”. Satu kosong untuk Jokowi

Issu ini kemudian panas dan menyeret Rhoma Irama ke Panwaslu. Walaupun tidak bersalah, namun issu ini kemudian melebar dan membuat Rhoma Irama harus mengakui “suara publik”.

Reaksi terhadap Rhoma Irama begitu keras. Tuntutan agar Rhoma Irama meminta maaf membuat Rhoma Irama harus mengakui kesalahannya.

Pertentangan terhadap Rhoma Irama kemudian menimbulkan pertanyaan. Apakah kita memilih karena kita seiman ? Atau kita memilih karena “prestasi” ?

Suara publik kemudian “cerdas” dengan tidak mengikuti ajakan Rhoma Irama. Jokowi dan Ahok menang di Pilkada Jakarta. Dua kosong untuk Jokowi.

Entah karena Jokowi “ingin” membuktikan prestasi kerja daripada issu, Jokowi kemudian “memerintahkan” pegawai di DKI menggunakan pakaian betawi pada hari tertentu kerja. Seruan ini ternyata mendapatkan dukungan luas. Sehingga dukungan Jokowi terus mengalir. Tiga kosong untuk Jokowi.

Kekesalan Rhoma Irama tidak selesai. Seakan-akan “masih dendam” dengan alasan dia menyampaikan “kebenaran” kemudian dia minta maaf, ajakan Rhoma Irama terus berulang-ulang di berbagai forum. Termasuk forum Metro TV di acara “Mata Najwa”.

Ajakan Rhoma Irama merupakan pemikiran yang sudah tidak tepat disampaikan. Entah bermaksud menjelaskan dengan menggunakan ayat-ayat Al Qur-an, ajakan Rhoma Irama dibalas di media massa. Berita Rhoma Irama kemudian selalu ditempelkan berita tentang “urusan pribadi” Rhoma Irama. Baik tentang perkawinan yang berujung perceraian, issu dengan perempuan cantik, issu tentang “apartemen” yang “digebrek” Yatti Octavia hingga tema Poligami. Ajakan Rhoma Irama “kurang mendapatkan” dukungan publik.

Kembali ke cerita tentang “penolakan” masyarakat Lenteng Agung terhadap Lurah Lenteng Agung. Issu ini harus cepat “diberesin”. Pemerintah harus tegas untuk menyelesaikannya. Peristiwa ini salah satu “ujian” penting dalam persoalan kebangsaan.

Jokowi diharapkan bertindak cepat, obyektif, tidak terjebak dengan issu sesat dan berfikir ke depan. Salah mengambil langkah tidak akan berdampak buruk kepada Pemerintahan Jokowi tapi akan meninggalkan “bibit” perpecahan.

Jangan terjebak dengan cara pemerintahan SBY dalam kasus intoleransi dan kekerasan agama. “lambat”, berhitung politik bahkan cenderung “membiarkan” kekerasan atas nama agama. Berbagai peristiwa “berbau” agama seperti pelarangan ibadah, penutupan tempat ibadah, kekerasan terhadap pemeluk agama bahkan penyingkiran (relokasi) kelompok syiah membuat Indonesia berada dalam jurang “kehancuran”.

Jokowi bisa “merasakan” toleransi beragama seperti di Solo atau Yogyakarta. “Suasana” ini dapat ditularkan di Jakarta.

Indonesia sudah terbukti “melewati” persoalan kebangsaan tanpa sekat-sekat agama.

Terlalu hina sebagai bangsa, Indonesia hanya “mempersoalkan” agama yang mengabaikan kemanusiaan. Pandangan kita tentang agama akan diukur bagaimana kita memandang kemanusiaan. Dan setiap peristiwa di Indonesia telah mengajarkan kita setiap hari tentang arti kemanusiaan.