Sungguh aneh. Kota
Jakarta sebagai Ibukota Negara, “miniatur Indonesia, “tempat
masyarakat Indonesia berkumpul”, 70% uang berputar, multi etnik,
multi agama, kota tua dalam sejarah panjang Indonesia, masih ada
“sedikit” penduduknya masih berfikir kolot, rasial, diskriminasi,
bias gender. Tuntutan agar Lurah Lenteng Agung “diberhentikan”
dengan alasan “perempuan dan beragama Protestan”. Tuntutan
“mundur” dibumbuhi cerita tanda tangan dan KTP dan disampaikan
kepada Jokowi dan Ahok.
Saya masih sulit menerima
usulan itu. Selain karena praktis Indonesia yang mempunyai sejarah
panjang terhadap berbagai budaya dunia (China, India, Arab) termasuk
agama (Islam, Kristen, Hindu dan Budha), pemikiran ini
sungguh-sungguh “berbahaya”.
Pemikiran “radikal”
dan rasial terhadap golongan tertentu selain akan menyebarkan
bibit-bibit dan ancaman “perpecahan”, cara ini bertentangan
dengan ajaran islam itu sendiri.
Saya tidak menduga itu
masih terjadi di Kota Jakarta.
Di berbagai daerah di
Indonesia, sikap toleransi sudah banyak kita temukan. Masyarakat
berbagai pelosok sudah berbaur sehingga saling mempengaruhi. Berbagai
kebudayaan sudah saling melengkapi dan masih banyak kita temukan.
Bahkan berbagai mesjid malah dipengaruhi budaya China.
Begitu juga pertemuan
antara agama satu dengan lain sering mewarnai pesta-pesta adat di
berbagai daerah.
Issu rasial di Jakarta,
mengingatkan kasus Rhoma Irama. Dengan mengutip sebuah ayat, Rhoma
Irama “mengajak” agar tidak memilih dengan alasan “tidak
seiman”.
Rhoma Irama kemudian
keseleo lidah. Semangat berapi-api dan tuduhan kepada Ahok melebar
kepada tuduhan kepada Jokowi. Jokowi “difitnah” sebagian
keluarganya tidak beragama islam.
Rhoma Irama beralasan
mendapatkan sumber dari dunia maya. Setelah didesak, Rhoma Irama
tidak bisa memastikan dari link yang menyebarkan berita itu. Dan
suara media kemudian menyalahkan Rhoma Irama yang tidak melakukan
klarifikasi terhadap berita itu.
Jokowi dengna santai
menjelaskan tentang tuduhan Rhoma Irama. Bahkan dengan cengar-cengir,
Jokowi mengakui sebagai pengagum Rhoma Irama. Dengan fasih dengan
menyanyikan lagu Rhoma Irama seperti “begadang”. Satu kosong
untuk Jokowi
Issu ini kemudian panas
dan menyeret Rhoma Irama ke Panwaslu. Walaupun tidak bersalah, namun
issu ini kemudian melebar dan membuat Rhoma Irama harus mengakui
“suara publik”.
Reaksi terhadap Rhoma
Irama begitu keras. Tuntutan agar Rhoma Irama meminta maaf membuat
Rhoma Irama harus mengakui kesalahannya.
Pertentangan terhadap
Rhoma Irama kemudian menimbulkan pertanyaan. Apakah kita memilih
karena kita seiman ? Atau kita memilih karena “prestasi” ?
Suara publik kemudian
“cerdas” dengan tidak mengikuti ajakan Rhoma Irama. Jokowi dan
Ahok menang di Pilkada Jakarta. Dua kosong untuk Jokowi.
Entah karena Jokowi
“ingin” membuktikan prestasi kerja daripada issu, Jokowi kemudian
“memerintahkan” pegawai di DKI menggunakan pakaian betawi pada
hari tertentu kerja. Seruan ini ternyata mendapatkan dukungan luas.
Sehingga dukungan Jokowi terus mengalir. Tiga kosong untuk Jokowi.
Kekesalan Rhoma Irama
tidak selesai. Seakan-akan “masih dendam” dengan alasan dia
menyampaikan “kebenaran” kemudian dia minta maaf, ajakan Rhoma
Irama terus berulang-ulang di berbagai forum. Termasuk forum Metro TV
di acara “Mata Najwa”.
Ajakan Rhoma Irama
merupakan pemikiran yang sudah tidak tepat disampaikan. Entah
bermaksud menjelaskan dengan menggunakan ayat-ayat Al Qur-an, ajakan
Rhoma Irama dibalas di media massa. Berita Rhoma Irama kemudian
selalu ditempelkan berita tentang “urusan pribadi” Rhoma Irama.
Baik tentang perkawinan yang berujung perceraian, issu dengan
perempuan cantik, issu tentang “apartemen” yang “digebrek”
Yatti Octavia hingga tema Poligami. Ajakan Rhoma Irama “kurang
mendapatkan” dukungan publik.
Kembali ke cerita tentang
“penolakan” masyarakat Lenteng Agung terhadap Lurah Lenteng
Agung. Issu ini harus cepat “diberesin”. Pemerintah harus tegas
untuk menyelesaikannya. Peristiwa ini salah satu “ujian” penting
dalam persoalan kebangsaan.
Jokowi diharapkan
bertindak cepat, obyektif, tidak terjebak dengan issu sesat dan
berfikir ke depan. Salah mengambil langkah tidak akan berdampak buruk
kepada Pemerintahan Jokowi tapi akan meninggalkan “bibit”
perpecahan.
Jangan terjebak dengan
cara pemerintahan SBY dalam kasus intoleransi dan kekerasan agama.
“lambat”, berhitung politik bahkan cenderung “membiarkan”
kekerasan atas nama agama. Berbagai peristiwa “berbau” agama
seperti pelarangan ibadah, penutupan tempat ibadah, kekerasan
terhadap pemeluk agama bahkan penyingkiran (relokasi) kelompok syiah
membuat Indonesia berada dalam jurang “kehancuran”.
Jokowi bisa “merasakan”
toleransi beragama seperti di Solo atau Yogyakarta. “Suasana” ini
dapat ditularkan di Jakarta.
Indonesia sudah terbukti
“melewati” persoalan kebangsaan tanpa sekat-sekat agama.
Terlalu hina sebagai
bangsa, Indonesia hanya “mempersoalkan” agama yang mengabaikan
kemanusiaan. Pandangan kita tentang agama akan diukur bagaimana kita
memandang kemanusiaan. Dan setiap peristiwa di Indonesia telah
mengajarkan kita setiap hari tentang arti kemanusiaan.