Mencermati
Public Hearing RUU Advokat
Setelah rapat di
DPC PERADI Jambi sabtu kemarin, penulis berkesempatan menghadiri undangan
Public Hearing RUU Advokat di Lantai 2 Gedung Nusantara DPR-RI. Kesempatan ini
penulis tidak sia-siakan dan ingin mendengarkan “suasana kebathinandi DPR
didalam membahas RUU Advokat.
RUU Advokat
kemudian “memantik” perdebatan filosofis, sosiologis dan yuridis. Dalam ranah
filosofis, menjadi persoalan ketika RUU Advokat diusulkan oleh DPR-RI
menimbulkan “suasana heboh” karena tidak menjadi kebutuhan dari Advokat itu
sendiri. Naskah akademik yang disodorkan oleh DPR-RI sama sekali tidak menjawab
kebutuhan akan advokat. Sedangkan dari sisi lain, apakah relevan membicarakan
UU yang masih seumur jagung ? (UU No. 18 Tahun 2003).
Dari ranah
sosiologis, RUU Advokat menimbulkan suasana “penolakan” terhadap RUU itu
sendiri. Organisasi Advokat seperti Peradi, Ikadin dan HAPI yang diundang hadir
pada public hearing justru menolak RUU. Kesemua organisasi itu dengan tegas
menyatakan UU No. 18 Tahun 2003 masih relatif baik dan dapat menjadi sandaran
penting membicarakan advokat.
Sedangkan dari
sisi yuridis, perdebatan muncul didalam menafsirkan pasal-pasal RUU Advokat.
Konsepsi seperti “Dewan Advokat Nasional” yang mirip dengan lembaga-lembaga negara
seperti KY, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, keanggotan melalui fit dan
propertest seperti yang terjadi selama ini justru salah kaprah. Advokat sama
seperti profesi lainnya seperti notaris, dan dokter harus diatur oleh mereka
sendiri. Belum lagi singkronisasi RUU Advokat dengan RUU KUHAP, RUU Kepolisian,
RUU Kejaksaan dan RUU Mahkamah Agung.
Namun yang
menarik perhatian penulis selain kajian yang telah dijelaskan, ada beberapa
peristiwa yang menggambarkan bagaimana suasana public hearing RUU Advokat.
Namun untuk menyegarkan ingatan terhadap UU Advokat, penulis akan kilas balik
bagaiman pergumulan UU di MK.
Pertama. UU
Advokat salah satu UU yang banyak diuji di MK. Lihat Tabel
NO
|
NAMA PEMOHON
|
PASAL YANG DIUJI
|
NO. PERKARA
|
PUTUSAN
|
1
|
Asosiasi Penasehat
Hukum dan Hak Asasi Manusia (APHI), Hotma Timbul, SH, Saor Siagian, SH,
Mangapul Silalahi, SH, Piterson Tanos, SH, Jon B Sipayung, SH, Ester I Jusuf,
SH, Charles Hutabarat, SH, Norma Endawati, SH, Reinhart Parapat, SH, Basir
Bahuga, SH
|
Pasal 3 ayat (1)
huruf d, Pasal 32 ayat (3)
|
019/PUU-I/2003
|
DITOLAK
|
2
|
Tongat, SH,
M.Hum, Sumali, SH, M.Hum, A.Fuad, SH, M.Si
|
Pasal 31
|
006/PUU-II/2004
|
DIKABULKAN
|
3
|
A Wahyu
Purwarna, SH, MH, M Widhi Datu Wicaksono, SH, A Dhatu Haryo Yudo, SH,
Mohammad Sofyan, SH
|
Pasal 32 ayat
(1)
|
009/PUU-IV/2006
|
TIDAK DAPAT
DITERIMA
(niet
onvankelijk verklaard)
|
4
|
H. Sudjono, SH,
Drs. Artono, SH, MH, Ronggur Hutagalung, SH, MH
|
Pasal 1 ayat (1)
dan ayat [4], Pasal 28 ayat (1) dan [3], Pasal 32 ayat (4)
|
014/PUU-IV/2006
|
DITOLAK
|
5
|
Fatahilah Hoed,
SH
|
Pasal 32 ayat
(3)
|
015/PUU-IV/2006
|
TIDAK DAPAT
DITERIMA
(niet
onvankelijk verklaard)
|
6
|
HF Abraham Amos,
SH, Djamhur, SH, Drs. Rizki Hendra Yoserizal, SH
|
Pasal 2 ayat
(1), ayat (2), ayat (3), Pasal 3 ayat (1) huruf f, Pasal 4 ayat (1) &
ayat (3), Pasal 5 ayat (1), Pasal 12 ayat (1] dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1)
|
101/PUU-VII/2009
|
DIKABULKAN
SEBAGIAN
|
7
|
Frans Hendra
Winarta, Bob P Nainggolan, Maruli Simorangkir, Murad Harahap, Lelyana
Santosa, Nursyahbani Katjasungkana, David Abraham, Firman Wijaya, SF Marbun
|
Pasal 28 ayat
(1), Pasal 30 ayat (2), Pasal 32 ayat (4)
|
66/PUU-VIII/2010
|
DITOLAK
|
8
|
HF Abraham Amos,
Djamhur, Togar Efdont Sormin, Harisan Aritonang, Edi Prastio
|
Pasal 28 ayat
(1) dan Pasal 32 ayat (3) dan ayat (4)
|
71/PUU-VIII/2010
|
DITOLAK
|
9
|
Husen Pelu, SH,
Andrijana, Psi, SH, Abdul Amin Monoarfa, SH, Nasib Bima Wijaya, SH, S Fiil,
Siti Hajijah, SH, R Moch Budi Cahyono, SH, Joni Irawan, SH, Supriadi Budi
Susanto, SH
|
Pasal 28 ayat
(1)
|
79/PUU-VIII/2010
|
DITOLAK
|
Kedua. Dari
banyaknya putusan MK terhadap UU Advokat, pertimbangan putusan MK No. 14
014/PUU-IV/2006 layak menjadi bahan bacaan untuk melihat UU Advokat.
Didalam Putusan
MK Pertimbangan Mahkamah Konstitusi antara lain
(1) Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 tidak
mengandung persoalan konstitusionalitas karena hanya memuat definisi atau
pengertian sebagaimana lazimnya dalam ketentuan umum suatu undang-undang;
ketentuan tersebut juga tidak merujuk bahwa nama Organisasi Advokat yang
didirikan menurut UU Advokat harus bernama Organisasi Advokat. (2) Kedelapan organisasi advokat pendiri PERADI
tetap memiliki kewenangan selain kewenangan yang telah menjadi kewenangan
PERADI sehingga tidak dapat dikatakan bahwa Pasal 28 ayat (1) UU Advokat
meniadakan eksistensi kedelapan organisasi, yang karenanya melanggar prinsip
kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana diatur UUD. (3) Pasal 5 ayat (1)
UU Advokat yang memberikan status kepada Advokat sebagai penegak hukum yang
mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum
dan keadilan menunjukkan bahwa karena kedudukannya itu diperlukan suatu
organisasi yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) UU Advokat. (4) Mengenai larangan rangkap
jabatan yang tercantum dalam Pasal 28 ayat 3) UU Advokat tidak ada persoalan
konstitusionalitas melainkan sebagai konsekuensi logis pilihan atas suatu
jabatan tertentu. (5) Pasal 32 ayat (3)
dan ayat (4) UU Advokat sesungguhnya merupakan pasal yang sudah selesai dilaksanakan
dengan berlalunya tenggat dua tahun dan dengan telah terbentuknya PERADI
sehingga tidak relevan lagi untuk dipersoalkan konstitusionalitasnya. (6) Masalah heregristasi advokat yang
dilakukan oleh PERADI merupakan kebijakan dan/atau norma organisasi yang tidak
ada kaitannya dengan konstitusionalitas tidaknya UU Advokat.
Namun yang
paling penting, MK sudah menegaskan “maka organisasi PERADI sebagai
satu-satunya wadah profesi Advokat pada dasarnya adalah organ negara dalam arti
luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan
fungsi negara
Kembali ke
suasana public hearing. Otto Hasibuan sebagai Ketua Umum PERADI menyampaikan
dengan tegas. Persoalan PERADI sebenarnya berkaitan dengan berbagai persoalan
personal yang kemudian dikemas menjadi persoalan politik. Komitmen PERADI yang
merekrut advokat melalui mekanisme yang ketat, transparan dan “zero toleransi”
diakui berbagai kalangan. Berbagai negara kemudian “mengadopsi” mekanisme yang
dijalankan oleh PERADI. Berbagai surat-surat dukungan dari dunia mengakui
komitmen PERADI didalam merekrut Advokat. Dengan panjang lebar, Otto membacakan
berbagai surat dari berbagai belahan dunia mengagumi mekanisme PERADI didalam
merektut Advokat.
Mekanisme yang
dilakukan oleh PERADI terhadap perekrutan advokat didasarkan kepada model yang
digunakan di negara Amerika. PERADI hanya menyerahkan berbagai model ujian
kepada pihak ketiga. Jumlah cukup banyak banyak. Sekitar 1200 soal. Model ujian
inilah yang kemudian dikenal sebagai “bank soal”. Melalui sistem komputerasi,
soal-soal kemudian diacak dan kemudian ditentukan sekitar 200 soal yang diuji.
Selama proses pengacakan dan proses soal yang akan diujikan, PERADI sama sekali
tidak terlibat. PERADI hanya memberikan skor berdasarkan standar untuk menjadi
advokat. Dengan mekanisme skor, pihak penguji kemudian mengeluarkan standar
nilai yang telah ditentukan.
Cara ini
kemudian berhasil menghilangkan kecurangan dan tuduhan kepada PERADI didalam
merekrut advokat. Dalam berbagai periode ujian yang telah dilakukan, segelintir
yang mampu lulus dengan baik.
Sebagai contoh.
Untuk tahun 2013, di Jambi yang mengikuti 65 orang. Namun yang lulus cuma 8
orang. Sehingga bisa dipastikan, mereka yang lulus sudah melewati berbagai
ujian yang ketat.
Cara dan
mekanisme inilah yang kemudian membuat “sebagian resah”. Berbagai nama-nama
yang dititipkan kepada Otto agar diluluskan ternyata tidak dapat dipenuhi oleh
Otto. Ada mantan Hakim Agung dan mantan Hakim Konstitusi yang langsung mau jadi
advokat tanpa mengikuti ujian dari PERADI. Ada mantan petinggi Kepolisian dan
kejaksaan. Bahkan ada senior advokat yang menitipkan 15 orang stafnya untuk
diangkat menjadi Advokat. Semuanya tidak dapat dipenuhi oleh Otto. Bahkan Otto
sendiripun juga menyampaikan kejadian yang menimpa dirinya. Adik iparnya
sendiripun tidak lulus dari ujian PERADI.
Sikap dan
komitmen PERADI inilah menjadi bibit untuk “mempersoalkan” UU Advokat. Tanpa
menyebutkan nama, Otto menyampaikan kisah sedihnya di depan DPR. Dan penulis
merasakan suasana pengajuan RUU Advokat dilandasi dan semata-mata ingin
menghancurkan Advokat.
Multi Bar Atau
Single Bar
Perdebatan mulai
muncul di publik hearing DPR. PERADIN yang digawangi oleh Frans Hendra Wijaya
menyampaikan agar RUU Advokat harus mengadopsi terhadap Multi Bar Assosication.
Secara harfiah menurut Frans Hendra Wijaya, agar tidak dibenarkan adanya
organisasi tunggal di alam demokrasi. Literatur digunakan dilihat di Belanda
dan Jepang.
Penulis bingung.
Apakah pemikiran ini masih relevan untuk dibicarakan ? Pertama. Dalam
pembahasan pengajuan RUU Advokat tahun 2002, hampir semua praktisi hukum
sepakat agar adanya organisasi tunggal advokat. Berbagai dokumen menunjukkan,
keinginan organisasi tunggal karena adanya satu kode etik advokat. Selain itu
juga, sebagai bagian dari sistem peradilan pidana yang terintegrasi (integrated
criminal justice system), maka posisi advokat sebagai penegak hukum
disejajarkan dengan kepolisian, kejaksaan, Pengadilan yang biasa dikenal
sebagai “catur wangsa'. Bagaimana menegakkan hukum, apabila advokat yang
terbelah dibandingkan dengan kepolisian, kejaksaan dan Pengadilan ? Suasana
inilah yang kemudian melahirkan UU Advokat yang mengamanatkan agar adanya
organisasi tunggal.
Dengan tangkas
Otto menjelaskan panjang lebar terhadap pilihan Belanda dan Jepang menggunakan
Multi Bar Assosiation. Di Negara Belanda, ada perbedaan antara Konsultan Hukum
dan Advokat. Sehingga keduanya tidak dimungkinkan dalam satu wadah. Bandingkan
dengan UU Advokat yang dengan tegas menyatakan hanya mengenal Advokat dimana
pekerjaan konsultasi hukum bagian dari pekerjaan advokat.
Berbeda di
Amerika dengan sistem hukum Anglo Saxon. Ada Hukum nasional dan ada hukum
Federal. Masing-masing mempunyai
asosiasi yang kemudian dikenal dalam Multi Bar Assosiasi.
Sedangkan di
Jepang sendiri, Otto mengeluarkan surat dari Association Jepang yang dengan
panjang lebar memaparkan pilihan mereka sebagai single bar Association.
Dengan melihat
alasan yang disampaikan oleh Frans Hendra Wijaya, maka pemikiran ini hanya pemikiran
dalam ranah akademis yang telah dijawab oleh UU Advokat dan sudah mengalami
berbagai putusan MK memperkuatnya. Sehingga pemikiran ini sudah terbantahkan
baik didalam UU Advokat itu sendiri maupun pandangan konstitusi melalui putusan
MK.
Melihat dinamika
pergumulan publik hearing, maka menurut penulis, pengajuan RUU Advokat tidak
didasarkan kepada kebutuhan dari advokat, lemah dari substansi, hikuk pikuk
menjelang pemilu. Tanpa mengurangi semangat optimis yang disampaikan dalam
orasi politik Otto Hasibuan sebagai Ketua Umum Peradi, penulis beranggapan RUU
Advokat masih dimungkinkan untuk dibatalkan. “Tausiah” dari Trimedya Panjaitan
(PDI-P) yang meminta kepada PERADI membangun komunikasi politik di DPR menarik
untuk dilakukan oleh PERADI. Trimedya Panjaitan justru menantang kepada Anggota
DPR berlatar belakang advokat agar kembali ke semangat awal. Menjaga UU Advokat
agar melindungi Advokat. Bukan menghancurkan Advokat.