Catatan Kecil Kasus di
Manado
Sudah lama Sang Suami
merindukan kelahiran putra keduanya. Sang Istri Julia Fransiska
Makatey (25) mengabarkan sudah hamil. Dengan metode “SIAGA”,
konsep kesehatan yang melibatkan peran suami yang
didengung-dengungkan Pemerintah telah dijalankan. Berbagai rangkaian
imunisasi, pemeriksaan secara berkala, menjaga kesehatan, mengatur
asupan gizi dan berbagai metode lainnya yang bertujuan untuk
memberikan kepastian kesehatan sang istri dan bayi dalam kandungan.
Namun apa daya. Sang
istri kemudian meninggal. Sang Bayi memang berhasil diselamatkan.
Namun kepergian sang istri yang telah memberikan putra keduanya tidak
dapat menemani sang suami menikmati kebahagian.
Sang Suami tertegun. Apa
memang sudah suratan ?. Atau memang ada kelalaian ? Sang Suami
pasrah.
Namun hukum tidak
membiarkan keadaan yang menimpa sang suami. Hukum harus menjawabnya.
Polemik inilah yang
kemudian bergulir di tengah publik. Ketika Sang Dokter dinyatakan
bersalah oleh Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi, rekan sejawat sang
dokter mengadakan aksi besar-besaran. Mereka mengancam aksi di
seluruh Indonesia. Baik dengan seruan resmi seperti “Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) maupun aksi serentak di berbagai daerah.
Persoalan timbul. Apakah
hukum sudah mampu menjawabnya ? Apakah sudah tepat ketika MA
menyatakan sang dokter bersalah dan menghukum penjara.
Untuk menjawabnya maka
penulis akan mencoba menarik benang merah agar bacaan publik terhadap
putusan MA dan aksi dokter Indonesia dalam proporsi seimbang.
Pertama. Dari berbagai
pemberitaan di berbagai media massa, tuduhan serius terhadap ketiga
orang dokter tidak main-main. Mereka dianggap “lalai”
sehingga mengakibatkan kematian terhadap orang lain. Tuduhan ini
selain akan berdampak terhadap posisi kasus itu sendiri juga akan
mengakibatkan proses etika kepada sang dokter.
Kedua. Sebagai sebuah
profesi, maka proses etika dapat dijatuhkan kepada sang dokter.
Pertanyaan penting dan sering menjadi perdebatan adalah proses etika.
Sebagai sebuah kajian etika, maka harus dipastikan. Apakah sang
Dokter telah melakukan kewajibannya ? Apakah Sang dokter tidak
melakukan yang seharus dilakukannya ? Apakah sang dokter melakukan
perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan ? Pertanyaan kunci inilah
yang dapat membuka tabir misteri untuk membaca putusan MA dan polemik
yang diteriakkan oleh kalangan dokter.
Ketiga. Berbagai
peristiwa yang telah disampaikan oleh media massa dan putusan MA,
maka kita dapat membedah kasus ini dengan cukup jernih.
Pada tanggal 10 April
2010, Korban, Julia Fransiska Makatey (25) merupakan wanita yang
sedang hamil anak keduanya. Ia masuk ke RS Dr Kandau Manado atas
rujukan puskesmas. Pada waktu itu, ia didiagnosis sudah dalam tahap
persalinan pembukaan dua.
Namun setelah delapan jam
masuk tahap persalinan, tidak ada kemajuan dan justru malah muncul
tanda-tanda gawat janin, sehingga ketika itu diputuskan untuk
dilakukan operasi caesar darurat. "Saat itu terlihat tanda
tanda gawat janin, terjadi mekonium atau bayi mengeluarkan feses saat
persalinan sehingga diputuskan melakukan bedah sesar,"
Tapi yang terjadi menurut
dr Nurdadi, pada waktu sayatan pertama dimulai, pasien mengeluarkan
darah yang berwarna kehitaman. Dokter menyatakan, itu adalah tanda
bahwa pasien kurang oksigen.
"Tapi setelah itu
bayi berhasil dikeluarkan, namun pasca operasi kondisi pasien semakin
memburuk dan sekitar 20 menit kemudian, ia dinyatakan meninggal
dunia,"
Tanggal 15 September
2011, Atas kasus ini, tim dokter yang terdiri atas dr Ayu, dr Hendi
Siagian dan dr Hendry Simanjuntak, dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU)
hukuman 10 bulan penjara karena laporan malpraktik keluarga korban.
Namun Pengadilan Negeri (PN) Manado menyatakan ketiga terdakwa tidak
bersalah dan bebas murni.
"Dari hasil
otopsi ditemukan bahwa sebab kematiannya adalah karena adanya emboli
udara, sehingga mengganggu peredaran darah yang sebelumnya tidak
diketahui oleh dokter. Emboli udara atau gelembung udara ini ada pada
bilik kanan jantung pasien. Dengan bukti ini PN Manado memutuskan
bebas murni.
Tapi ternyata kasus ini
masih bergulir karena jaksa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung yang
kemudian dikabulkan.
18 September 2012
Dr. Dewa Ayu dan dua
dokter lainnya yakni dr Hendry Simanjuntak dan dr Hendy Siagian
akhirnya masuk daftar pencarian orang (DPO).
Tak lama kemudin berhasil
ditangkap Dr. Dewa Ayu dan Dr. Hendry Simanjuntak.
Keempat. Pertanyaan
timbul apakah konsentrasi kita hanya berkaitan dengan persoalan medis
“emboli” semata atau memang ada proses penangan prosedural yang
tidak maksimal ? (untuk sementara penulis masih menggunakan istilah
“tidak maksimal”. Belum sampai menggunakan istilah
“kelalaian” ataupun “malpraktek” ?)
Dalam proses di
Persidangan di Pengadilan Negeri Manado, semua dalil-dalil ini sudah
pasti diperjuangkan oleh ketiga dokter. Dalil-dalil ini sudah
dipertimbangkan oleh Pengadilan Negeri Manado dan putusan Pengadilan
Negeri Manado menerimanya yang ditandai dengan putusan bebas kepada
ketiga terdakwa.
Namun terhadap putusan
ini oleh MA ternyata tidak sesuai dengan penerapan hukum (judex
jurist).
Menarik pertimbangan MA
sebelum memutuskan perkaranya. Berdasarkan kronologis, masuknya
korban ke RS Dr Kandau Manado pukul 09.00 wita dan “lambatnya”
penanganan korban pada pukul 18.00 wita merupakan salah satu pintu
untuk membuka misteri kematian korban. Padahal Dr. DEWA AYU SASIARY
PRAWANI sudah melaporkan ketuban pasien/ korban sudah dipecahkan di
Puskesmas dan jika ketuban sudah pecah berarti air ketuban sudah
keluar semua.
Dr. DEWA AYU SASIARY
PRAWANI sebagai ketua residen yang bertanggung jawab saat itu tidak
mengikuti seluruh tindakan medis beserta rekam medis termasuk tidak
mengetahui tentang pemasangan infus yang telah dilakukan terhadap
korban.
Setelah pukul 18.30 WITA
tidak terdapat kemajuan persalinan pada korban, Dr. DEWA AYU SASIARY
PRAWANI melakukan konsul dengan konsulen jaga dan setelah mendapat
anjuran, Dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI mengambil tindakan untuk
dilakukan CITO SECSIO SESARIA, kemudian Dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI
menginstruksikan kepada saksi dr. HELMI untuk membuat surat konsul
ke bagian anestesi dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah
pemeriksaan darah lengkap dan setelah mendapat jawaban konsul dari
saksi dr. HERMANUS JAKOBUS LALENOH, Sp.An. yang menyatakan bahwa pada
prinsipnya setuju untuk dilaksanakan pembedahan dengan anestesi
resiko tinggi, oleh karena ini adalah operasi darurat maka mohon
dijelaskan kepada keluarga resiko yang bisa terjadi sebelum operasi
atau usai operasi.
Dr. Hendy Siagian”
yang menerima tugas dari dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI untuk
memberitahukan kepada keluarga pasien/ korban tetapi ternyata hal
tersebut tidak dilakukan oleh Dr.
Hendy Siagian. Dr. Hendy Siagian menyerahkan "informed
consent"/ lembar persetujuan tindakan kedokteran tersebut kepada
korban yang sedang dalam posisi tidur miring ke kiri dan dalam
keadaan kesakitan dengan dilihat oleh dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI
(bahkan juga diketahui oleh Dr Helmi). Kemudian Jaksa Penuntut
Umum berhasil memaparkan fakta ternyata tanda tangan yang tertera di
dalam lembar persetujuan tersebut adalah tanda tangan karangan sesuai
dengan hasil pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik pada tanggal 09
Juni 2010 NO.LAB. : 509/DTF/2011. Dengan
demikian maka dokumen bukti adalah tanda tangan karangan/ "Spurious
Signature".
Selanjutnya korban dibawa
ke kamar operasi pada waktu kurang lebih pukul 20.15 WITA dalam
keadaan sudah terpasang infus dan pada pukul 20.55 WITA dr. DEWA AYU
SASIARY PRAWANI sebagai operator mulai melaksanakan operasi terhadap
korban dengan dibantu oleh dr. HENDRY SIMANJUNTAK sebagai asisten
operator I (satu) dan dr. HENDY SIAGIAN sebagai asisten operator II
(dua).
Bahwa selama pelaksanaan
operasi kondisi nadi korban 160 (seratus enam puluh) x per menit dan
saat sayatan pertama mengeluarkan darah hitam sampai dengan selesai
pelaksanaan operasi, kemudian pada pukul 22.00 WITA setelah operasi
selesai dilaksanakan kondisi nadi korban 180 (seratus delapan puluh)
x per menit dan setelah selesai operasi baru dilakukan pemeriksaan
EKG/ periksa jantung oleh bagian penyakit dalam.
Berdasarkan fakta
kemudian 30 menit sebelum pelaksanaan operasi sudah terdapat 35 cc
udara di dalam tubuh korban.
Bahwa pada saat
pelaksanaan operasi, dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI melakukan sayatan
sejak dari kulit, otot, uterus serta rahim dan pada bagian-bagian
tersebut terdapat pembuluh darah yang sudah pasti ikut terpotong dan
saat bayi lahir, plasenta keluar/ terangkat sehingga pembuluh darah
yang berhubungan dengan plasenta yaitu pembuluh darah arteri dan
pembuluh darah balik terbuka dan udara bisa masuk dari plasenta.
Kemudian berdasarkan
hasil Visum et Repertum disebutkan bahwa udara yang ditemukan pada
bilik kanan jantung korban, masuk melalui pembuluh darah balik yang
terbuka pada saat korban masih hidup. Pembuluh darah balik yang
terbuka pada korban terjadi pada pemberian cairan obat-obatan atau
infus, dan dapat terjadi akibat komplikasi dari persalinan itu
sendiri.
Sebab kematian si korban
adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan jantung yang
menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi
paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung
Kelima. Dengan
fakta-fakta yang dipertimbangkan oleh MA, MA kemudian menyatakan
terdakwa lalai untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak
melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada
situasi dan kondisi yang tertentu.
Terdakwa telah melakukan
penyimpangan kewajiban. Terdakwa telah menimbulkan kerugian dengan
tindakan kedokteran yang telah dilakukan oleh Terdakwa terhadap
korban.
Terdakwa telah
menimbulkan suatu hubungan sebab akibat yang nyata yaitu terdapatnya
tindakan kedokteran dari Para Terdakwa dengan suatu keadaan korban
yang dikatakan darurat sejak tidak terdapat kemajuan persalinan pada
pukul 18.30 WITA.
Tetapi yang seharusnya
sejak korban datang dengan surat rujukan dari Puskesmas dan masuk ke
ruang Instalasi Rawat Darurat Obstetrik keadaan korban sudah dapat
dikatakan darurat. Kemudian sejak diketahuinya ketuban dari korban
yang telah pecah sejak di Puskesmas, rekam medis yang tidak dibuat
sepenuhnya dalam setiap tindakan medis yang dilakukan, pemasangan
infus dengan jenis obat yang tidak diketahui oleh Para Terdakwa
sampai dengan dikeluarkannya resep obat secara berulang kali hingga
ditolak oleh pihak apotik.
Tidak terdapatnya
koordinasi yang baik di dalam tim melakukan tindakan medis,
terdapatnya "25 informed consent"/ lembar persetujuan
tindakan kedokteran.
Tidak adanya tindakan
persiapan jika korban secara tiba-tiba mengalami keadaan darurat
seperti EKG/ pemeriksaan jantung baru dilakukan setelah korban
selesai dioperasi dengan kondisi gawat, yang seharusnya seluruh
tindakan medis dan tindakan kedokteran yang dilakukan oleh Terdakwa
Keenam. Dengan melihat
pertimbangan MA dan dihubungkan dengan perbuatan yang dilakukan oleh
terdakwa, maka sudah semestinya, IDI dan seluruh dokter Indonesia
kembali memeriksa apakah upaya yang dilakukan oleh dr. DEWA AYU
SASIARY PRAWANI telah dapat dipertanggungjawabkan secara medis.
Mekanisme ini harus dilakukan agar kasus ini tidak berulang kembali.
Ketujuh. Usulan telah
sesuai prosedur secara medik dan disampaikan dalam memori upaya
hukum Peninjauan Kembali (PK) melalui pembicaraan yang disampaikan
dalam berbagai media menurut penulis kurang relevan dilakukan.
Selain telah dipertimbangkan di tingkat kasasi, fakta ini tidak
menjadi bagian yang akan dipertimbangkan dalam PK.
Kedelapan. Alangkah
baiknya IDI sebagai induk organisasi dokter se Indonesia membentuk
tim investigasi menggali fakta-fakta yang mungkin luput dari
persidangan di Pengadilan Negeri Manado. Hasil investigasi kemudian
dibandingkan dengan putusan MA. Dari hasil analisis itulah yang
kemudian ditentukan langkah. Apakah memang Dr. DEWA AYU SASIARY
PRAWANI telah melakukan “kelalaian” dan memperbaiki SOP ? Atau
memang kekeliruan MA didalam melihat posisi kasus ini ?
Publik dengan cerdas akan
melihat hasil analisis tim investigasi.
Namun melakukan cara demo
tanpa menyentuh substansi persoalan itu sendiri, maka dengan mudah
publik akan menangkap kesan. Hanya melindungi rekan sejawat tanpa mau
dipersalahkan.
Yang pasti suami Julia
Fransiska Makatey menunggu kepastian. Apakah kepergian sang istri
memang suratan takdir atau adanya “kelalaian” didalam menolong
kelahiran sang putra kedua.