27 November 2013

opini musri nauli : Catatan Kecil Kasus di Manado



Catatan Kecil Kasus di Manado

Sudah lama Sang Suami merindukan kelahiran putra keduanya. Sang Istri Julia Fransiska Makatey (25) mengabarkan sudah hamil. Dengan metode “SIAGA”, konsep kesehatan yang melibatkan peran suami yang didengung-dengungkan Pemerintah telah dijalankan. Berbagai rangkaian imunisasi, pemeriksaan secara berkala, menjaga kesehatan, mengatur asupan gizi dan berbagai metode lainnya yang bertujuan untuk memberikan kepastian kesehatan sang istri dan bayi dalam kandungan.
Namun apa daya. Sang istri kemudian meninggal. Sang Bayi memang berhasil diselamatkan. Namun kepergian sang istri yang telah memberikan putra keduanya tidak dapat menemani sang suami menikmati kebahagian.

Sang Suami tertegun. Apa memang sudah suratan ?. Atau memang ada kelalaian ? Sang Suami pasrah.

Namun hukum tidak membiarkan keadaan yang menimpa sang suami. Hukum harus menjawabnya.

Polemik inilah yang kemudian bergulir di tengah publik. Ketika Sang Dokter dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi, rekan sejawat sang dokter mengadakan aksi besar-besaran. Mereka mengancam aksi di seluruh Indonesia. Baik dengan seruan resmi seperti “Ikatan Dokter Indonesia (IDI) maupun aksi serentak di berbagai daerah.

Persoalan timbul. Apakah hukum sudah mampu menjawabnya ? Apakah sudah tepat ketika MA menyatakan sang dokter bersalah dan menghukum penjara.

Untuk menjawabnya maka penulis akan mencoba menarik benang merah agar bacaan publik terhadap putusan MA dan aksi dokter Indonesia dalam proporsi seimbang.

Pertama. Dari berbagai pemberitaan di berbagai media massa, tuduhan serius terhadap ketiga orang dokter tidak main-main. Mereka dianggap “lalai” sehingga mengakibatkan kematian terhadap orang lain. Tuduhan ini selain akan berdampak terhadap posisi kasus itu sendiri juga akan mengakibatkan proses etika kepada sang dokter.

Kedua. Sebagai sebuah profesi, maka proses etika dapat dijatuhkan kepada sang dokter. Pertanyaan penting dan sering menjadi perdebatan adalah proses etika. Sebagai sebuah kajian etika, maka harus dipastikan. Apakah sang Dokter telah melakukan kewajibannya ? Apakah Sang dokter tidak melakukan yang seharus dilakukannya ? Apakah sang dokter melakukan perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan ? Pertanyaan kunci inilah yang dapat membuka tabir misteri untuk membaca putusan MA dan polemik yang diteriakkan oleh kalangan dokter.

Ketiga. Berbagai peristiwa yang telah disampaikan oleh media massa dan putusan MA, maka kita dapat membedah kasus ini dengan cukup jernih.

Pada tanggal 10 April 2010, Korban, Julia Fransiska Makatey (25) merupakan wanita yang sedang hamil anak keduanya. Ia masuk ke RS Dr Kandau Manado atas rujukan puskesmas. Pada waktu itu, ia didiagnosis sudah dalam tahap persalinan pembukaan dua.

Namun setelah delapan jam masuk tahap persalinan, tidak ada kemajuan dan justru malah muncul tanda-tanda gawat janin, sehingga ketika itu diputuskan untuk dilakukan operasi caesar darurat. "Saat itu terlihat tanda tanda gawat janin, terjadi mekonium atau bayi mengeluarkan feses saat persalinan sehingga diputuskan melakukan bedah sesar,"
Tapi yang terjadi menurut dr Nurdadi, pada waktu sayatan pertama dimulai, pasien mengeluarkan darah yang berwarna kehitaman. Dokter menyatakan, itu adalah tanda bahwa pasien kurang oksigen.
"Tapi setelah itu bayi berhasil dikeluarkan, namun pasca operasi kondisi pasien semakin memburuk dan sekitar 20 menit kemudian, ia dinyatakan meninggal dunia,"

Tanggal 15 September 2011, Atas kasus ini, tim dokter yang terdiri atas dr Ayu, dr Hendi Siagian dan dr Hendry Simanjuntak, dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) hukuman 10 bulan penjara karena laporan malpraktik keluarga korban. Namun Pengadilan Negeri (PN) Manado menyatakan ketiga terdakwa tidak bersalah dan bebas murni.
"Dari hasil otopsi ditemukan bahwa sebab kematiannya adalah karena adanya emboli udara, sehingga mengganggu peredaran darah yang sebelumnya tidak diketahui oleh dokter. Emboli udara atau gelembung udara ini ada pada bilik kanan jantung pasien. Dengan bukti ini PN Manado memutuskan bebas murni.

Tapi ternyata kasus ini masih bergulir karena jaksa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung yang kemudian dikabulkan.

18 September 2012
Dr. Dewa Ayu dan dua dokter lainnya yakni dr Hendry Simanjuntak dan dr Hendy Siagian akhirnya masuk daftar pencarian orang (DPO).

Tak lama kemudin berhasil ditangkap Dr. Dewa Ayu dan Dr. Hendry Simanjuntak.

Keempat. Pertanyaan timbul apakah konsentrasi kita hanya berkaitan dengan persoalan medis “emboli” semata atau memang ada proses penangan prosedural yang tidak maksimal ? (untuk sementara penulis masih menggunakan istilah “tidak maksimal”. Belum sampai menggunakan istilah “kelalaian” ataupun “malpraktek” ?)

Dalam proses di Persidangan di Pengadilan Negeri Manado, semua dalil-dalil ini sudah pasti diperjuangkan oleh ketiga dokter. Dalil-dalil ini sudah dipertimbangkan oleh Pengadilan Negeri Manado dan putusan Pengadilan Negeri Manado menerimanya yang ditandai dengan putusan bebas kepada ketiga terdakwa.

Namun terhadap putusan ini oleh MA ternyata tidak sesuai dengan penerapan hukum (judex jurist).

Menarik pertimbangan MA sebelum memutuskan perkaranya. Berdasarkan kronologis, masuknya korban ke RS Dr Kandau Manado pukul 09.00 wita dan “lambatnya” penanganan korban pada pukul 18.00 wita merupakan salah satu pintu untuk membuka misteri kematian korban. Padahal Dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI sudah melaporkan ketuban pasien/ korban sudah dipecahkan di Puskesmas dan jika ketuban sudah pecah berarti air ketuban sudah keluar semua.

Dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI sebagai ketua residen yang bertanggung jawab saat itu tidak mengikuti seluruh tindakan medis beserta rekam medis termasuk tidak mengetahui tentang pemasangan infus yang telah dilakukan terhadap korban.

Setelah pukul 18.30 WITA tidak terdapat kemajuan persalinan pada korban, Dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI melakukan konsul dengan konsulen jaga dan setelah mendapat anjuran, Dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI mengambil tindakan untuk dilakukan CITO SECSIO SESARIA, kemudian Dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI menginstruksikan kepada saksi dr. HELMI untuk membuat surat konsul ke bagian anestesi dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap dan setelah mendapat jawaban konsul dari saksi dr. HERMANUS JAKOBUS LALENOH, Sp.An. yang menyatakan bahwa pada prinsipnya setuju untuk dilaksanakan pembedahan dengan anestesi resiko tinggi, oleh karena ini adalah operasi darurat maka mohon dijelaskan kepada keluarga resiko yang bisa terjadi sebelum operasi atau usai operasi.

Dr. Hendy Siagian” yang menerima tugas dari dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI untuk memberitahukan kepada keluarga pasien/ korban tetapi ternyata hal tersebut tidak dilakukan oleh Dr. Hendy Siagian. Dr. Hendy Siagian menyerahkan "informed consent"/ lembar persetujuan tindakan kedokteran tersebut kepada korban yang sedang dalam posisi tidur miring ke kiri dan dalam keadaan kesakitan dengan dilihat oleh dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI (bahkan juga diketahui oleh Dr Helmi). Kemudian Jaksa Penuntut Umum berhasil memaparkan fakta ternyata tanda tangan yang tertera di dalam lembar persetujuan tersebut adalah tanda tangan karangan sesuai dengan hasil pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik pada tanggal 09 Juni 2010 NO.LAB. : 509/DTF/2011. Dengan demikian maka dokumen bukti adalah tanda tangan karangan/ "Spurious Signature".

Selanjutnya korban dibawa ke kamar operasi pada waktu kurang lebih pukul 20.15 WITA dalam keadaan sudah terpasang infus dan pada pukul 20.55 WITA dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI sebagai operator mulai melaksanakan operasi terhadap korban dengan dibantu oleh dr. HENDRY SIMANJUNTAK sebagai asisten operator I (satu) dan dr. HENDY SIAGIAN sebagai asisten operator II (dua).

Bahwa selama pelaksanaan operasi kondisi nadi korban 160 (seratus enam puluh) x per menit dan saat sayatan pertama mengeluarkan darah hitam sampai dengan selesai pelaksanaan operasi, kemudian pada pukul 22.00 WITA setelah operasi selesai dilaksanakan kondisi nadi korban 180 (seratus delapan puluh) x per menit dan setelah selesai operasi baru dilakukan pemeriksaan EKG/ periksa jantung oleh bagian penyakit dalam.

Berdasarkan fakta kemudian 30 menit sebelum pelaksanaan operasi sudah terdapat 35 cc udara di dalam tubuh korban.

Bahwa pada saat pelaksanaan operasi, dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI melakukan sayatan sejak dari kulit, otot, uterus serta rahim dan pada bagian-bagian tersebut terdapat pembuluh darah yang sudah pasti ikut terpotong dan saat bayi lahir, plasenta keluar/ terangkat sehingga pembuluh darah yang berhubungan dengan plasenta yaitu pembuluh darah arteri dan pembuluh darah balik terbuka dan udara bisa masuk dari plasenta.

Kemudian berdasarkan hasil Visum et Repertum disebutkan bahwa udara yang ditemukan pada bilik kanan jantung korban, masuk melalui pembuluh darah balik yang terbuka pada saat korban masih hidup. Pembuluh darah balik yang terbuka pada korban terjadi pada pemberian cairan obat-obatan atau infus, dan dapat terjadi akibat komplikasi dari persalinan itu sendiri.

Sebab kematian si korban adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung

Kelima. Dengan fakta-fakta yang dipertimbangkan oleh MA, MA kemudian menyatakan terdakwa lalai untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu.

Terdakwa telah melakukan penyimpangan kewajiban. Terdakwa telah menimbulkan kerugian dengan tindakan kedokteran yang telah dilakukan oleh Terdakwa terhadap korban.

Terdakwa telah menimbulkan suatu hubungan sebab akibat yang nyata yaitu terdapatnya tindakan kedokteran dari Para Terdakwa dengan suatu keadaan korban yang dikatakan darurat sejak tidak terdapat kemajuan persalinan pada pukul 18.30 WITA.

Tetapi yang seharusnya sejak korban datang dengan surat rujukan dari Puskesmas dan masuk ke ruang Instalasi Rawat Darurat Obstetrik keadaan korban sudah dapat dikatakan darurat. Kemudian sejak diketahuinya ketuban dari korban yang telah pecah sejak di Puskesmas, rekam medis yang tidak dibuat sepenuhnya dalam setiap tindakan medis yang dilakukan, pemasangan infus dengan jenis obat yang tidak diketahui oleh Para Terdakwa sampai dengan dikeluarkannya resep obat secara berulang kali hingga ditolak oleh pihak apotik.

Tidak terdapatnya koordinasi yang baik di dalam tim melakukan tindakan medis, terdapatnya "25 informed consent"/ lembar persetujuan tindakan kedokteran.
Tidak adanya tindakan persiapan jika korban secara tiba-tiba mengalami keadaan darurat seperti EKG/ pemeriksaan jantung baru dilakukan setelah korban selesai dioperasi dengan kondisi gawat, yang seharusnya seluruh tindakan medis dan tindakan kedokteran yang dilakukan oleh Terdakwa

Keenam. Dengan melihat pertimbangan MA dan dihubungkan dengan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa, maka sudah semestinya, IDI dan seluruh dokter Indonesia kembali memeriksa apakah upaya yang dilakukan oleh dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI telah dapat dipertanggungjawabkan secara medis. Mekanisme ini harus dilakukan agar kasus ini tidak berulang kembali.

Ketujuh. Usulan telah sesuai prosedur secara medik dan disampaikan dalam memori upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) melalui pembicaraan yang disampaikan dalam berbagai media menurut penulis kurang relevan dilakukan. Selain telah dipertimbangkan di tingkat kasasi, fakta ini tidak menjadi bagian yang akan dipertimbangkan dalam PK.

Kedelapan. Alangkah baiknya IDI sebagai induk organisasi dokter se Indonesia membentuk tim investigasi menggali fakta-fakta yang mungkin luput dari persidangan di Pengadilan Negeri Manado. Hasil investigasi kemudian dibandingkan dengan putusan MA. Dari hasil analisis itulah yang kemudian ditentukan langkah. Apakah memang Dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI telah melakukan “kelalaian” dan memperbaiki SOP ? Atau memang kekeliruan MA didalam melihat posisi kasus ini ?

Publik dengan cerdas akan melihat hasil analisis tim investigasi.

Namun melakukan cara demo tanpa menyentuh substansi persoalan itu sendiri, maka dengan mudah publik akan menangkap kesan. Hanya melindungi rekan sejawat tanpa mau dipersalahkan.

Yang pasti suami Julia Fransiska Makatey menunggu kepastian. Apakah kepergian sang istri memang suratan takdir atau adanya “kelalaian” didalam menolong kelahiran sang putra kedua.