Putusan MK tentang
Pemilihan Umum mengenai Caleg (Pileg) dan Pemilihan Presiden
(pilpres) sudah diketok. MK mengabulkan permohonan yang
disampaikan oleh Effendi Gazali yang menginginkan agar Pemilu
diadakan untuk Pileg dan Pilpres. Namun kemudian MK “memerintahkan”
agar putusan ini tidak dilaksanakan untuk tahun 2014. Tapi untuk
tahun 2019.
Membaca putusan MK ada
beberapa catatan hukum yang bisa dilihat. Catatan hukum dapat
“melihat” bagaimana MK memandang persoalan ini dilihat
dari konstitusi (UUD 1945).
Pertama. Terhadap
permohonan ini telah diperiksa oleh MK dengan Nomor
51-52-59/PUU-VI/2008. Didalam putusannya, MK sudah menyatakan ““Bahwa
terhadap Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 Mahkamah berpendapat bahwa hal
tersebut merupakan cara atau persoalan prosedural yang dalam
pelaksanaannya acapkali menitikberatkan pada tata urut yang tidak
logis atas dasar pengalaman yang lazim dilakukan. Apa yang disebut
dengan hukum tidak selalu sama dan sebangun dengan pengertian menurut
logika hukum apalagi logika umum. Oleh sebab itu, pengalaman dan
kebiasaan juga bisa menjadi hukum. Misalnya, Pasal 3 ayat (5)
berbunyi, ‘Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah
pelaksanaan Pemilu DPR, DPRD dan DPD’. Pengalaman yang telah
berjalan ialah Pemilu Presiden dilaksanakan setelah Pemilu DPR, DPD,
dan DPRD, karena Presiden dan/atau Wakil Presiden dilantik oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat [Pasal 3 ayat (2) UUD 1945], sehingga
Pemilu DPR dan DPD didahulukan untuk dapat dibentuk MPR. Lembaga
inilah yang kemudian melantik Presiden dan Wakil Presiden, oleh
karenanya harus dibentuk lebih dahulu. Sesungguhnya telah terjadi apa
yang disebut desuetudo atau kebiasaan (konvensi ketatanegaraan) telah
menggantikan ketentuan hukum, yaitu suatu hal yang seringkali terjadi
baik praktik di Indonesia maupun di negara lain. Hal ini merupakan
kebenaran bahwa “the life of law has not been logic it has been
experience’. Oleh karena kebiasaan demikian telah diterima dan
dilaksanakan, sehingga dianggap tidak bertentangan dengan hukum.
Dengan demikian maka kedudukan Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 adalah
konstitusional.”
Dengan melihat pertimbangan MK dan MK
sudah memutuskan, maka seharusnya “permohonan ini “seharusnya”
tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)
Hakim MK Maria Farida
yang memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion)
mendukung argumentasi yang telah disampaikan oleh penulis.
Dari ranah ini, penulis
merasa heran. Mengapa MK kemudian “tidak konsisten”
terhadap putusannya sendiri.
Dalam sejarah putusan MK
(tentu saja berdasarkan catatan penulis), baru kali ini MK
membatalkan putusannya sendiri.
Kedua. Walaupun putusan
MK telah mengabulkan permohonan dari pemohon, namun menurut penulis
menjadi persoalan ketika MK memutuskan “tidak dimintakan oleh
pemohon (ultra petita).
Walaupun banyak putusan
MK yang kemudian memutuskan “tidak dimintakan oleh pemohon
(ultra petita), namun dari berbagai putusan MK, penulis menangkap
“sense” dari berbagai putusan MK.
Pertimbangan hukum yang
menjunjung tinggi “keadilan substansif daripada keadilan
prosedural”, didalam pertimbangan dalam putusan ini tidak
ditemukan. Penulis kesulitan untuk “membaca jejak”
daripada “sense” keadilan substansif dalam putusan ini.
Ketiga. Putusan MK
Menangguhkan terhadap pelaksanaan putusan itu sendiri.
Walaupun MK sudah
mempertimbangkan pernah menerapkan putusan yang ditangguhkan dalam UU
Korupsi, namun dari “nuansa” ini MK mengedepankan keadilan yang
bersifat utility (kemanfaatan hukum).
Artinya MK
memperhitungkan apabila putusan ini dilaksanakan tahun 2014 maka
akan mengganggu jadwal dan tahap pemilu yang tinggal 80 hari. Jadwal
yang disusun akan berdampak secara serius dalam hukum ketatanegaraan.
Melihat catatan hukum
yang telah penulis sampaikan, maka menimbulkan persoalan didalam
prinsip hukum dan persoalan ketatanegaraan.
Prinsip pertama yang
menjadi persoalan didalam putusan MK yang kemudian membatalkan
putusan MK itu sendiri. Prinsip ini selain akan menimbulkan
ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) juga akan menurunkan
kredibilitas MK yang selama ini berhasil menjaga konstitusi didalam
melihat berbagai perundang-undangan.
Prinsip kedua. Putusan
ini menimbulkan persoalan ketika “keadilan substansif”
yang menjadi ciri khas dari MK tidak ditemukan didalam putusan ini.
Padahal dengan mengusung
tema besar “keadilan substansif” dan mampu menginspirasi
perkembangan hukum di Indonesia dengan mendorong “restoraktif
justice” kemudian bertabrakan (conflict of norm) dengan
kepastian hukum. Selain itu juga bertabrakan dengan prinsip “ultra
petita”.
Prinsip selanjutnya
“menangguhkan putusan” akan menimbulkan persoalan didalam
berbagai prinsip-prinsip hukum. Berbagai norma yang telah diatur
didalam UU MK justru menegaskan “putusan MK bersifat final dan
mengikat'. Bagaimana dengan klasifikasi kata “final”
apabila disandingkan dengan putusan yang mulai diterapkan untuk tahun
2019.
Dengan pendekatan
argumentasi yang telah penulis sampaikan, sehingga tidak salah banyak
pihak yang kesulitan “memahami” putusan MK. Kesulitan yang
didasarkan kepada “membaca” putusan MK yang kemudian
menganulir putusan MK itu sendiri. Kesulitan memahami tentang
“penangguhan” putusan MK. Kesulitan melihat putusan MK
yang mengabulkan putusan bukan diminta oleh pemohon (ultra
petita).
Tentu saja kesulitan itu
semakin “rumit” selain kita harus membaca putusan MK ini
harus berulang-ulang, putusan ini akan dilihat oleh para pencari
keadilan dan akan kesulitan memandang pandangan MK kedepan.