23 Januari 2014

opini musri nauli : CATATAN HUKUM PUTUSAN MK




Putusan MK tentang Pemilihan Umum mengenai Caleg (Pileg) dan Pemilihan Presiden (pilpres) sudah diketok. MK mengabulkan permohonan yang disampaikan oleh Effendi Gazali yang menginginkan agar Pemilu diadakan untuk Pileg dan Pilpres. Namun kemudian MK “memerintahkan” agar putusan ini tidak dilaksanakan untuk tahun 2014. Tapi untuk tahun 2019.

Membaca putusan MK ada beberapa catatan hukum yang bisa dilihat. Catatan hukum dapat “melihat” bagaimana MK memandang persoalan ini dilihat dari konstitusi (UUD 1945).

Pertama. Terhadap permohonan ini telah diperiksa oleh MK dengan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008. Didalam putusannya, MK sudah menyatakan ““Bahwa terhadap Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut merupakan cara atau persoalan prosedural yang dalam pelaksanaannya acapkali menitikberatkan pada tata urut yang tidak logis atas dasar pengalaman yang lazim dilakukan. Apa yang disebut dengan hukum tidak selalu sama dan sebangun dengan pengertian menurut logika hukum apalagi logika umum. Oleh sebab itu, pengalaman dan kebiasaan juga bisa menjadi hukum. Misalnya, Pasal 3 ayat (5) berbunyi, ‘Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan Pemilu DPR, DPRD dan DPD’. Pengalaman yang telah berjalan ialah Pemilu Presiden dilaksanakan setelah Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, karena Presiden dan/atau Wakil Presiden dilantik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat [Pasal 3 ayat (2) UUD 1945], sehingga Pemilu DPR dan DPD didahulukan untuk dapat dibentuk MPR. Lembaga inilah yang kemudian melantik Presiden dan Wakil Presiden, oleh karenanya harus dibentuk lebih dahulu. Sesungguhnya telah terjadi apa yang disebut desuetudo atau kebiasaan (konvensi ketatanegaraan) telah menggantikan ketentuan hukum, yaitu suatu hal yang seringkali terjadi baik praktik di Indonesia maupun di negara lain. Hal ini merupakan kebenaran bahwa “the life of law has not been logic it has been experience’. Oleh karena kebiasaan demikian telah diterima dan dilaksanakan, sehingga dianggap tidak bertentangan dengan hukum. Dengan demikian maka kedudukan Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 adalah konstitusional.”

Dengan melihat pertimbangan MK dan MK sudah memutuskan, maka seharusnya “permohonan ini “seharusnya” tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)

Hakim MK Maria Farida yang memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion) mendukung argumentasi yang telah disampaikan oleh penulis.

Dari ranah ini, penulis merasa heran. Mengapa MK kemudian “tidak konsisten” terhadap putusannya sendiri.

Dalam sejarah putusan MK (tentu saja berdasarkan catatan penulis), baru kali ini MK membatalkan putusannya sendiri.

Kedua. Walaupun putusan MK telah mengabulkan permohonan dari pemohon, namun menurut penulis menjadi persoalan ketika MK memutuskan “tidak dimintakan oleh pemohon (ultra petita).

Walaupun banyak putusan MK yang kemudian memutuskan “tidak dimintakan oleh pemohon (ultra petita), namun dari berbagai putusan MK, penulis menangkap “sense” dari berbagai putusan MK.

Pertimbangan hukum yang menjunjung tinggi “keadilan substansif daripada keadilan prosedural”, didalam pertimbangan dalam putusan ini tidak ditemukan. Penulis kesulitan untuk “membaca jejak” daripada “sense” keadilan substansif dalam putusan ini.

Ketiga. Putusan MK Menangguhkan terhadap pelaksanaan putusan itu sendiri.

Walaupun MK sudah mempertimbangkan pernah menerapkan putusan yang ditangguhkan dalam UU Korupsi, namun dari “nuansa” ini MK mengedepankan keadilan yang bersifat utility (kemanfaatan hukum).

Artinya MK memperhitungkan apabila putusan ini dilaksanakan tahun 2014 maka akan mengganggu jadwal dan tahap pemilu yang tinggal 80 hari. Jadwal yang disusun akan berdampak secara serius dalam hukum ketatanegaraan.

Melihat catatan hukum yang telah penulis sampaikan, maka menimbulkan persoalan didalam prinsip hukum dan persoalan ketatanegaraan.

Prinsip pertama yang menjadi persoalan didalam putusan MK yang kemudian membatalkan putusan MK itu sendiri. Prinsip ini selain akan menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) juga akan menurunkan kredibilitas MK yang selama ini berhasil menjaga konstitusi didalam melihat berbagai perundang-undangan.

Prinsip kedua. Putusan ini menimbulkan persoalan ketika “keadilan substansif” yang menjadi ciri khas dari MK tidak ditemukan didalam putusan ini.

Padahal dengan mengusung tema besar “keadilan substansif” dan mampu menginspirasi perkembangan hukum di Indonesia dengan mendorong “restoraktif justice” kemudian bertabrakan (conflict of norm) dengan kepastian hukum. Selain itu juga bertabrakan dengan prinsip “ultra petita”.

Prinsip selanjutnya “menangguhkan putusan” akan menimbulkan persoalan didalam berbagai prinsip-prinsip hukum. Berbagai norma yang telah diatur didalam UU MK justru menegaskan “putusan MK bersifat final dan mengikat'. Bagaimana dengan klasifikasi kata “final” apabila disandingkan dengan putusan yang mulai diterapkan untuk tahun 2019.

Dengan pendekatan argumentasi yang telah penulis sampaikan, sehingga tidak salah banyak pihak yang kesulitan “memahami” putusan MK. Kesulitan yang didasarkan kepada “membaca” putusan MK yang kemudian menganulir putusan MK itu sendiri. Kesulitan memahami tentang “penangguhan” putusan MK. Kesulitan melihat putusan MK yang mengabulkan putusan bukan diminta oleh pemohon (ultra petita).

Tentu saja kesulitan itu semakin “rumit” selain kita harus membaca putusan MK ini harus berulang-ulang, putusan ini akan dilihat oleh para pencari keadilan dan akan kesulitan memandang pandangan MK kedepan.