Akhir-akhir
ini kita menyaksikan “melodrama” yang semakin bingung.
Somasi Presiden kepada tiga orang (Rizal Ramli, Sri Mulyono dan
Fahri Hamzah) ternyata “tidak dianggap” oleh
ketiganya. Entah memang “ketiganya” bakal menjadi pahlawan
karena berhadapan dengan pemimpin tertinggi di Republik ini atau
memang mereka sadar “somasi” ternyata tidak berpengaruh
apapun terhadap ketiganya.
Penulis
berusaha menelusuri sikap yang diambil oleh Presiden untuk mengajukan
somasi. Dalam perkembangan demokrasi, hak ini bisa saja digunakan
oleh Presiden. Dan Presiden sebagai “pribadi” mempunya hak
untuk tersinggung” atau keberatan terhadap ketiganya. Baik
dengan tuduhan yang “tidak benar” ataupun karena memang
ketiganya menyampaikan “berita tidak benar”.
Melihat
“sikap” yang diambil Presiden, tuduhan dari ketiganya
memang serius. Sehingga kita bisa menangkap “kekesalan”
Presiden dengan tuduhan dari ketiganya.
Langkah
ini sebenarnya merupakan “jalan terakhir” setelah pasal-pasal
menghina Presiden (haatzakai artikelen) sudah dicabut MK. Pasal yang
dimohonkan oleh Eggi Sujana tahun 2006 yang lalu.
Istilah
Somasi biasa dikenal dalam praktek dunia praktisi hukum. Somasi
bertujuan untuk mengurangi kerugian. Somasi adalah sikap elegan dan
itikad baik. Somasi diperlukan sebagai bahan untuk disampaikan kepada
hakim, bahwa upaya preventif telah dilakukan
Didalam
Pasal 1238 KUHPer diterangkan “Si berutang adalah lalai, apabila
ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah
dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini
menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya
waktu yg ditentukan
Pasal
1243 KUHPer diatur bahwa tuntutan atas wanprestasi suatu
perjanjian hanya dapat dilakukan apabila si berutang telah diberi
peringatan bahwa ia melalaikan kewajibannya, namun kemudian ia tetap
melalaikannya.
Dengan
melakukan somasi, kita bisa mengetahui “kekuatan dokumen”
yang kita miliki. Dengan melakukan somasi, kita bisa mengetahui
“kekuatan dokumen” lawan yang kita miliki. Dengan
melakukan somasi, kita bisa menentukan langkah selanjutnya. Misalnya
cukup hanya tahap negosiasi, melakukan mediasi atau langsung
mengajukan gugatan ke pengadilan.
Apabila
bahan yang kita miliki “kurang kuat”, maka langkah dan
strategi kita akan diketahui lawan. Lawan akan “mempersiapkan
bahan” apabila mereka merasa kewalahan dengan somasi kita.
Lawan akan mempersiapkan diri menghadapi langkah kita selanjutnya.
Dengan
demikian, maka somasi biasanya lebih dikenal didalam lapangan hukum
perdata. Namun Didalam lapangan hukum pidana, somasi memang tidak
dikenal.
Nah
menggunakan definisi yang telah disampaikan, maka “somasi”
yang disampaikan oleh Presiden harus kita lihat dalam konteks
peristiwanya.
Pertanyaannya,
apakah ketiganya telah melakukan sebuah “perjanjian”
dengan Presiden sehingga Presiden harus melakukan “somasi”
? Apakah somasi yang ditujukan memang berkaitan didalam lapangan
hukum perdata ? Atau Apakah somasi juga akan digunakan didalam
lapangan hukum pidana ?
Berangkat
dari pertanyaan itulah, maka menurut penulis, somasi yang ditujukan
kepada ketiganya memang tidak tepat. Selain memang ketiganya tidak
terlibat “perjanjian” dengan presiden sehingga Presiden
harus “menyomasinya”, somasi yang ditujukan tidak
mempunyai pengaruh yang nyata.
Belum
lagi apabila Presiden ingin membuat laporan pidana. Somasi yang telah
diberikan tidak dapat dijadikan dasar atau bahan untuk bukti laporan
yang diajukan.
Dengna
mengikuti logika yang telah disampaikan, penulis menjadi bingung
terhadap sikap yang diambil oleh Presiden. Apakah memang sudah dikaji
lebih lanjut sehingga langkah somasi dilakukan.
Ah.
Entahlah. Namun yang pasti, somasi yang dilakukan Presiden selain
akan “menurunkan” wibawa lembaga kepresidenan, somasi yang
diajukan ternyata tidak berdampak apapun. Sehingga bisa dimengerti
kemudian tokoh sekaliber Rizal Ramli yang kemudian didampingi sekitar
200 advokat “mengabaikannya”. Dan kita mudah mengerti,
langkah melakukan somasi hanya bergaung “di hingar bingar
politik”.
Sehingga
tidak salah kemudian “hingar bingar” yang ditabuhkan
Presiden sendiri persis melodrama yang mendayu-dayu. Kita dipaksa
mengikuti episode demi episode namun tidak memberikan jalur cerita
yang menarik.