30 Januari 2014

opini musri nauli : SOMASI PRESIDEN




Akhir-akhir ini kita menyaksikan “melodrama” yang semakin bingung. Somasi Presiden kepada tiga orang (Rizal Ramli, Sri Mulyono dan Fahri Hamzah) ternyata “tidak dianggap” oleh ketiganya. Entah memang “ketiganya” bakal menjadi pahlawan karena berhadapan dengan pemimpin tertinggi di Republik ini atau memang mereka sadar “somasi” ternyata tidak berpengaruh apapun terhadap ketiganya.
Penulis berusaha menelusuri sikap yang diambil oleh Presiden untuk mengajukan somasi. Dalam perkembangan demokrasi, hak ini bisa saja digunakan oleh Presiden. Dan Presiden sebagai “pribadi” mempunya hak untuk tersinggung” atau keberatan terhadap ketiganya. Baik dengan tuduhan yang “tidak benar” ataupun karena memang ketiganya menyampaikan “berita tidak benar”.

Melihat “sikap” yang diambil Presiden, tuduhan dari ketiganya memang serius. Sehingga kita bisa menangkap “kekesalan” Presiden dengan tuduhan dari ketiganya.

Langkah ini sebenarnya merupakan “jalan terakhir” setelah pasal-pasal menghina Presiden (haatzakai artikelen) sudah dicabut MK. Pasal yang dimohonkan oleh Eggi Sujana tahun 2006 yang lalu.

Istilah Somasi biasa dikenal dalam praktek dunia praktisi hukum. Somasi bertujuan untuk mengurangi kerugian. Somasi adalah sikap elegan dan itikad baik. Somasi diperlukan sebagai bahan untuk disampaikan kepada hakim, bahwa upaya preventif telah dilakukan

Didalam Pasal 1238 KUHPer diterangkan “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yg ditentukan

Pasal 1243 KUHPer diatur bahwa tuntutan atas wanprestasi suatu perjanjian hanya dapat dilakukan apabila si berutang telah diberi peringatan bahwa ia melalaikan kewajibannya, namun kemudian ia tetap melalaikannya.

Dengan melakukan somasi, kita bisa mengetahui “kekuatan dokumen” yang kita miliki. Dengan melakukan somasi, kita bisa mengetahui “kekuatan dokumen” lawan yang kita miliki. Dengan melakukan somasi, kita bisa menentukan langkah selanjutnya. Misalnya cukup hanya tahap negosiasi, melakukan mediasi atau langsung mengajukan gugatan ke pengadilan.

Apabila bahan yang kita miliki “kurang kuat”, maka langkah dan strategi kita akan diketahui lawan. Lawan akan “mempersiapkan bahan” apabila mereka merasa kewalahan dengan somasi kita. Lawan akan mempersiapkan diri menghadapi langkah kita selanjutnya.

Dengan demikian, maka somasi biasanya lebih dikenal didalam lapangan hukum perdata. Namun Didalam lapangan hukum pidana, somasi memang tidak dikenal.

Nah menggunakan definisi yang telah disampaikan, maka “somasi” yang disampaikan oleh Presiden harus kita lihat dalam konteks peristiwanya.

Pertanyaannya, apakah ketiganya telah melakukan sebuah “perjanjian” dengan Presiden sehingga Presiden harus melakukan “somasi” ? Apakah somasi yang ditujukan memang berkaitan didalam lapangan hukum perdata ? Atau Apakah somasi juga akan digunakan didalam lapangan hukum pidana ?

Berangkat dari pertanyaan itulah, maka menurut penulis, somasi yang ditujukan kepada ketiganya memang tidak tepat. Selain memang ketiganya tidak terlibat “perjanjian” dengan presiden sehingga Presiden harus “menyomasinya”, somasi yang ditujukan tidak mempunyai pengaruh yang nyata.

Belum lagi apabila Presiden ingin membuat laporan pidana. Somasi yang telah diberikan tidak dapat dijadikan dasar atau bahan untuk bukti laporan yang diajukan.

Dengna mengikuti logika yang telah disampaikan, penulis menjadi bingung terhadap sikap yang diambil oleh Presiden. Apakah memang sudah dikaji lebih lanjut sehingga langkah somasi dilakukan.

Ah. Entahlah. Namun yang pasti, somasi yang dilakukan Presiden selain akan “menurunkan” wibawa lembaga kepresidenan, somasi yang diajukan ternyata tidak berdampak apapun. Sehingga bisa dimengerti kemudian tokoh sekaliber Rizal Ramli yang kemudian didampingi sekitar 200 advokat “mengabaikannya”. Dan kita mudah mengerti, langkah melakukan somasi hanya bergaung “di hingar bingar politik”.

Sehingga tidak salah kemudian “hingar bingar” yang ditabuhkan Presiden sendiri persis melodrama yang mendayu-dayu. Kita dipaksa mengikuti episode demi episode namun tidak memberikan jalur cerita yang menarik.