MEMBACA KOMITMEN APP
DALAM KONTEK PENGELOLAAN SDA[1]
Pada awal bulan Februari tahun
yang lalu, APP mendeklarasikan kebijakan Konservasi Hutan (Forest Conservation
Policy/FCP) yang mencakup (a) moratorium logging, (b) memastikan asal kayu
(termasuk pemasok), (c) penyelesaian konflik.
Melihat sikap yang diambil oleh
APP berbagai reaksi bermunculan. Sebagian memberikan apresiasi melihat sikap
APP didalam mengelola SDA yang cukup luas. Namun sebagian antipati dan tidak
berharap banyak terhadap sikap APP. Ada juga yang masih menunggu bagaimana
perkembangan APP mematuhi komitmen yang telah dibangun.
Sebagaimana yang telah menjadi
agenda nasional Walhi, maka posisi Walhi jelas. Pertama. Sebagai host
konsolidasi CSO's. Kedua. Media pressure di tingkat Nasional. Ketiga. Sebagai
konsolidasi data dan informasi. Dan keempat. Memberikan dukungan kerja di
lapangan.
Berangkat dari posisi yang telah
dibicarakan dan ditentukan di Nasional, maka Walhi Jambi menjadi bagian yang
tidak terpisahkan. Untuk membuktikan komittmen dan sikap Walhi Jambi, maka
dalam forum telah disampaikan. Walhi Jambi tidak masuk kedalam sistem baik
dalam tahap implementasi kommitment maupun dalam tahap monitoring terhadap
proses yang tengah berlangsung[2].
Walhi Jambi bersama-sama dengan
masyarakat korban akan melihat “apakah dalam periode waktu tertentu”,
Kommitment APP akan adanya kemajuan (progress) atau cuma retorika demi
kepentingan bisnis dan tekanan internasional
Melihat pernyataan berbagai sikap
yang diambil berbagai kalangan, perusahaan raksasa APP memberikan catatan yang
mendalam terutama kepada penulis[3].
Dengan penguasaan seluas 293.812
ha (PT. WKS), 51.260 ha (PT. RHM) dan 19.770 ha (TMA), konflik yang ditimbulkan
oleh grop APP menarik perhatian. Dalam catatan Walhi, dari 300 konflik yang ada
di Jambi, 80 konflik yang berkaitan dengan sumber daya alam, maka 2/3 dari
konflik di Jambi berkaitan dengan APP. Sehingga bisa dipastikan group APP salah
satu perhatian dari berbagai kalangan melihat konflik yang ditimbulkan selain
dengan PT. REKI dan PT. Asiatic Persada[4].
Momentum APP menyatakan dengna
mengeluarkan kebijakan tentu saja harus dilihat secara komprehensif. Tanpa
melihat persoalan substansi konflik yang terjadi, momentum APP masih berkutat
dengan dokumen teknis yang rigid.
Hingga kini, penulis masih
menunggu mekanisme terhadap berbagai complain di dalam kebijakan yang telah
disusun oleh APP.
Harus disadari, memaksa APP
membangun komitmen protokol kebijakan APP tentu dengan berbagai landasan. Dari
berbagai sumber selalu disebutkan, kepentingan yang paling dirasakan oleh APP,
kampanye internasional terhadap praktek buruk pengelolaan konsensi APP. Baik
dalam pendanaan maupun dalam pemasaran di Eropa dan Amerika.
Momentum haruslah direspon.
Selain memang negara belum mampu melindungi sumber daya alam, kerusakan hutan
yang semakin massif, konflik sumber daya yang terus menerus terjadi, memaksa
APP tunduk dalam komitmen merupakan terobosan yang cukup menarik.
Memaksa APP tunduk dengan
berbagai prasyarat merupakan salah satu upaya minimal yang bisa dilakukan di
tengah ketidakpastian hukum, minimnya dukungan negara terhadap berbagai
persoalan. Dan tentu saja semangat ini haruslah diberi ruang untuk membantu
menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi.
Terlepas daripada alasan yang
telah disampaikan, catatan penting didalam melihat kebijakan yang telah
dikeluarkan APP dalam konteks HAM merupakan persoalan serius dalam hubungan
negara vis rakyat.
Negara telah gagal melindungi
“hak kelola rakyat”[5].
Negara telah abai. Negara absen didalam memastikan hak-hak rakyat.
Negara seharusnya mampu
menegakkan hukum. Negara harus mampu menyelesaikan berbagai konflik. Negara
harus bisa memastikan konsensi yang telah diberikan kepada korporasi tidak
merampas tanah masyarakat. Tidak menghancurkan lingkungan. Memastikan ruang
kepada masyarakat.
Dalam ranah ini, maka selain
mendesak APP tunduk kepada protokol yang telah disusun, meminta
pertanggungjawaban negara harus terus menerus dilakukan. Tanpa meminta
pertanggungjawaban negara, maka negara tidak dapat dilepaskan dari kewajiban
untuk melindungi rakyat.
Dengan dasar pemikiran itulah,
posisi Walhi Jambi menemukan ruang melihat kebijakan komitmen APP.
Pertama. Mendesak kepada negara
untuk dapat menyelesaikan berbagai kasus lingkungan dan sumber daya alam.
Kedua. Memastikan ruang kelola
dan memberikan kepastikan keberlanjutan terhadap masyarakat.
Ketiga. Meminta
pertanggungjawaban negara untuk melindungi HAM masyarakat.
Keempat. Memastikan APP tunduk
dan komitmen kepada Protokol kebijakan yang telah disusun.
Kelima. Memperkuat organisasi
masyarakat didalama melihat persoalan lingkungan dan sumber daya alam dan
mendorong masyarakat mampu menyelesaikan persoalannya sendiri.
[1] Disampaikan dalam pelatihan Investigasi
Lapangan dan Monitoring Partisipatif Kejahatan Perusahaan Sektor Kehutanan,
Jambi 14-18 April 2014
[2] Penulis memberikan istilah sebagai peran
diluar panggung (outsiders).
[3] Perusahaan ini telah “menyeret” pemilik tanah
ke muka persidangan. Baik dengan tuduhan pasal seperti pasal pengrusakan, pasal
penggelapan, pasal pembakaran maupun UU Kehutanan di berbagai Pengadilan Negeri
seperti Pengadilan Negeri Tebo, Pengadilan Negeri Muara Jambi, Pengadilan
Tanjung jabung Timur dan Pengadilan Negeri Kuala Tungkal
[4] Data yang dihimpun dari Tim Resolusi Konflik
dan Penyelesaian Lahan Propinsi Jambi (selanjutntya dibaca Tim Resolusi
Konflik) mencatat, dari 28 kasus prioritas yang menjadi perhatian,
[5] Ruang kelola berupa “akses terhadap hutan”
yang memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Ruang kelola juga
merupakan identitas yang tidak mudah hanya “membicarakan kayu” an sich. Ruang
kelola merupakan ruang yang didapatkan dari pengetahuan lokal yang diwariskan
dengan turun temurun. Namun Ruang kelola juga berkaitan dengan “keberlanjutan”.
“membuka hutan” kemudian “membagi-bagi” tanah, menurut penulis bukanlah “ruang
kelola”. Itu sama sekali tidak sesuai dengan konteks dengan nilai yang diusung
oleh Walhi. Menggunakan argumentasi pasal 33 UUD dengan alasan “membagi-bagi
tanah” juga tidak tepat. Salah kaprah inilah yang kemudian Walhi Jambi
memandang persoalan yang penting ini. Pengusiran terhadap masyarakat yang
mempunyai “ruang kelola” di hutanpun merupakan pelanggaran nilai-nilai Walhi.