12 April 2014

opini musri nauli : MEMBACA KOMITMEN APP DALAM KONTEK PENGELOLAAN SDA


MEMBACA KOMITMEN APP DALAM KONTEK PENGELOLAAN SDA[1]

Pada awal bulan Februari tahun yang lalu, APP mendeklarasikan kebijakan Konservasi Hutan (Forest Conservation Policy/FCP) yang mencakup (a) moratorium logging, (b) memastikan asal kayu (termasuk pemasok), (c) penyelesaian konflik.

Melihat sikap yang diambil oleh APP berbagai reaksi bermunculan. Sebagian memberikan apresiasi melihat sikap APP didalam mengelola SDA yang cukup luas. Namun sebagian antipati dan tidak berharap banyak terhadap sikap APP. Ada juga yang masih menunggu bagaimana perkembangan APP mematuhi komitmen yang telah dibangun.

Sebagaimana yang telah menjadi agenda nasional Walhi, maka posisi Walhi jelas. Pertama. Sebagai host konsolidasi CSO's. Kedua. Media pressure di tingkat Nasional. Ketiga. Sebagai konsolidasi data dan informasi. Dan keempat. Memberikan dukungan kerja di lapangan.

Berangkat dari posisi yang telah dibicarakan dan ditentukan di Nasional, maka Walhi Jambi menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Untuk membuktikan komittmen dan sikap Walhi Jambi, maka dalam forum telah disampaikan. Walhi Jambi tidak masuk kedalam sistem baik dalam tahap implementasi kommitment maupun dalam tahap monitoring terhadap proses yang tengah berlangsung[2].

Walhi Jambi bersama-sama dengan masyarakat korban akan melihat “apakah dalam periode waktu tertentu”, Kommitment APP akan adanya kemajuan (progress) atau cuma retorika demi kepentingan bisnis dan tekanan internasional

Melihat pernyataan berbagai sikap yang diambil berbagai kalangan, perusahaan raksasa APP memberikan catatan yang mendalam terutama kepada penulis[3].

Dengan penguasaan seluas 293.812 ha (PT. WKS), 51.260 ha (PT. RHM) dan 19.770 ha (TMA), konflik yang ditimbulkan oleh grop APP menarik perhatian. Dalam catatan Walhi, dari 300 konflik yang ada di Jambi, 80 konflik yang berkaitan dengan sumber daya alam, maka 2/3 dari konflik di Jambi berkaitan dengan APP. Sehingga bisa dipastikan group APP salah satu perhatian dari berbagai kalangan melihat konflik yang ditimbulkan selain dengan PT. REKI dan PT. Asiatic Persada[4].

Momentum APP menyatakan dengna mengeluarkan kebijakan tentu saja harus dilihat secara komprehensif. Tanpa melihat persoalan substansi konflik yang terjadi, momentum APP masih berkutat dengan dokumen teknis yang rigid.

Hingga kini, penulis masih menunggu mekanisme terhadap berbagai complain di dalam kebijakan yang telah disusun oleh APP.

Harus disadari, memaksa APP membangun komitmen protokol kebijakan APP tentu dengan berbagai landasan. Dari berbagai sumber selalu disebutkan, kepentingan yang paling dirasakan oleh APP, kampanye internasional terhadap praktek buruk pengelolaan konsensi APP. Baik dalam pendanaan maupun dalam pemasaran di Eropa dan Amerika.

Momentum haruslah direspon. Selain memang negara belum mampu melindungi sumber daya alam, kerusakan hutan yang semakin massif, konflik sumber daya yang terus menerus terjadi, memaksa APP tunduk dalam komitmen merupakan terobosan yang cukup menarik.

Memaksa APP tunduk dengan berbagai prasyarat merupakan salah satu upaya minimal yang bisa dilakukan di tengah ketidakpastian hukum, minimnya dukungan negara terhadap berbagai persoalan. Dan tentu saja semangat ini haruslah diberi ruang untuk membantu menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi.

Terlepas daripada alasan yang telah disampaikan, catatan penting didalam melihat kebijakan yang telah dikeluarkan APP dalam konteks HAM merupakan persoalan serius dalam hubungan negara vis rakyat.

Negara telah gagal melindungi “hak kelola rakyat”[5]. Negara telah abai. Negara absen didalam memastikan hak-hak rakyat.

Negara seharusnya mampu menegakkan hukum. Negara harus mampu menyelesaikan berbagai konflik. Negara harus bisa memastikan konsensi yang telah diberikan kepada korporasi tidak merampas tanah masyarakat. Tidak menghancurkan lingkungan. Memastikan ruang kepada masyarakat.

Dalam ranah ini, maka selain mendesak APP tunduk kepada protokol yang telah disusun, meminta pertanggungjawaban negara harus terus menerus dilakukan. Tanpa meminta pertanggungjawaban negara, maka negara tidak dapat dilepaskan dari kewajiban untuk melindungi rakyat.

Dengan dasar pemikiran itulah, posisi Walhi Jambi menemukan ruang melihat kebijakan komitmen APP.

Pertama. Mendesak kepada negara untuk dapat menyelesaikan berbagai kasus lingkungan dan sumber daya alam.

Kedua. Memastikan ruang kelola dan memberikan kepastikan keberlanjutan terhadap masyarakat.

Ketiga. Meminta pertanggungjawaban negara untuk melindungi HAM masyarakat.

Keempat. Memastikan APP tunduk dan komitmen kepada Protokol kebijakan yang telah disusun.

Kelima. Memperkuat organisasi masyarakat didalama melihat persoalan lingkungan dan sumber daya alam dan mendorong masyarakat mampu menyelesaikan persoalannya sendiri.





[1]   Disampaikan dalam pelatihan Investigasi Lapangan dan Monitoring Partisipatif Kejahatan Perusahaan Sektor Kehutanan, Jambi 14-18 April 2014
[2]   Penulis memberikan istilah sebagai peran diluar panggung (outsiders).
[3]   Perusahaan ini telah “menyeret” pemilik tanah ke muka persidangan. Baik dengan tuduhan pasal seperti pasal pengrusakan, pasal penggelapan, pasal pembakaran maupun UU Kehutanan di berbagai Pengadilan Negeri seperti Pengadilan Negeri Tebo, Pengadilan Negeri Muara Jambi, Pengadilan Tanjung jabung Timur dan Pengadilan Negeri Kuala Tungkal
[4]   Data yang dihimpun dari Tim Resolusi Konflik dan Penyelesaian Lahan Propinsi Jambi (selanjutntya dibaca Tim Resolusi Konflik) mencatat, dari 28 kasus prioritas yang menjadi perhatian,
[5]   Ruang kelola berupa “akses terhadap hutan” yang memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Ruang kelola juga merupakan identitas yang tidak mudah hanya “membicarakan kayu” an sich. Ruang kelola merupakan ruang yang didapatkan dari pengetahuan lokal yang diwariskan dengan turun temurun. Namun Ruang kelola juga berkaitan dengan “keberlanjutan”. “membuka hutan” kemudian “membagi-bagi” tanah, menurut penulis bukanlah “ruang kelola”. Itu sama sekali tidak sesuai dengan konteks dengan nilai yang diusung oleh Walhi. Menggunakan argumentasi pasal 33 UUD dengan alasan “membagi-bagi tanah” juga tidak tepat. Salah kaprah inilah yang kemudian Walhi Jambi memandang persoalan yang penting ini. Pengusiran terhadap masyarakat yang mempunyai “ruang kelola” di hutanpun merupakan pelanggaran nilai-nilai Walhi.