Akhir-akhir ini kita disodori berita
berkumpulnya partai-partai Islam (PKB,
PAN, PKS dan PPP). Berita ini sekaligus konfirmasi partai-partai Islam yang
hendak mengusung calon Presiden sendiri untuk menandingi kepopuleran Jokowi (diusung PDI-P) dan Prabowo (diusung oleh Partai Gerindra).
Pentingnya mengusung koalisi partai
Islam selain memang suara yang diraih oleh partai-partai Islam cukup
menjanjikan (PKB 9,30%, PAN 7,50%, PPP
6,70% dan PKS 6,90%. Hasil penghitungan suara cepat/Quick count. Data resmi
dari KPU diperkirakan tidak jauh berbeda).
Dengan menghitung kekuatan yang bisa
diraup sekitar 30 %, memang suara partai Islam diharapkan dapat menyodorkan
nama-nama alternative baru diluar Jokowi dan Prabowo.
Tanpa mengurangi semangat untuk
mengusung calon sendiri, berbagai peristiwa-peristiwa sebelumnya harus dapat
dibaca untuk menangkap suara pemilih. Tanpa melihat catatan sebelumnya, koalisi
yang hendak dibangun akan terjadi di lapisan elite. Tidak menyentuh di lapisan
bawah.
Untuk menjawab bagaimana persepsi
public didalam melihat peta politik (swing
vote), berbagai rumusan dari lembaga-lembaga survey dapat menjawab.
Pertama. Dalam kurun sejak tahun
1999, swing vote masih menempatkan partai nasional sebagai pilihan utama. Berbagai
lembaga riset sudah menunjukkan. Berkuasanya PDI-P tahun 1999, Partai Golkar
2004 dan Partai Demokrat tahun 2009 menjawabnya.
Bahkan tahun 2009, hanya PKS yang
mendominasi suara partai Islam.
Belum lagi pada pemilu-pemilu
sebelumnya. Di tahun 1955, justru PNI yang berkuasa dan menang telak di DPR.
Kita tidak menghitung Pemilu pada masa orde baru yang sulit menggambarkan
kekuatan politik yang riil.
Dengan demikian, maka melihat perjalanan pemilu di Indonesia, maka Pemenang
pemiu ditentukan partai yang berkarakter nasionalis.
Kedua. Kemenangan Gusdur menjadi
Presiden tahun 1999 (mewakili NU),
Amien Rais sebagai ketua MPR (mewakili
Muhammadiyah) dan Akbar Tanjung sebagai Ketua DPR-Ri (mewakili kekuatan HMI) merupakan masa emas dari Partai-partai islam.
Namun apa daya. Amien Rais justru “sebagai”
tokoh melengserkan Gusdur tahun 2001 masih diingat public sebagai peristiwa
yang justru memberikan pelajaran. Sesama partai Islam belum bisa mewujudkan
demokrasi yang teladan. Bahkan dianggap sebagai “pertengkaran” politik di internal partai islam sendiri.
Ingatan itu tidak mudah lupa.
Walaupun Amien Rais sudah banyak memberikan klarifikasi terhadap peristiwa itu,
namun public tidka mudah melupakannya.
Para ahli justru menegaskan, momentum
terbaik ini gagal digunakan dan sinergis sehingga tidak dapat memanfaatkan
momentum terbaik.
Ketiga. Tidak ada tokoh yang dihormati dan sebagai
pemersatu partai Islam. Yang ada tokoh di kalangan tertentu. Misalnya Kiai
Sahal Mahfudh di kalangan NU atau Kiai Azhar Basyir di kalangan Muhammadiyah.
Masing-masing tokoh mempunyai
pengaruh yang cukup kuat di masing-masing kalangan. Namun tidak bisa menjadi
tokoh nasional yang menjadi panutan bersama secara nasional.
Berbeda dengan di Iran. Kita mengenal
Ayatullah Ruhullah Imam Khomeini yang menjadi panutan di Iran.
Keempat. Belum bersatunya
Partai-partai Islam. Belum kompaknya suara PKB dan PAN dapat dilihat dari
berbagai pemilu. Terlepas posisi PAN dan PKB yang berada di struktur
pemerintahan, namun kejadian melengserkan Gusdur tidak mudah diterima di
lapisan bawah kaum nahdiyin.
Apakah mudah Muhaimin Iskandar
sebagai “nahkoda” PKB untuk
meyakinkan kaum nahdiyyin untuk berkoalisi dengan partai-partai islam lain ?.
Terlalu sederhana meminta peran Cak imin yang masih hijau di kalangan nahdiyiin
untuk mengerjakan tugas itu.
Belum lagi di faksi NU sendiri yang
melihat posisi PKB dalam putaran politik banyak dipengaruhi berbagai
tokoh-tokoh diluar structural partai itu sendiri.
Kelima. Sekedar gambaran. Apabila telah terbangunnya koalisi,
apakah nama yang disodori mampu mengimbangi kepopuleran Jokowi dan Prabowo ?
Apakah masih bisa dikejar waktunya untuk mengejar ketertinggalan ?
Rasanya terlalu naïf dalam kurun
waktu dalam hitungan 3 bulan ke depan ?. Tapi entahlah. Politik di Indonesia
selalu menimbulkan kejutan demi kejuatan yang sering sulit diprediksi. Kita
tunggu bagaimana perkembangan selanjutnya.