Usai
sudah Pemilihan Umum untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kotamadya,
DPRD Propinsi, DPR-RI dan DPD. Sembari menunggu penghitungan resmi
dari KPU sebagai lembaga yang berwenang untuk menentukan suara yang
bisa diraup oleh masing-masing kandidate, berbagai lembaga survey
penghitungan cepat (quick count) telah merilis analisis dan prediksi
masing-masing Partai.
Ada
partai yang mengaku akan meraih suara dan menempati posisi 3 besar
kemudian melempem. Ada partai yang habis-habisan kampanye di berbagai
media cetak dan elektronik namun terseok-terseok dan hampir melewati
batas akhir suara terkecil. Ada partai yang tidak pernah diunggulkan
namun mampu menyodok dan menjadi partai menengah (medioker).
Tiba-tiba
partai yang jauh dari prediksi kemudian menyalahkan partai lain. Ada
yang belum terima dengan menyebutkan berbagai survey bisa keliru.
Namun ada yang menyebutkan, masih menunggu penghitungan resmi dari
KPU.
Terlepas
dari analisis berbagai lembaga survey dan penghitungan cepat, jawaban
dari berbagai partai membuktikan beberapa kekeliruan.
Pertama.
Istilah Jokowi effek kemudian dijadikan sasaran tembak. Penulis
bingung dengan analisis ini. Apakah partai yang sering menyebutkan
Jokowi tidak memberikan effek kepada PDI-P menjadikan hitungan
terhadap kekalahan partainya sendiri ? Jawaban ini agak bingung juga.
Dari
sini kelihatan, partai-partai yang memberikan analisis Jokowi tidak
memberikan effek tidak menangkap essensi dari keinginan publik.
Publik
sudah marah dengan partai-partai yang sering disebut-sebutkan dalam
kasus korupsi. Publik “sedang” memberikan hukuman. Apabila partai
masih tidak mengakuinya, maka bukan dukungan yang akan diterima oleh
partai. Tapi hukuman lebih keras akan dijatuhkan.
Dua.
Naiknya suara PKB dengan tagline Rhoma Irama tidak bisa ditangkap
oleh petinggi partai. Masih banyak petinggi partai yang “meremehkan”
pengaruh magnis Rhoma Irama.
Terlepas
dari pandangan pribadi seseorang dengan Rhoma Irama, namun yang pasti
Rhoma Irama sudah terbukti kongkrit membangunkan PKB dan sekarang
menjadi cukup diperhitungkan.
Dari
sini kelihatan “jenius”nya Muhaimin Iskandar sebagai nakhoda PKB
yang membawa PKB cukup diperhitungkan dalam kancah politik.
Ketiga.
Dukungan kepada Jokowi tidak serta merta memberikan dukungan kepada
PDI-P. Seharusnya para petinggi partai menyadari antara dukungan
kepada PDI-P berbeda dengan dukungan kepada Jokowi.
Kekaguman
orang kepada Jokowi memang tidak bisa dibendung. Berbagai serangan
mulai dilakukan. Mulai dari issu sara dengan mengusung agama,
mengaitkan berbagai kemungkinan Jokowi dengan beberapa pilkada (Solo
dan Jakarta), dianggap tidak amanah dan sebagainya.
Namun
apabila cara-cara ini masih diteruskan, hukuman publik akan dirasakan
oleh partai-partai. Terlepas dari prestasi yang dilakukan oleh Jokowi
apabila dibandingkan dengan nama-nama lain seperti Walikota Surabaya,
namun kekaguman publik kepada Jokowi harus ditangkap oleh petinggi
partai.
Partai
yang sudah terang-terangan mencela dan terus menyebarkan black
campaing kepada Jokowi justru akan menimbulkan antipati dari publik.
Publik akan terus menunjukkan kekuatannya. Publik akan memberikan
isyarat yang keras.
Keempat.
Berbeda dengan Pileg, terhadap Pilpres, aspirasi rakyat akan
dbuktikan. Berbagai skenario dan desain yang cukup canggih yang
hendak dimainkan untuk membangun delegitimasi terhadap Jokowi akan
menimbulkan serangan balik.
Tanda-tandanya
sudah kelihatan. Berbagai perang di dunia maya (cyber war) dengan
mudah ditangkis oleh pasukan dunia maya.
Dukungan
kepada Jokowi haruslah ditangkap oleh partai-partai. Aspirasi ini
adalah kesadaran alam bawah sadar pemilih yang muak dengan berbagai
jargon partai.
Maaf.
Apabila partai-partai masih menggunakan cara-cara lama, masih percaya
dengan kekuatan kader, masih percaya dengan dukungan media, masih
percaya dengan jaringan politik yang sudah dibangun, Pileg 2014 sudah
membuktikan.
Kemenangan
Jokowi merupakan pesan. Selamat datang Generasi muda. 9 Juli kita
bertemu. Selamat jalan generasi lama. 9 Juli kita berpisah.
Baca : Pemilu 2009