08 Maret 2013

opini musri nauli : Berusaha Belajar Mempercayai APP


Judul ini sengaja disampaikan ketika mengikuti pertemuan dalam sosialisasi “Komitmen” APP yang “ingin” berubah. Penulis sengaja memberikan tanda kutip terhadap kata-kata seperti “komitmen” dan kata-kata “ingin” berubah.

Mengapa demikian. Tentu saja pengalaman sudah mengajarkan. Apakah APP akan mempunyai “komitmen” dan “ingin” berubah secara serius karena kepentingan ekonomi, tekanan internasional atau  akibat kampanye ?. Ah. Pertanyaan itu merupakan pertanyaan retorika setelah waktu panjang telah memberikan pemahaman yang jelas kepada APP yang sering “ingkar janji[1] dan cenderung “menggunakan pendekatan” kekerasan untuk menyelesaikan berbagai masalah.

Dalam prakteknya, sebagaimana sering sudah disampaikan, salah satu “biang kerok” berbagai persoalan lingkungan dan tanah di Jambi, sebagian besar akibat pembangunan industri pulp and paper. Di Jambi (sebagaimana dalam presentasinya), wajah APP ditandai dengan PT. WKS, PT. TMA dan PT. RHM[2].

Begitu luasnya areal “konsensi” APP di Jambi, maka sudah dipastikan menimbulkan berbagai konflik. Data yang dihimpun dari Tim Resolusi Konflik dan Penyelesaian Lahan Propinsi Jambi (selanjutntya dibaca Tim Resolusi Konflik) mencatat, dari 28 kasus prioritas yang menjadi perhatian, maka sudah bisa dipastikan, setengahnya merupakan kasus yang diakibatkan
Belum lagi menimbulkan persoalan lingkungan, perampasan tanah.

Selain itu juga, perusahaan ini telah “menyeret” pemilik tanah ke muka persidangan. Baik dengan tuduhan pasal seperti pasal pengrusakan[3], pasal penggelapan[4], pasal pembakaran[5] maupun UU Kehutanan[6].

Dengan pertimbangan itulah, sengaja judul diberikan sebagai bahan refleksi perjalanan APP di Jambi. Tentu saja sikap ini sudah disampaikan, pada awal pembukaan, Walhi Jambi mengajak yang hadir melakukan “refleksi terhadap perbuatan APP” dengan memaparkan fakta-fakta. Dan rasa itu sengaja dibangun sebagai rasa “sense of crisis” terhadap bacaan melihat APP.

Bahkan penulis menyampaikan, sebagai bentuk keinginan “berubah” permohonan minta maaf merupakan salah satu langkah awal yang nyata agar dapat menimbulkan kepercayaan, apakah APP 'serius” atau hanya sekedar apologi.

Dengan suasana kebathinan (geistliche hintergrund) itulah, kemudian Walhi Jambi “berani” menyampaikan fakta-fakta di forum yang dihadiri “petinggi” APP. Yang mengaku “mendapat mandat langsung dari Owner” untuk menyampaikan ke publik keinginan untuk “berbenah[7].

Didalam bahan yang dikirimi oleh managemen APP, bahan-bahan seperti Protokol Moratorium Penebangan Tegakan Hutan Alam (Natural Forest Clearance), Protokol Penanaman Baru pada Areal Konsensi HTI setelah 31 Januari 2013 dan Prosedur keluhan/Given untuk Implementasi FCP

Bahan-bahan yang dikirimi, ketika dipresentasi justru lebih lengkap. Berbagai timeline dan berbagai model untuk menyelesaikan berbagai masalah (resolusi konflik) disampaikan. Dengan bahan yang dipresentasi, penulis dapat mengukur “apakah mereka serius melakukan perubahan ? Atau memang mereka memang tidak mengerti “bagaimana mekanisme penyelesaian”.

Dalam berbagai tanggapan, sudah terukur, sebagian besar peserta yang menghadiri acara “lebih banyak membicarakan APP dari sudut pandang lingkungan an sich. Kata-kata “HCVF” dan kata-kata “HCS” lebih banyak disebut dibandingkan dengan kata-kata seperti “resolusi konflik”. Penulis bingung, apakah yang hadir hanya “representasi persoalan lingkungan an sich” atau memang, audience yang hadir tidak banyak mengetahui mengenai resolusi konflik.

Padahal dari bahan-bahan yang dikirimi, persoalan pokok dari APP didalam mengelola industrinya, harus menyelesaikan persoalan sosial. Tanpa mengenyampingkan persoalan yang berkaitan dengan lingkungan, persoalan sosial bermula dari persoalan lingkungan yang tidak memihak kepada kepentingan pemilik tanah.

Persoalan lingkungan dapat diselesaikan apabila persoalan sosial sudah selesai. Tapi membicarakan lingkungan an sich tanpa menyelesaikan persoalan sosial, maka hanya menjadi wacana elite kaum akademisi.

Padahal persoalan pokok, persoalan APP bukan menjadi persoalan dan wacana elite kaum akademisi. Tapi persoalan dimana tanah yang dirampas, hak-hak asasi manusia yang dicabut bahkan timbulnya korban  nyawa tidak cukup dibicarakan dalam wacana elite. Itu adalah persoalan rakyat dimana, rakyat harus terlibat dan harus dapat “memastikan” apakah mekanisme dan proses resolusi konflik telah dilakukan oleh APP. Dan tanpa mengurangi “keinginan” APP sedang “berbenah”, protokol yang ditawarkan “masih lemah” dan memerlukan perangkat teknis untuk menterjemahkannya.

Sehingga Walhi Jambi “mendorong” APP agar dapat “mempersiapkan”  Proses role of monitoring dan proses resolusi konflik secara detail dalam SOP. Dan bahan-bahan inilah yang belum ada didalam paparan presentasi yang telah disampaikan.

Reposisi

Sebagaimana yang telah menjadi agenda nasional Walhi, maka posisi Walhi jelas. Pertama. Sebagai host konsolidasi CSO's. Kedua. Media pressure di tingkat Nasional. Ketiga. Sebagai konsolidasi data dan informasi. Dan keempat. Memberikan dukungan kerja di lapangan.

Berangkat dari posisi yang telah dibicarakan dan ditentukan di Nasional, maka Walhi Jambi menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Untuk membuktikan komittmen dan sikap Walhi Jambi, maka dalam forum telah disampaikan. Walhi Jambi tidak masuk kedalam sistem baik dalam tahap implementasi kommitment maupun dalam tahap monitoring terhadap proses yang tengah berlangsung.

Walhi Jambi bersama-sama dengan masyarakat korban akan melihat “apakah dalam periode waktu tertentu”, Kommitment APP akan adanya kemajuan (progress) atau cuma retorika demi kepentingan bisnis dan tekanan internasional.

Dalam presentasi yang telah disampaikan, maka waktu hingga Juli akan menjadi dua pekerjaan besar. Pertama. Apakah hingga bulan Juli, APP telah melakukan “mapping conflict” dan bagaimana model penanganan resolusi konflik. Dua agenda itu akan menjadi perhatian. Dan dua pekerjaan besar itu akan menjadi penilaian tersendiri. Apakah APP akan “berbenah dan berubah” atau cuma “sekedar lipservise” semata. Dan secara tegas sudah disampaikan, dua pekerjaan akan menjadi agenda yang harus dipertanggungjawabkan dalam tahap monitoring.

Dengan demikian, maka sikap dan posisi Walhi Jambi sudah jelas. Menjadi pressure group terhadap APP agar “berbenah”. Dan pilihan itu lebih tepat dilakuan diluar dari sistem yang dibangun. Atau dengan bahasa yang lebih lugas. POSISI WALHI JAMBI MENJADI OUTSIDERS”.



[1]   Entah berapa kali pertemuan yang dihadiri “hanya” untuk mendengarkan penjelasan dari APP dalam menyelesaikan masalah.
[2]   Penulis tidak menemukan bagaimana hubungan bisnis antara APP atau PT. WKS dengan PT. LAJ yang telah merampas tanah di Desa Pemayungan, Kecamatan Sumay Tebo.

[3]   Ahmad Baki disidangkan dengan pasal 170 KUHP di Pengadilan Negeri Tebo. Dijatuhi pidana penjara selama 9 bulan
[4]   Ahmad Abel disidangkan dengan pasal 378 KUHP di Pengadilan Negeri Sengeti. Dijatuhi pidana penjara selama  7 bulan
[5]   Lukito dan kawan2 disidangkan dengna tuduhan cukup serius. Pembakaran yang disidangkan di Pengadilan Negeri Kuala Tungkal. Dijatuhi pidanan penjara 9 bulan.
[6]   Juraid dituduh melakukan “pembukaan hutan tanpa izin” dengan tuduhan pasal 50 ayat (3) UU Kehutanan di Pengadilan Negeri Sabak. Dilepaskan dari segala dakwaan (onslaag van alle rechtvervolging)
[7]   Pertemuan diadakan di Hotel Abadi Suite, tanggal 5 Maret 2013.