19 November 2014

opini musri nauli : Senamat Ulu


Istilah senamat masih menimbulkan berbagai versi. Versi pertama menyebutkan, kata senamat berasal dari istilah “seni amat”. Seni amat berarti adik bungsu. Atau terkecil. Sebagai adik bungsu atau terkecil ditandai dengan Batu patah sembilan (Menhir). Sedangkan versi kedua menyebutkan arti kata senamat berasal dari istilah senang amat. Senang amat berarti hidup senang1.

Senamat Ulu berada didalam administrasi Kecamatan Bathin III Ulu. Bathin III terdiri dari Bathin IIII ilir yang berpusat di Muara Bungo dan Bathin III Ulu yang berpusat di Muara Buat.

Didalam dokumen-dokumen Belanda wilayah Jambi sebagai bagian dari kekuasaan Belanda dapat dilihat pada Peta Belanda seperti Schetkaart Resintie Djambi Adatgemeenschappen (Marga’s), Tahun 1910, Skala 1:750.000, Schetskaart Van de Residentie Djambi, Tahun 1906, Skala 1 : 500.000, Schetskaart Van de Residentie Djambi, Bewerkt door het Encyclopaedisch Bureau 1922 – 1923, telah jelas menerangkan posisi Bathin III Ulu termasuk kedalam Residentie Jambi.

Didalam peta kemudian disebutkan Bathin III Ulu dengan pusat Bathin terletak di Muara Buat berbatasan dengan Bathin VII yang berpusat di Rantau Pandan. Margo Pelepat yang berpusat di Rantau Keloyang, Tanah Sepenggal yang berpusat di Lubuk Landai dan Bilangan V yang berpusat di Tanah Tumbuh.

Namun yang unik. Apabila Senamat Ulu masuk kedalam Bathin III Ulu, sedangkan Desa Senamat malah masuk kedalam Margo Pelepat. Jauh sekali letaknya.

Menghubungkan Senamat Ulu dengan Senamat ditandai dengan Batang Senamat. Desa Senamat Ulu merupakan hulu dari Sungai Senamat yang kemudian mengalir ke Batang Pelepat melewati Desa Senamat.

Bathin III Ulu terdiri dari Batang Buat, Muara Buat dan Batang Bungo2.

Muara Buat terdiri dari kampung Dusun Senamat Ulu, Lubuk Beringin dan Aur Chino. Kampung kemudian dipimpin yang diberi gelar “rio”.

Sistem pemerintahan ini kemudian digantikan dengan sistem pemerintahan Desa berdasarkan UU No. 5 tahun 1979. Namun dalam pemerintahan kabupaten Bungo kemudian dikembalikan dengan Sistem Pemerintahan Dusun dengan dikepalai “Rio”. Dusun terdiri dari beberapa kampung.

Dalam literatur Onderafdeeling Muarabungo, Bungo, Sarolangun dan sebagian dari Muara Tebo dan Muara Tembesi. F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938, disebutkan “di daerah hulu Sungai Batanghari, masyarakat mengenal dusun sebagai pemerintahan terendah (village government). Dusun terdiri dari beberapa kampung, Mengepalai Kepala Dusun adalah Depati. Dibawah Depati adalah Mangku. Dusun-dusun kemudian menjadi Margo3. Pembagian kekuasaan dalam negeri atau dusun di daerah hulu adalah bathin dengan gelar Rio, Rio Depati atau Depati, di daerah hilir penguasanya adalah Penghulu atau Mangku dibantu oleh seorang Menti (penyiar, tukang memberi pengumuman)

Sedangkan Margo mencakup mencakup setiap Dusun yang terdiri dari Bathin. Mengepalai Margo biasa dikenal dengan nama Pesirah.



1Rio Dusun Senamat Ulu
2Mantan Rio Dusun Senamat Ulu

3Istilah Marga telah dikemukakan oleh J.W.Royen, seorang pegawai Pemerintahan Kolonial yang sedang cuti dalam disertasinya (1927). Studi ini mengenai hak-hak atas tanah dan air dari Marga, yakni suatu unit komunitas yang murni bersifat teritorial di Palembang, satu dari empat bagian di wilayah hukum Sumatera Selatan. Selain Palembang, bagian hukum adat lain juga terjadi di distrik Jambi, Bengkulu dan Lampung. Tesis yang ditawarkan kemudian memperkaya, menyajikan rincian dari sebuah daerah tertentu yang memperluas jalinan pengetahuan akademik. Namun pendekatan yang digunakannya berbeda dengan pendekatan Van Vollenhoven yang memaparkan beschikkingrecht sebagai sebuah konsep yang seragam, pembentuk identitas Indonesia yang kepulauan. Van Royen, mengemuakan dalam tesisnya bahwa pola pemanfaatan tanah harus secara tepat dipandang sebagai bawaan dan terus berkembang, bukannya sebagai kesesuaian yang tidak sempurna atau secuplik dari sebuah pola utama atau asli. Lihat ADAT DALAM POLITIK INDONESIA, (editor Jamie S. Davidson dkk), KITLV, Jakarta, 2010, hal. 89.