Istilah senamat masih
menimbulkan berbagai versi. Versi pertama menyebutkan, kata senamat
berasal dari istilah “seni amat”. Seni amat berarti adik
bungsu. Atau terkecil. Sebagai adik bungsu atau terkecil
ditandai dengan Batu patah sembilan (Menhir). Sedangkan versi
kedua menyebutkan arti kata senamat berasal dari istilah senang
amat. Senang amat berarti hidup senang1.
Senamat Ulu berada
didalam administrasi Kecamatan Bathin III Ulu. Bathin III terdiri
dari Bathin IIII ilir yang berpusat di Muara Bungo dan Bathin III Ulu
yang berpusat di Muara Buat.
Didalam dokumen-dokumen
Belanda wilayah Jambi sebagai bagian dari kekuasaan Belanda dapat
dilihat pada Peta Belanda seperti Schetkaart Resintie Djambi
Adatgemeenschappen (Marga’s), Tahun 1910, Skala 1:750.000,
Schetskaart Van de Residentie Djambi, Tahun 1906, Skala 1 :
500.000, Schetskaart Van de Residentie Djambi, Bewerkt door het
Encyclopaedisch Bureau 1922 – 1923, telah jelas menerangkan posisi
Bathin III Ulu termasuk kedalam Residentie Jambi.
Didalam peta kemudian
disebutkan Bathin III Ulu dengan pusat Bathin terletak di Muara Buat
berbatasan dengan Bathin VII yang berpusat di Rantau Pandan. Margo
Pelepat yang berpusat di Rantau Keloyang, Tanah Sepenggal yang
berpusat di Lubuk Landai dan Bilangan V yang berpusat di Tanah
Tumbuh.
Namun yang unik. Apabila
Senamat Ulu masuk kedalam Bathin III Ulu, sedangkan Desa Senamat
malah masuk kedalam Margo Pelepat. Jauh sekali letaknya.
Menghubungkan Senamat Ulu
dengan Senamat ditandai dengan Batang Senamat. Desa Senamat Ulu
merupakan hulu dari Sungai Senamat yang kemudian mengalir ke Batang
Pelepat melewati Desa Senamat.
Bathin III Ulu terdiri
dari Batang Buat, Muara Buat dan Batang Bungo2.
Muara Buat terdiri dari
kampung Dusun Senamat Ulu, Lubuk Beringin dan Aur Chino. Kampung
kemudian dipimpin yang diberi gelar “rio”.
Sistem pemerintahan ini
kemudian digantikan dengan sistem pemerintahan Desa berdasarkan UU
No. 5 tahun 1979. Namun dalam pemerintahan kabupaten Bungo kemudian
dikembalikan dengan Sistem Pemerintahan Dusun dengan dikepalai “Rio”.
Dusun terdiri dari beberapa kampung.
Dalam literatur
Onderafdeeling Muarabungo, Bungo, Sarolangun dan sebagian dari
Muara Tebo dan Muara Tembesi. F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar,
Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938, disebutkan “di daerah
hulu Sungai Batanghari, masyarakat mengenal dusun sebagai
pemerintahan terendah (village government). Dusun terdiri dari
beberapa kampung, Mengepalai Kepala Dusun adalah Depati. Dibawah
Depati adalah Mangku. Dusun-dusun kemudian menjadi Margo3.
Pembagian kekuasaan dalam negeri atau dusun di daerah hulu adalah
bathin dengan gelar Rio, Rio Depati atau Depati, di daerah hilir
penguasanya adalah Penghulu atau Mangku dibantu oleh seorang Menti
(penyiar, tukang memberi pengumuman)
Sedangkan Margo mencakup mencakup setiap
Dusun yang terdiri dari Bathin. Mengepalai Margo
biasa dikenal dengan nama Pesirah.
Baca : Istilah Marga di Jambi
1Rio
Dusun Senamat Ulu
2Mantan
Rio Dusun Senamat Ulu
3Istilah
Marga telah dikemukakan oleh J.W.Royen, seorang pegawai Pemerintahan
Kolonial yang sedang cuti dalam disertasinya (1927). Studi ini
mengenai hak-hak atas tanah dan air dari Marga, yakni suatu unit
komunitas yang murni bersifat teritorial di Palembang, satu dari
empat bagian di wilayah hukum Sumatera Selatan. Selain Palembang,
bagian hukum adat lain juga terjadi di distrik Jambi, Bengkulu dan
Lampung. Tesis yang ditawarkan kemudian memperkaya, menyajikan
rincian dari sebuah daerah tertentu yang memperluas jalinan
pengetahuan akademik. Namun pendekatan yang digunakannya berbeda
dengan pendekatan Van Vollenhoven yang memaparkan beschikkingrecht
sebagai sebuah konsep yang seragam, pembentuk identitas Indonesia
yang kepulauan. Van Royen, mengemuakan dalam tesisnya bahwa pola
pemanfaatan tanah harus secara tepat dipandang sebagai bawaan dan
terus berkembang, bukannya sebagai kesesuaian yang tidak sempurna
atau secuplik dari sebuah pola utama atau asli. Lihat ADAT DALAM
POLITIK INDONESIA, (editor Jamie S. Davidson dkk), KITLV, Jakarta,
2010, hal. 89.