Secara
tidak sengaja, setahun yang lalu saya menaiki pesawat Citilink di
terminal 1 C Bandara Soekarna – Hatta. Saya kaget ternyata ada
penerbangan Jakarta-Lubuk Linggau.
Setahu saya, saya hanya mengetahui Jakarta- Bungo.
Namun tulisan terpampang jelas “Jakarta- Lubuk Linggau”membuat saya penasaran.
Penasaran
pertama, saya tidak mengetahui perkembangan yang begitu cepat di
Lubuk Linggau. Padahal Lubuk Linggau sudah menjadi bagian penting
informasi. Selain saya sekolah dan dibesarkan di Bungo, Jarak Bungo –
Linggau dapat ditempuh dengan jarak 4 jam dengan kondisi jalan Trans
Sumatera yang dapat dipacu kendaraan hingga kemampuan maksimal.
Kedua.
Perjalanan rutin ke Bengkulu dari Jambi harus melewati Lubuk Linggau.
Dan
kekagetan itu kemudian saya rasakan, perkembangan Linggau yang
berkembang begitu cepat.
Entah
memang sudah ditakdirkan “merasakan sensasi” menaiki pesawat
dengan pelayanan lokal, saya kemudian berkesempatan menaiki pesawat
di Linggau. Ya. Pertemuan di Palembang lebih simpel dari Linggau
daripada saya harus ke Jambi dulu ke Jakarta baru ke Palembang.
Mengikuti
jadwal yang tersusun, mepetnya waktu, hingga mengambil pilihan
menaiki pesawat merupakan salah satu prioritas untuk menempuh dari
Linggau.
Perjalanan
dari Bungo turun ke lapangan hari minggu dan senin membuat rencana
harus disusun rapi. Senin malam usai menghadiri sebuah pertemuan
penting, mobil dipacu kencang mengejar jadwal pesawat selasa pukul
11.50. Perjalanan dari lokasi ke Bungo ditempuh waktu 2 jam. Tanpa
basa-basi, setelah di Bungo langsung dikebut ke Linggau (4 jam waktu
normal).
Jam
9 pagi sudah berada di Linggau dan langsung ke Bandara. Saya harus
“memastikan” menanyakan informasi ke bandara. Selain karena
memang tidak ada petunjuk di jalan raya, jalan menuju bandara
“seakan-akan” kita hendak pergi ke kebun. Tidak ada nampak
tanda-tanda “aktivitas” ke bandara.
Jangan
membayangkan kita memasuki ke bandara seperti memasuki terminal yang
begitu prima. Jauh sekali kesan itu harus kita tinggalkan.
Sebagai
bandara yang “sedang berproses”, jalan menuju ke bandara “masih
becek. Kendaraan belum bisa masuk, karena jalanan sedang diperbaiki.
Tulisan Bandar Udara “Silampari” hanya penanda, tempat yang kita
tuju memang bandara di Linggau. “Tidak serius nih bandara” ujar
Wak nick sambil bersungut-sungut mencari jalan menghindari becek.
Begitu
juga ketika sudah masuk ke bandara. Jangan dibayangkan, lalu lalang
penumpang bandara. Atau coffeshop yang berjejer di depan terminal.
Ya.
Penumpang masih sepi. Dan sambil guyon photo saya kemudian saya
kirimi ke teman2. Menunggu di Coffeshop ala Linggau. Teman-teman
kemudian tertawa ngakak. Itu bukan Coffeshop tapi “kedai kopi”
Setelah
mengambil tiket (saya telah memesan via internet), saya kemudian
check in didalam bandara. Dan sayapun tersenyum-senyum melihat
“airport tax” yang ditetapkan di Bandara Silampari. Tertera jelas
“Rp 8.000,- (delapan ribu rupiah).
Saya
kembali menunggu di “coffeshop” ala Linggau. Menunggu diluar
lebih menyenangkan daripada didalam bandara. Sekalian melihat-lihat
kondisi bandara dan berbagai informasi untuk menambah pengalaman.
Lubuk
Linggau salah satu kota yang cukup maju. Di tengah perlintasan Trans
Sumatera, kemajuan Linggau ditandai dengan berbagai simbol-simbol
modern. Entah makanan, pertokoan dan simbol-simbol lainnya.
Kemajuan
ini kemudian dirasakan oleh masyarakat Linggau. Linggau kemudian
menjadi salah satu pusat pertukaran bisnis dan tempat bertemu
berbagai daerah didalam transaksi bisnis.
Posisi
Linggau yang “tidak pernah” kebanjiran dan musim kering
menyebabkan tempat yang menarik untuk berbisnis. Kemajuan Linggau
ditandai selain dengan sibuknya aktivitas masyarakat, sistem
pemerintahan berbentuk kotamadya dan menampakkan kota yang sudah siap
memasuki modern.
Perhitungan
bisnis dan visi pemerintah kota Linggau “mempersiapkan” bandara,
dengan runway hingga 3.000 meter dan alam yang landai dikelilingi
bukit-bukit menyebabkan dan menjadikan Linggau berbeda dengan
daerah-daerah lain. Linggau kemudian cepat bergerak maju meninggalkan
daerah-daerah lain. Dan kesediaan maskapai “Aviastar” dan rencana
Sriwijaya Air untuk landing di Linggau sebagai bukti, Linggau dalam
kancah penerbangan cukup diperhitungkan.
Penerbangan
dibuka dua kali seminggu. Hari Selasa dan kamis. Pesawat Aviastar
menempuh rute Jakarta-Linggau, kemudian Linggau-Palembang,
Palembang-linggau, barulah Linggau – Jakarta. Dengan penerbangan
rutin seperti ini, maka Linggau salah satu alternatif bandara di
daerah selain di Bungo.
Lebih
2 jam saya menunggu di Coffeshop ala Linggau. Saya bosan duduk diluar
dan masuk di ruang tunggu didalam bandara. Pesawat kemudian turun dan
“delay” 20 menit dari jadwal ditentukan. Keren juga. Di bandara
“lokal”, delay cuma 20 menit.
Menaiki
pesawat Aviastar dengan tulisan “spanyol” mengingatkan saya jenis
pesawat dari Spanyol. Cassa dan Cesna yang mengembangkan program
aplikasi lebih lanjut dengan B.J Habibie. Ambisi B.J Habibie yang
mengembangkan dengan program C-125 dan C250 kemudian dihentikan dalam
krisis ekonomi tahun 1998. IMF dan World Bank menolak program
pengembangan dan dianggap “memboroskan” keuangan negara.
Indonesia dianggap lebih membutuhkan beras, ketan daripada high
teknologi.
Indonesia
kemudian mencatat “sikap Amerika” dan Eropa ketika Lion Air
membeli puluhan unit dari Boeing dan Airbus. Bahkan Presiden Obama
dan Presiden Perancis sendiri yang menyaksikan pembelian pesawat
masing-masing Boeing dan Airbus di istana negara. Indonesia kemudian
“ketinggalan” satu generasi dalam pertarungan penguasaan
dirgantara.
Mimpi
BJ Habibie dalam penguasaan dirgantara kemudian terhenti dalam
persoalan politik. Indonesia kemudian ketinggalan dalam mimpi dan
sekarang menyaksikan berbagai model pesawat dunia berseliweran di
angkasa Indonesia.
Pesawat
Aviastar merupakan “miniatur” yang pernah digagas BJ Habibie,
terhenti dan kemudian dilanjutkan di Spanyol. Pesawat Aviastar
menjalani penerbangan Jakarta-Linggau, Jakarta Bungo dan Jakarta
Ketapang. Dengan membuka penerbangan antara lokal, jangan dibayangkan
pelayanan tidak prima.
Sebagai
bagian dari penerbangan nasional, Aviastar “berani” membuka
jalur-jalur yang semula dianggap remeh. Aviastas sudah menjadi
pilihan utama masyarakat yang jauh dari akses-akses Propinsi.
Linggau
merupakan salah satu alternatif tempat penerbangan dari daerah-daerah
sekitarnya. Begitu juga di Bungo sebagai bandara yang rutin melakukan
penerbangan 3 kali seminggu.
Dibukanya
Bandara Silampari dan bandara di Bungo menjadikan berbagai pilihan
yang cukup menguntungkan masyarakat Sarolangun. Dengan jarak tempuh 2
jam baik ke Bungo maupun Linggau, menjadikan masyarakat Sarolangun
dapat tenang ke jakarta dengan banyak pilihan. Waktu tempuh ke Jambi
juga tidak begitu lama. 3 jam.
Aviastar
tetap memberikan pelayanan prima. Dengan pramugari yang ramah,
penerbangan 30 menit tidak terasa kemudian turun di Bandara
Palembang. Sehingga tidak salah kemudian, kita merasakan “sensasi”
lokal dengan pelayanan prima.
Bandara
Silampari sudah berani bermimpi menjadikan bandara pilihan utama
masyarakat di sekitar Kota Linggau.
Baca : BEDA PESAWAT BEDA PENUMPANG