19 November 2014

opini musri nauli : MERASAKAN SENSASI PELAYANAN LOKAL

Secara tidak sengaja, setahun yang lalu saya menaiki pesawat Citilink di terminal 1 C Bandara Soekarna – Hatta. Saya kaget ternyata ada penerbangan Jakarta-Lubuk Linggau. 


Setahu saya, saya hanya mengetahui Jakarta- Bungo.

Namun tulisan terpampang jelas “Jakarta- Lubuk Linggau”membuat saya penasaran.

Penasaran pertama, saya tidak mengetahui perkembangan yang begitu cepat di Lubuk Linggau. Padahal Lubuk Linggau sudah menjadi bagian penting informasi. Selain saya sekolah dan dibesarkan di Bungo, Jarak Bungo – Linggau dapat ditempuh dengan jarak 4 jam dengan kondisi jalan Trans Sumatera yang dapat dipacu kendaraan hingga kemampuan maksimal.

Kedua. Perjalanan rutin ke Bengkulu dari Jambi harus melewati Lubuk Linggau.
Dan kekagetan itu kemudian saya rasakan, perkembangan Linggau yang berkembang begitu cepat.

Entah memang sudah ditakdirkan “merasakan sensasi” menaiki pesawat dengan pelayanan lokal, saya kemudian berkesempatan menaiki pesawat di Linggau. Ya. Pertemuan di Palembang lebih simpel dari Linggau daripada saya harus ke Jambi dulu ke Jakarta baru ke Palembang.

Mengikuti jadwal yang tersusun, mepetnya waktu, hingga mengambil pilihan menaiki pesawat merupakan salah satu prioritas untuk menempuh dari Linggau.

Perjalanan dari Bungo turun ke lapangan hari minggu dan senin membuat rencana harus disusun rapi. Senin malam usai menghadiri sebuah pertemuan penting, mobil dipacu kencang mengejar jadwal pesawat selasa pukul 11.50. Perjalanan dari lokasi ke Bungo ditempuh waktu 2 jam. Tanpa basa-basi, setelah di Bungo langsung dikebut ke Linggau (4 jam waktu normal).

Jam 9 pagi sudah berada di Linggau dan langsung ke Bandara. Saya harus “memastikan” menanyakan informasi ke bandara. Selain karena memang tidak ada petunjuk di jalan raya, jalan menuju bandara “seakan-akan” kita hendak pergi ke kebun. Tidak ada nampak tanda-tanda “aktivitas” ke bandara.

Jangan membayangkan kita memasuki ke bandara seperti memasuki terminal yang begitu prima. Jauh sekali kesan itu harus kita tinggalkan.

Sebagai bandara yang “sedang berproses”, jalan menuju ke bandara “masih becek. Kendaraan belum bisa masuk, karena jalanan sedang diperbaiki. Tulisan Bandar Udara “Silampari” hanya penanda, tempat yang kita tuju memang bandara di Linggau. “Tidak serius nih bandara” ujar Wak nick sambil bersungut-sungut mencari jalan menghindari becek.

Begitu juga ketika sudah masuk ke bandara. Jangan dibayangkan, lalu lalang penumpang bandara. Atau coffeshop yang berjejer di depan terminal.

Ya. Penumpang masih sepi. Dan sambil guyon photo saya kemudian saya kirimi ke teman2. Menunggu di Coffeshop ala Linggau. Teman-teman kemudian tertawa ngakak. Itu bukan Coffeshop tapi “kedai kopi”

Setelah mengambil tiket (saya telah memesan via internet), saya kemudian check in didalam bandara. Dan sayapun tersenyum-senyum melihat “airport tax” yang ditetapkan di Bandara Silampari. Tertera jelas “Rp 8.000,- (delapan ribu rupiah).

Saya kembali menunggu di “coffeshop” ala Linggau. Menunggu diluar lebih menyenangkan daripada didalam bandara. Sekalian melihat-lihat kondisi bandara dan berbagai informasi untuk menambah pengalaman.

Lubuk Linggau salah satu kota yang cukup maju. Di tengah perlintasan Trans Sumatera, kemajuan Linggau ditandai dengan berbagai simbol-simbol modern. Entah makanan, pertokoan dan simbol-simbol lainnya.

Kemajuan ini kemudian dirasakan oleh masyarakat Linggau. Linggau kemudian menjadi salah satu pusat pertukaran bisnis dan tempat bertemu berbagai daerah didalam transaksi bisnis.

Posisi Linggau yang “tidak pernah” kebanjiran dan musim kering menyebabkan tempat yang menarik untuk berbisnis. Kemajuan Linggau ditandai selain dengan sibuknya aktivitas masyarakat, sistem pemerintahan berbentuk kotamadya dan menampakkan kota yang sudah siap memasuki modern.

Perhitungan bisnis dan visi pemerintah kota Linggau “mempersiapkan” bandara, dengan runway hingga 3.000 meter dan alam yang landai dikelilingi bukit-bukit menyebabkan dan menjadikan Linggau berbeda dengan daerah-daerah lain. Linggau kemudian cepat bergerak maju meninggalkan daerah-daerah lain. Dan kesediaan maskapai “Aviastar” dan rencana Sriwijaya Air untuk landing di Linggau sebagai bukti, Linggau dalam kancah penerbangan cukup diperhitungkan.

Penerbangan dibuka dua kali seminggu. Hari Selasa dan kamis. Pesawat Aviastar menempuh rute Jakarta-Linggau, kemudian Linggau-Palembang, Palembang-linggau, barulah Linggau – Jakarta. Dengan penerbangan rutin seperti ini, maka Linggau salah satu alternatif bandara di daerah selain di Bungo.

Lebih 2 jam saya menunggu di Coffeshop ala Linggau. Saya bosan duduk diluar dan masuk di ruang tunggu didalam bandara. Pesawat kemudian turun dan “delay” 20 menit dari jadwal ditentukan. Keren juga. Di bandara “lokal”, delay cuma 20 menit.

Menaiki pesawat Aviastar dengan tulisan “spanyol” mengingatkan saya jenis pesawat dari Spanyol. Cassa dan Cesna yang mengembangkan program aplikasi lebih lanjut dengan B.J Habibie. Ambisi B.J Habibie yang mengembangkan dengan program C-125 dan C250 kemudian dihentikan dalam krisis ekonomi tahun 1998. IMF dan World Bank menolak program pengembangan dan dianggap “memboroskan” keuangan negara. Indonesia dianggap lebih membutuhkan beras, ketan daripada high teknologi.

Indonesia kemudian mencatat “sikap Amerika” dan Eropa ketika Lion Air membeli puluhan unit dari Boeing dan Airbus. Bahkan Presiden Obama dan Presiden Perancis sendiri yang menyaksikan pembelian pesawat masing-masing Boeing dan Airbus di istana negara. Indonesia kemudian “ketinggalan” satu generasi dalam pertarungan penguasaan dirgantara.

Mimpi BJ Habibie dalam penguasaan dirgantara kemudian terhenti dalam persoalan politik. Indonesia kemudian ketinggalan dalam mimpi dan sekarang menyaksikan berbagai model pesawat dunia berseliweran di angkasa Indonesia.

Pesawat Aviastar merupakan “miniatur” yang pernah digagas BJ Habibie, terhenti dan kemudian dilanjutkan di Spanyol. Pesawat Aviastar menjalani penerbangan Jakarta-Linggau, Jakarta Bungo dan Jakarta Ketapang. Dengan membuka penerbangan antara lokal, jangan dibayangkan pelayanan tidak prima.

Sebagai bagian dari penerbangan nasional, Aviastar “berani” membuka jalur-jalur yang semula dianggap remeh. Aviastas sudah menjadi pilihan utama masyarakat yang jauh dari akses-akses Propinsi.

Linggau merupakan salah satu alternatif tempat penerbangan dari daerah-daerah sekitarnya. Begitu juga di Bungo sebagai bandara yang rutin melakukan penerbangan 3 kali seminggu.

Dibukanya Bandara Silampari dan bandara di Bungo menjadikan berbagai pilihan yang cukup menguntungkan masyarakat Sarolangun. Dengan jarak tempuh 2 jam baik ke Bungo maupun Linggau, menjadikan masyarakat Sarolangun dapat tenang ke jakarta dengan banyak pilihan. Waktu tempuh ke Jambi juga tidak begitu lama. 3 jam.

Aviastar tetap memberikan pelayanan prima. Dengan pramugari yang ramah, penerbangan 30 menit tidak terasa kemudian turun di Bandara Palembang. Sehingga tidak salah kemudian, kita merasakan “sensasi” lokal dengan pelayanan prima.

Bandara Silampari sudah berani bermimpi menjadikan bandara pilihan utama masyarakat di sekitar Kota Linggau.