Kolam batubara di Lahat,
Sumsel.
Eksploitasi batubara diduga merupakan faktor pendorong alih fungsi
kawasan hutan. Empat provinsi di Sumatera, yakni Sumatera Selatan, Jambi,
Bangka Belitung, dan Riau diminta KPK mencabut sejumlah izin pertambangan yang
dinilai bermasalah.
Meskipun sejumlah izin dicabut, namun Koalisi Masyarakat
Sipil Sumsel-Jambi-Babel menilai pemerintah daerah lamban merespon rekomendasi
KPK tersebut. Mereka menegaskan, pencabutan izin bukan berarti melepaskan
perusahaan dari jerat hukum.
Berdasarkan Koordinasi dan Supervisi (Korsup) KPK
tiga bulan lalu, KPK mengeluarkan rekomendasi. Yakni mencabut 121 izin yang
tumpang tindih di kawasan hutan yang berada di Bangka Belitung, 191 izin di
Sumsel, serta 198 izin di Jambi.
“Namun dalam perkembangannya hingga kini, berdasarkan
data Dirjen Minerba Kementerian ESDM, 11 November 2014, di Babel hanya 8 izin
yang dicabut, Sumsel 17 izin, sedangkan Jambi 184 Izin,” kata Hadi
Jatmiko, Direktur Walhi Sumsel saat konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil
Sumsel-Jambi-Babel, Kamis (20/11/ 2014) lalu.
“Ini menunjukkan kepala-kepala
daerah di tiga Propinsi Korsup Minerba KPK, tidak serius dan lamban dalam
melakukan penataan izin sektor pertambangan. Namun, sangat cepat dalam
mengeluarkan izin pertambangan yang merampas ruang hidup rakyat dan merusak
lingkungan hidup,” kata Hadi.
Musri Nauli, Direktur Walhi Jambi mengatakan,
“Hal penting lain yang perlu digarisbawahi oleh pemerintah adalah adanya
kepastian izin yang sudah dicabut tidak beroperasi lagi di lapangan dan
perusahaan yang telah dicabut izinnya tetap melaksakan kewajibannya.” “Kami
pesimistis perusahaan yang izinnya dicabut akan menjalankan kewajibanya untuk
melakukan reklamasi dan pasca-tambang.
Apalagi, jika tidak ada pengawalan dan
sikap tegas dari pemerintah daerah. Hal ini dikarenakan, sampai saat ini masih
banyak perusahaan yang belum menyetorkan dana reklamasi dan pasca-tambang
kepada pemerintah.
Contohnya di Sumsel, menurut Data Dirjen Pajak 2014, yang
dipresentasikan pada Korsup Minerba KPK di Palembang. Dari 359 izin
pertambangan yang ada di Sumsel baru 31 perusahaan yang menyetorkan dana
reklamasi, dan sekitar 13 perusahaan yang menyetorkan dana pasca-tambang,”
jelas Nauli.
Menurut Koalisi Masyarakat Sipil Sumsel-Jambi-Babel yang terdiri
Walhi Sumsel, Walhi Jambi, Walhi Babel, WBH, PINUS, Serikat Petani Sriwijaya,
Serikta Nelayan Bangka, dan Persatuan Nelayan Belitong, dari 2010-2013
perkiraan potensi kerugian penerimaan mencapai Rp248,693 miliar lebih di
Sumsel, Rp50,467 miliar lebih di Jambi, dan Rp6,596 miliar lebih di Bangka
Belitung. Total potensi kerugian penerimaan di tiga provinsi tersebut sebesar
Rp305,756 miliar lebih.
Direktur Walhi Babel, Ratno Budi, mengemukakan dampak
ekologis dan kemanusiaan dari ekspansi industri tambang yang sangat serius.
Bencana ekologis seperti banjir sebagai akibat dari perubahan bentang alam dan
menurunnya daya dukung lingkungan yang diakibatkan industri pertambangan.
“Di
Babel bukan saja merusak pemukiman dan pertanian masyarakat, juga telah memakan
korban jiwa. Pada 2013 misalnya, tercatat 4 orang tewas tenggelam akibat
bencana banjir di sekitar kawasan tambang. Selain itu, Industri pertambangan
juga telah memicu konflik di banyak tempat. Dari 2011-2013 terjadi 23 konflik
di tujuh kabupaten dan kota yang terkena dampak dari ekspansi pertambangan
timah,” kata Budi.
Terkait kesejahteraan, banyaknya izin pertambangan tidak
berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Misalnya di
Kabupaten Musi Banyuasin, salah satu kabupaten yang banyak menerbitkan izin
tambang, yakni sebanyak 69 izin hingga 2013.
Ternyata, tingkat kemiskinan tahun
2013 sangat tinggi, yakni mencapai 18,02 persen atau 34.277 jiwa dari total
penduduk 617.000 jiwa. Terhadap kondisi tersebut, koalisi mendesak aparat
penegak hukum untuk memperkuat penegakan hukum dan kepada pemerintah untuk
menindak tegas perusahaan tambang yang tidak patuh pada peraturan
perundang-undangan, serta mencabut izinnya.
‘Pencabutan izin tambang yang
bermasalah tidak serta merta membebaskan pelaku kejahatan pertambangan dari tuntutan
pidana. Ini harus didorong KPK dan pemerintah,” kata Anwar Sadat, Sekjen
Serikat Petani Sriwijaya (SPS). Kabupaten Empat Lawang Kamis (20/11/2014) pagi
di Palembang,
KPK melakukan monitoring dan evaluasi terhadap Korsup Minerba di
empat propinsi: Sumsel, Jambi, Babel dan Kepulauan Riau. Namun, gubernur dari
empat provinsi yang hadir hanya Alex Noerdin. Propinsi lainnya mewakilkan
pejabat di bawahnya.
Terkait pencabutan izin hingga November 2014, Sumsel
menyatakan telah mencabut 47 izin pertambangan, Jambi dengan 111 izin, Bangka
Belitung mencabut 13 izin, sedangkan Kepulauan Riau telah mencabut 66
izin.
Semua izin yang dicabut yang bermasalah. Baik berada di dalam kawasan
hutan maupun bermasalah secara administrasi. Alex Noerdin dalam presentasinya,
menyatakan telah mencabut izin pertambangan di atas hutan konservasi seluas
932,64 hektar dan hutan lindung seluas 1.200 hektar.
Namun hingga saat ini
menurutnya masih terdapat sekitar 8.116 hektar izin usaha pertambangan (IUP)
yang berada di kawasan hutan lindung yang berada di Kabupaten Empat Lawang.
“Saya berharap Pemerintah Kabupaten Empat Lawang segera mencabut izin
pertambangan yang berada di kawasan hutan lindung, maksimal sampai akhir
Desember 2014,” kata Alex Noerdin. Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan
Green Radio - See more at:
http://www.peradi.or.id/index.php/berita/detail/izin-tambang-dicabut-apakah-jerat-hukum-tetap-dilakukan#sthash.4QvgBH7u.dpuf