Akhir-akhir ini kita
disodorkan berita mengerikan. Korban-korban tambang akibat
eksploitasi penambangan emas tanpa izin (PETI).
Awal bulan Desember, tiga
orang tewas setelah masuk ke lubang jarum di Desa parti Tanjung
Kecamatan Renah Pembarap, Merangin.
Kejadian ini bukan
pertama kali. Dua bulan sebelumnya, dua orang warga Desa Muara
Bantan, Kecamatan Renah Pembarap juga mengalami nasib yang sama.
Tewas akibat tanah longsor saat bekerja di areal PETI.
Angka-angka korban terus
berjatuhan setelah sebelumnya bulan Mei, Empat orang tewas tertimbun
longsor lokasi tambang emas di Desa Rantau Padangjering, Kecamatan
Batangasai, Kabupaten Sarolangun,
Sedangkan bulan September
tahun lalu, Sedikitnya dua buruh penambang emas ilegal tewas, setelah
tertimbun hidup-hidup dalam lubang galian mereka di kawasan Dusun
Sungai Benteng Desa Mounti, Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun.
Angka-angka ini mewakili
kesuraman hancurnya kekayaan sumber daya alam yang tidak dikelola
dengan baik. Padahal masih lekat dalam ingatan, ketika tahun lalu
Razia penambang tanpa izin di Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi,
berakhir dengan bentrokan antara para penambang dengan polisi.
Akibatnya, 2 penambang tewas dan 1 anggota Brimob tewas.
Disatu sisi, hasil temuan
KPK (Korsup KPK), 50 % areal tambang di Jambi belum tahap clean and
clear. Dengan demikian, maka dari 398 Izin Usaha Pertambangan (IUP),
terdiri dari 21 IUP pertambangan mineral dan 377 IUP pertambangan
batubara sudah bisa dipastikan sebagian besar bermasalah.
Belum lagi pemberian izin
tambang di areal yang dilarang oleh UU. Data dari Dirjen Kementerian
Kehutanan menunjukkan sebanyak 14 perusahaan tambang beroperasi di
dalam kawasan hutan lindung dan hutan konservasi di Provinsi Jambi.
Jumlah perusahaan yang
beroperasi di dalam hutan lindung sebanyak 5 perusahaan. Hutan
lindung yang digunakan untuk pembukaan tambang seluas 63,6 ribu
hektar.
Kelima perusahaan adalah PT Aneka Tambang (Antam) seluas
5.664 hektar, PT Delapan Inti Power seluas 281 hektar, PT Jambi Gold
seluas 49,9 ribu hektar, PT Semen Baturaja seluas 671 hektar, dan PT
Tunas Prima Coal seluas 7 ribu hektar.
Hutan yang beroperasi di
dalam kawasan hutan konservasi sebanyak 9 perusahaan, dengan total
luas hutan konservasi yang digunakan untuk pembukaan tambang 6,3 ribu
hektar.
Kesembilan perusahaan
adalah PT Abdi Pertiwi Loka seluas 1.548 hektar, PT Antam seluas 429
hektar, PT Arta Bevimdo Mandiri seluas 1.937 hektar, PT Batu Alam
Jayamandiri seluas 49 hektar, PT Geomineral Bara Perkasa seluas 31
hektar.
Selanjutnya, PT Jambi Gold seluas 6 hektar, PT Tunas
Prima Coal seluas 132 hektar, PT Wilson Citra Mandiri seluas 70
hektar, dan PT Sarwa Sembada Karya Bumi seluas 2 ribu hektar.
Dalam aturannya, Hutan
Lindung dan Hutan Konservasi tidak boleh digunakan untuk pembukaan
pertambangan. Yang diperbolehkan adalah Hutan Produksi, itu pun harus
melalui proses Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Didalam pertemuan Koalisi
Masyarakat Sipil Sumsel-Jambi-Babel untuk Perbaikan Tata Kelola
Minerba, melalui momentum Koordinasi dan Supervisi (Korsup) KPK,
sejak tahun 2010 hingga 2013 perkiraan potensi kerugian penerimaan
mencapai Rp. 248,693 Miliar lebih di Sumsel; Rp 50,467 Miliar lebih
di Jambi; dan Rp.6,596 Miliar lebih di Bangka Belitung. Dengan
demikian total potensi kerugian penerimaan di tiga provinsi tersebut
adalah sebesar Rp. 305,757 Miliar lebih.
Asumsi angka ditemukan
dengan menghitung land rents yang mengacu pada PP No. 9 Tahun 2012
tentang Tarif dan Jenis Penerimaan Bukan Pajak, diperoleh selisih
yang signifikan antara potensi penerimaan daerah dan realisasinya.
Selisih antara realisasi penerimaan daerah dengan potensinya yang
disebut-sebut sebagai potensi kehilangan penerimaan (potential
lost).
Tambang dan Kemiskinan
Banyaknya izin
pertambangan tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan
masyarakat. Selain hasil tambang digunakan untuk konsumsi (seperti
membeli televisi, rumah, kendaraan dan barang-barang konsumsif
lainnya), tingkat kekerasan mulai terjadi di sekitar tambang.
Beredarnya minuman keras, kejahatan kesusilaan, meningginya tingkat
pencurian.
Selain itu, pemberian
izin tambang sama sekali tidak mampu meningkatkan tingkat pendidikan.
Hampir praktis, pemberian izin di sekitar kawasan masyarakat, justru
rata-rata tingkat pendidikan jauh dibawah daerah-daerah yang tidak
mempunyai izin pertambangan.
Sudah saatnya pemberian
tambang dihentikan. Pencabutan izin tidak hanya melihat aspek
administrasi perizinan dan penerimaan negara, tetapi juga melihat
aspek kerusakan lingkungan, pencemaran, kawasan penting terhadap
lingkungan hidup, konflik perusahaan tambang dengan masyarakat lokal
dan bencana ekologi.
Selain itu juga harus
dipastikan izin yang sudah dicabut tidak beroperasi lagi di lapangan
dan perusahaan yang telah dicabut izinnya tetap melaksanakan
kewajibannya, membayar royalti, jaminan reklamasi, pajak yang
tertunggak.
Kita menunggu langkah
kongkrit dari Pemerintah daerah di Jambi.