14 Desember 2014

opini musri nauli : TAMBANG DAN KEMISKINAN



Akhir-akhir ini kita disodorkan berita mengerikan. Korban-korban tambang akibat eksploitasi penambangan emas tanpa izin (PETI).

Awal bulan Desember, tiga orang tewas setelah masuk ke lubang jarum di Desa parti Tanjung Kecamatan Renah Pembarap, Merangin.
Kejadian ini bukan pertama kali. Dua bulan sebelumnya, dua orang warga Desa Muara Bantan, Kecamatan Renah Pembarap juga mengalami nasib yang sama. Tewas akibat tanah longsor saat bekerja di areal PETI.

Angka-angka korban terus berjatuhan setelah sebelumnya bulan Mei, Empat orang tewas tertimbun longsor lokasi tambang emas di Desa Rantau Padangjering, Kecamatan Batangasai, Kabupaten Sarolangun,

Sedangkan bulan September tahun lalu, Sedikitnya dua buruh penambang emas ilegal tewas, setelah tertimbun hidup-hidup dalam lubang galian mereka di kawasan Dusun Sungai Benteng Desa Mounti, Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun.

Angka-angka ini mewakili kesuraman hancurnya kekayaan sumber daya alam yang tidak dikelola dengan baik. Padahal masih lekat dalam ingatan, ketika tahun lalu Razia penambang tanpa izin di Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi, berakhir dengan bentrokan antara para penambang dengan polisi. Akibatnya, 2 penambang tewas dan 1 anggota Brimob tewas.

Disatu sisi, hasil temuan KPK (Korsup KPK), 50 % areal tambang di Jambi belum tahap clean and clear. Dengan demikian, maka dari 398 Izin Usaha Pertambangan (IUP), terdiri dari 21 IUP pertambangan mineral dan 377 IUP pertambangan batubara sudah bisa dipastikan sebagian besar bermasalah.

Belum lagi pemberian izin tambang di areal yang dilarang oleh UU. Data dari Dirjen Kementerian Kehutanan menunjukkan sebanyak 14 perusahaan tambang beroperasi di dalam kawasan hutan lindung dan hutan konservasi di Provinsi Jambi.

Jumlah perusahaan yang beroperasi di dalam hutan lindung sebanyak 5 perusahaan. Hutan lindung yang digunakan untuk pembukaan tambang seluas 63,6 ribu hektar.

Kelima perusahaan adalah PT Aneka Tambang (Antam) seluas 5.664 hektar, PT Delapan Inti Power seluas 281 hektar, PT Jambi Gold seluas 49,9 ribu hektar, PT Semen Baturaja seluas 671 hektar, dan PT Tunas Prima Coal seluas 7 ribu hektar.



Hutan yang beroperasi di dalam kawasan hutan konservasi sebanyak 9 perusahaan, dengan total luas hutan konservasi yang digunakan untuk pembukaan tambang 6,3 ribu hektar.



Kesembilan perusahaan adalah PT Abdi Pertiwi Loka seluas 1.548 hektar, PT Antam seluas 429 hektar, PT Arta Bevimdo Mandiri seluas 1.937 hektar, PT Batu Alam Jayamandiri seluas 49 hektar, PT Geomineral Bara Perkasa seluas 31 hektar.

Selanjutnya, PT Jambi Gold seluas 6 hektar, PT Tunas Prima Coal seluas 132 hektar, PT Wilson Citra Mandiri seluas 70 hektar, dan PT Sarwa Sembada Karya Bumi seluas 2 ribu hektar.



Dalam aturannya, Hutan Lindung dan Hutan Konservasi tidak boleh digunakan untuk pembukaan pertambangan. Yang diperbolehkan adalah Hutan Produksi, itu pun harus melalui proses Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan

Didalam pertemuan Koalisi Masyarakat Sipil Sumsel-Jambi-Babel untuk Perbaikan Tata Kelola Minerba, melalui momentum Koordinasi dan Supervisi (Korsup) KPK, sejak tahun 2010 hingga 2013 perkiraan potensi kerugian penerimaan mencapai Rp. 248,693 Miliar lebih di Sumsel; Rp 50,467 Miliar lebih di Jambi; dan Rp.6,596 Miliar lebih di Bangka Belitung. Dengan demikian total potensi kerugian penerimaan di tiga provinsi tersebut adalah sebesar Rp. 305,757 Miliar lebih.

Asumsi angka ditemukan dengan menghitung land rents yang mengacu pada PP No. 9 Tahun 2012 tentang Tarif dan Jenis Penerimaan Bukan Pajak, diperoleh selisih yang signifikan antara potensi penerimaan daerah dan realisasinya. Selisih antara realisasi penerimaan daerah dengan potensinya yang disebut-sebut sebagai potensi kehilangan penerimaan (potential lost).

Tambang dan Kemiskinan

Banyaknya izin pertambangan tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Selain hasil tambang digunakan untuk konsumsi (seperti membeli televisi, rumah, kendaraan dan barang-barang konsumsif lainnya), tingkat kekerasan mulai terjadi di sekitar tambang. Beredarnya minuman keras, kejahatan kesusilaan, meningginya tingkat pencurian.

Selain itu, pemberian izin tambang sama sekali tidak mampu meningkatkan tingkat pendidikan. Hampir praktis, pemberian izin di sekitar kawasan masyarakat, justru rata-rata tingkat pendidikan jauh dibawah daerah-daerah yang tidak mempunyai izin pertambangan.

Sudah saatnya pemberian tambang dihentikan. Pencabutan izin tidak hanya melihat aspek administrasi perizinan dan penerimaan negara, tetapi juga melihat aspek kerusakan lingkungan, pencemaran, kawasan penting terhadap lingkungan hidup, konflik perusahaan tambang dengan masyarakat lokal dan bencana ekologi.

Selain itu juga harus dipastikan izin yang sudah dicabut tidak beroperasi lagi di lapangan dan perusahaan yang telah dicabut izinnya tetap melaksanakan kewajibannya, membayar royalti, jaminan reklamasi, pajak yang tertunggak.

Kita menunggu langkah kongkrit dari Pemerintah daerah di Jambi.