04 Juni 2015

opini musri nauli : Status Lingkungan Hidup di Jambi


Untuk mengukur status lingkungan  hidup di Jambi dilakukan dengan berbagai instrument. Instrumen pertama digunakan adalah merujuk kepada UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU Lingkungan Hidup). Didalam mekanisme ini digunakan dengan istilah “daya dukung[1] dan daya tampung[2]” lingkungan hidup.

Mekanisme ini merupakan salah satu bentuk “Tindakan pengaman akibat pembangunan yang berdampak kepada lingkungna hidup” (safe guard). Didalam Pasal 7 ayat (2) UU Lingkungan Hidup menyatakan bahwa penetapan wilayah ekoregion dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesamaan (karakteristik bentang alam, daerah aliran sungai, iklim, flora dan fauna, sosial budaya,ekonomi, kelembagaan masyarakat dan hasil inventarisasi lingkungan hidup.

Menggunakan analisis daya dukung merupakan suatu cara dan alat untuk merencanakan pembangunan dan memberikan gambaran yang utuh, lengkap dan melibatkan antara hubungan antara penduduk, penggunaan lahan dan lingkungan (holistik).

Mekanisme ini kemudian juga disandarkan untuk mengetahui tingkat toleransi dan ambang batas daya dukung lingkungan dan bisa dijadikan dasar untuk mengetahui akibat aktivitas manusia terhadap lingkungan hidup. Mekanisme ini juga dapat menghitung daya rusak terhadap lingkungan.

Safeguard lingkungan hidup dilakukan untuk melakukan penilaian secara sistematik terhadap penanganan, pengurangan dan pengelolaan resiko lingkungan hidup (cara beradaptasi). Sasaran  yang ditujukan dengna memperhatikan tiga aspek. Pertama. akibat pembangunan yang berdampak lingkungan atau (PAP – Potentially Affected People). Kedua warga terasing dan rentan (IVP – Isolated and Vulnerable People). Ketiga. warga yang terkena dampak pemindahan (DP – displaced people), secara memadai.

Dengan mengukur instrument mutu Lingkungan Hidup berdasarkan UU Lingkungan Hidup di Jambi, maka analisis lebih tajam dapat dipergunakan.

Instumen Kedua adalah membicarakan hak. Dengan mengukur instrument mutu lingkungan hidup berdasarkan HAM. Didalam pasal 28H ayat (1) UUD 1945 Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat  (the rights to healthful and deccen environemen) merupakan hak asasi. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat ini menjadi penopang bagi hak-hak dasar manusia lainnya.

Menggunakan kata “lingkungan hidup yang baik dan sehat” merupakan salah satu instrument untuk mengukur derajat mutu lingkungan yang merupakan hak dari rakyat.

Kata “lingkungan hidup” diteruskan dengan kalimat “yang baik dan sehat” merupakan sebuah perwujudan sederhana untuk menilai indek mutu lingkungna hidup.

Ketiga. Mengukur instrument mutu lingkungan hidup berdasarkan pengetahuan  (scientific). Instrument yang digunakan dengna mengggunakan indeks udara, air dan tanah. Hasil pengukuran dari berbagai peristiwa memberikan penilaian dari lingkungan hidup dan cara beradaptasi masyarakat (mitigasi) menghadapi perubahan lingkungna hidup.

Indeks yang digunakan berupa udara ketika musim panas yang kemudian mengakibatkan kebakaran hutan, air di sungai batanghari yang diindikasikan “tercemar” limbah berbahaya seperti merkuri hingga kesuburan tanah akibat alih fungsi lahan untuk perkebunan sawit atau pertambangan dan penggunakan pestisida.

Keempat. mengukur instrument mutu lingkungan hidup dengan kondisi faktual.
Mekanisme ini digunakan dengan menggali informasi kunci di tengah masyarakat. Baik terhadap penurunan mutu lingkungan dari kehidupan sehari-hari, hilangnya biodiversity hingga tumbuhan endemik.

Selain itu juga, perubahan dan penurunan mutu lingkungan hidup juga dilihat dari dua aspek. Pertama. Akibat campur tangan manusia[3]. Kedua. Perubahan iklim global yang mempengaruhi lingkungan hidup di Jambi[4].

Dengan menggunakan empat instrument mutu lingkungan hidup, maka berdasarkan hasil pertemuan berbagai pemangku kepentingna (stakeholders) dan analisis dokumen, maka didapatkan hasil sebagai berikut :

1.     Bahwa penurunan mutu lingkungan hidup dimulai dari penghancuran hutan (deforestrasi).

Laju kerusakan hutan mencapai 871.776 hektare (ha) selama tiga tahun terakhir[5]. Angka ini melebihi angka deforestrasi nasional yang mencapai 613 ribu hektar.[6]

Laju kerusakan hutan (deforestrasi) menyebabkan luas lahan kritis di Provinsi Jambi pada tahun 2007 yaitu 618.891 ha (kritis 614.117 ha dan sangat kritis 4.774 ha). Pada tahun 2011 luas lahan kritis meningkat menjadi 1.420.602 ha (kritis 341.685 ha dan sangat kritis 1.078.917 ha)[7].

Dalam catatan Walhi, ada tiga periodesasi. Pertama. Penghancuran hutan untuk industri kehutanan (HPH dan HTI[8]). Kedua. Pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit[9]. Ketiga Penghancuran hutan untuk pertambangan.

Penghancuran hutan untuk industri kehutanan tidak hanya berkurangnya tutupan hutan di Jambi. Walhi Jambi mencatat, pembukaan hutan untuk industri tidak hanya sekedar berkurangnya tutupan hutan (forest cover). Namun Memutuskan mata rantai ekosistem antara manusia dengan hutan, Hilangnya biodiversity, Pergeseran nilai-nilai magis adat terhadap hutan, Hilangnya kandungan obat alam. Kesemuanya kemudian menyebabkan Rakyat sebagai “penguasa” hutan[10] kemudian menjadi penonton.

Periodesasi kedua yaitu pembukaan hutan untuk perkebunan besar kelapa sawit. Pola perkebunan skala besar monokultur telah memangkas berbagai mata rantai ekosistem yang kemudian melahirkan pertumbuhan eksponensial hama bagi pertanian. Begitupun dengan konflik dengan satwa liar yang masuk ke pemukiman atau area kelola komunitas akibat perubahan yang masive terhadap habitatnya. Tidak sedikit juga kawasan persawahaan komunitas di sumatera yang terbengkalai atau berubah fungsi akibat turunnya debit air pasca perubahan kawasan resapan menjadi perkebunan kelapa sawit. Sehingga menyebabkan pemilik tanah kemudian menjadi pekerja industri sawit.

Periodesasi ketiga yaitu penghancuran hutan untuk pertambangan. Pemberian izin tambang yang sudah mencapai 1,092 juta hektar (seperempat wilayah Jambi)[11] ternyata bermasalah. Dari 398 Izin Usaha Pertambangan (IUP), terdiri dari 21 IUP pertambangan mineral dan 377 IUP pertambangan batubara, sebagian besar (50%) kemudian dinyatakan belum clear and clean (CnC). Hasil korsup KPK tahun 2014, Dari 190 yang direkomendasikan untuk dicabut, 141 baru dicabut[12]

Dari hasil investigasi, KPK memastikan Jumlah perusahaan yang beroperasi di dalam hutan lindung sebanyak 5 perusahaan. Hutan lindung yang digunakan untuk pembukaan tambang seluas 63,6 ribu hektar.


Kelima perusahaan adalah PT Aneka Tambang (Antam) seluas 5.664 hektar , PT Delapan Inti Power seluas 281 hektar, PT Jambi Gold seluas 49,9 ribu hektar, PT Semen Baturaja seluas 671 hektar, dan PT Tunas Prima Coal seluas 7 ribu hektar.



Persoalan tambang tidak hanya merugikan negara[13], tapi juga menyebabkan berbagai persoalan. Selain mengakibatkan jalan hancur[14] dan tempat-tempat tambang tidak layak dihuni juga menyebabkan konflik horizontal di tengah masyarakat.

Belum lagi aktivitas pertambangan yang mengakibatkan Sungai Batanghari tercemar Merkuri.  Menurut pakar ekotoksikologi Institut Pertanian Bogor, Etty Riani menyebutkan Semua polutan itu berbahaya, tetapi yang tergawat adalah merkuri, yang dipakai dalam pemurnian emas. Cukup 0,01 miligram per liter (mg/l), logam berat itu sudah menyebabkan kematian. Dalam konsentrasi yang lebih rendah pun sangat berbahaya. Merkuri dalam tubuh bersifat akumulatif.

Masuknya Merkuri alias air raksa (Hydrargyrum, Hg) dapat menginfiltrasi jaringan dalam tubuh. Akibatnya, jaringan dan organ rusak, janin cacat, serta intelektualitas (IQ) jongkok. ”Kematian biasanya tidak cepat datang. Pelan, tetapi pasti[15]

Bahkan dokumen AMDAL pada praktiknya kebanyakan hanya sebagai pelengkap saja untuk memenuhi syarat administrasi dalam pengajuan perizinan[16]

Semua aktivitas pertambangan kemudian menjadikan “rakyat hanya menikmati debu”. Lingkungan hidup tidak lagi bisa diperbaiki. Industri keruk bumi kemudian meninggalkan lubang-lubang yang menganga tanpa reklamasi tambang.

2.     Berkurangnya tutupan hutan primar (cover forest) dan deforestrasi kemudian menyebabkan berkurangnya fungsi hutan sebagai penahan air.

Akibatnya, daya dukung hutan menjadi berkurang. Selain itu, penggundulan hutan dapat menyebabkan terjadi banjir[17] dan erosi. Daerah-daerah yang sebelumnya tidak pernah mengalami kebanjiran kemudian mengalami kebanjiran setiap musim hujan tiba. Selain itu timbulnya konflik satwa dengan manusia. Konflik Gajah di sekitar Lanscape Bukit Tiga Puluh di sekitar Taman nasional Bukit Tigapuluh daerah Tebo sering mengalami konflik dengan manusia. Ada sekitar 150 konflik setahun.[18] Sedangkan seringnya peristiwa harimau masuk kampung dan mengakibatkan korban manusia menimbulkan konflik 50 kali setahun. Munculnya konflik satwa disebabkan areal kawasan habitat satwa sudah semakin menyempitnya dengan pembukaan hutan oleh perusahaan perkayuan, pembukaan kebun sawit skala besar dan pertambangan.

Selain itu negara tidak mampu menjaga kawasan hutan. Penurunan luasan tutupan lahan hutan Jambi selama kurun waktu 10 tahun berkurang sebesar 1 juta hektar. Dari 2,4 juta hektar pada tahun 1990 menjadi 1,4 juta hektar pada tahun 2000 atau sebesar 29,66 persen dari total luas wilayah Jambi. Pengurangan tutupan lahan hutan ini terjadi di dataran rendah dan pegunungan, yaitu 435 ribu hektar. Sisanya terjadi di lahan rawa gambut[19].

3.     Selain mengakibatkan deforestrasi juga disebabkan “rakus lahan”

Dengan Luas kawasan hutan Jambi berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan[20] adalah 2.179.440 Ha dengan rincian sebagai berikut :

Tabel 1. Luas Kawasan Hutan
No
Fungsi
Luas (Ha)
1.
Kawasan Hutan Konservasi
676.120
2.
Kawasan Hutan Lindung
191.130
3.
Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT)
340.700
4.
Kawasan Hutan Produksi (HP)
971.49
Total
2.179.440
Sumber : Dari Berbagai Sumber (WALHI Jambi, 2013)

Namun penguasaan kawasan hutan sekitar 40 % dari wilayah Propinsi Jambi ternyata tidak diimbangi dengan pemberian izin kepada masyarakat[21]. Masyarakat yang telah berada dan sekitar hutan ternyata mengalami persoalan terhadap “ruang kelola rakyat”.

Rencana “pengusiran masyarakat di Desa Tanjung Kasri dan Renah Kemumu adalah sekedar fakta yang membuktikan masyarakat harus berhadapan dengan negara didalam mengelola kehutanan.

Belum lagi ketimpangan penguasaan lahan dapat dilihat 818 ribu hektar sudah ditetapkan untuk HTI[22].
Ketimpangan penguasaan lahan menyebabkan timbulnya konflik. Catatan Walhi Jambi[23] menunjukkan trend konflik dan membangun tipologi untuk melihat konflik. Data menunjukkan konflik yang terjadi sekitar 300 -an konflik. 80 konflik berkaitan dengan sumber daya alam dan 27 konflik diprioritaskan untuk diselesaikan[24].

Ketimpangan lahan di sektor Tambang seluas satu juta hektar[25] dan 515 ribu untuk sawit[26].

4.     Perubahan lingkungan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan.

Perubahan yang terjadi pada lingkungan hidup manusia menyebabkan adanya gangguan terhadap keseimbangan karena sebagian dari komponen lingkungan menjadi berkurang fungsinya. Perubahan lingkungan dapat terjadi karena campur tangan manusia dan dapat pula karena faktor alami. Dampak dari perubahannya belum tentu sama, namun akhirnya manusia juga yang mesti memikul serta mengatasinya.

Penguasaan lahan dengan mengakibatkan struktur ketimpangan lahan kemudian menyebabkan konflik[27].

Dari data-data konflik yang telah dihimpun oleh Walhi Jambi, maka Data-data konflik inilah kemudian dilakukan penggambaran secara umum sehingga bisa menggambarkan dan pandangan multistakeholder untuk membaca konflik.

Dengan data-data yang telah terhimpun, kemudian dikomparasikan dengan data-data dari APHI dan Dinas Kehutanan, Walhi Jambi kemudian atas dukungan dari UNDP melakukan pemetaan.

Dari hasil bacaan pemetaan yang telah dilakukan oleh Walhi Jambi atas dukungan dari UNDP, maka tipologi konflik dapat diketahui.

Pertama. Hampir seluruh di Kabupaten terjadinya konflik.

Merata di berbagai daerah. Baik dimulai dari hulu (kabupaten Sarolangun dan kabupaten Merangin) kemudian di daerah tengah (kabuaten Bungo, Kabupaten Tebo dan Kabupaten Batanghari) dan di daerah hilir (Kabupaten Muara Jambi, Kabupaten Tanjabtim dan tanjabbar).

Konflik yang terjadi baik di sektor kehutanan seperti tapal batas yang belum selesai[28], PT. REKI, lembah masurai, PT. LAJ dan konflik antara masyarakat setempat dengan model kemitraan. Misalnya di PT. REKI dengan SAD[29]. Belum lagi penguasaan APP di sektor HTI yang mengakibatkan konflik di 5 kabupaten.

Konflik kemudian bergeser ke konflik sawit dan sekarang di sektor pertambangan terutama batubara[30].
Kedua. Konflik yang semakin meluas. Sedangkan data-data Walhi Jambi menunjukkan sektor sawit, salah satu menyumbang berbagai konflik di Jambi.

5.     Perubahan mutu lingkungan hidup kemudian menyebabkan terganggunya mutu lingkungan hidup. Baik dari udara, air maupun kesuburan tanah.

Indek Udara disebabkan oleh kebakaran dan menyebabkan kabut asap. Kebakaran dan kabut asap 17 tahun[31] ini bukan saja merusak wilayah kelola bagi manusia yang menjadi pemangkunya, tetapi juga sesungguhnya memberi tahu kita bahwa jutaan manusia yang hidup dan tinggal ribuan kilometer dari kawasan hutan atau landscape tertentu, merupakan pihak yang juga bergantung atas kelestarian kawasan tersebut.

Kabut asap tidak hanya menyebabkan kerugian 44 trilyun rupiah[32]. Namun Kabut asap kemudian menyebabkan Putusnya mata rantai ekosystem lingkungan hidup. Rakyat menerima dampak asap.

Untuk setiap hektar kebakaran hutan/lahan maka akan dihasilkan, 18,9 hingga 702 Karbon dioksida, 1,5 sampai 11,5 Karbon monoksida, 
0,000009 sampai 0,000035 ton Bahan-bahan partikulat, 0,4 sampai 2,6 juta ton ozon, 0,0000009 ton amonia, 0,33 juta ton oksida nitrogen. Benda-benda tersebut diatas sangat berbahaya apabila dihirup oleh manusia. Penyakit yang bisa ditimbulkan diantaranya Infeksi Saluran Pernafasan Akut, Bronchitis dan Diare

Indeks udara (ISPU)[33] yang dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Provinsi Jambi menunjukkan kadar ISPU mencapai angka 116 yang berarti udara Jambi sudah masuk dalam kategori tidak sehat (kadar ISPU 101 – 199)[34].

Tabel ISPU Dan Dampak Kesehatan
ISPU
Pencemaran Udara
Level
Dampak kesehatan;
0 – 50
Baik
Tidak memberikan dampak bagi kesehatan manusia atau hewan.
51 – 100
Sedang
tidak berpengaruh pada kesehatan manusia ataupun hewan tetapi berpengaruh pada tumbuhan yang peka.
101 - 199
Tidak Sehat
bersifat merugikan pada manusia ataupun kelompok hewan yang peka atau dapat menimbulkan kerusakan pada tumbuhan ataupun nilai estetika.
200 – 299
Sangat Tidak Sehat
kualitas udara yang dapat merugikan kesehatan pada sejumlah segmen populasi yang terpapar.
300 – 500
Berbahaya
kualitas udara berbahaya yang secara umum dapat merugikan kesehatan yang serius pada populasi (misalnya iritasi mata, batuk, dahak dan sakit tenggorokan).

Kualitas udara kemudian semakin menurun hingga mencapai 242 pada Bulan Oktober 2014. Artinya, kondisi udara di Kota Jambi sudah hampir mendekati bahaya[35].
Sedangkan air Batanghari kemudian tercemar logam berat terutama Merkuri[36].
Dari 16 titik sampling di sepanjang DAS Sungai Batanghari, lima titik tercemar sedang. Sedangkan sisanya tercemar limbah berat[37].
Sedangkan penggunaan benih unggul mengakibatkan turunnya Kesuburan Tanah.
Pada tahun 1986 tanah di wilayah Jambi meliputi areal persawahan sekitar 99.068 ha (2,2%), areal perkebunan negara dan swasta sekitar 591.044 ha (13,2%), areal tegalan/kebun/ladang/huma sekitar 423.117 ha (9,4%,) areal tanah yang ditumbuhi kayu-kayuan sekitar 609.609 ha (13,6%), areal kehutanan sekitar 1.614.000 ha (36,0%) dan areal pemukiman dan budi daya lainnya sekitar 1.143.162 ha (25,6%)  dari seluruh luas wilayah[38].

Namun kemudian areal persawahan tahun 2012 tinggal 112.174,02[39]. Sedangkan lahan sawah irigasi terus menurun dari 33.839 ha (2008) tinggal 8.446 (2012). Begitu juga penurunan Luas Lahan Tegal/Kebun dari 393.112 (2011) tinggal 374.557 (2012). Angka yang tidak berbeda jauh yang disampaikan oleh Pemerintah Propinsi Jambi[40].

Selain itu juga penggunan dan pemilihan bibit unggul dalam satu kawasan lahan hanya ditanami satu macam tanaman (tipe monokultur). Selain mengurangi keanekaragaman sehingga keseimbangan ekosistem sulit untuk diperoleh, berbagai benih padi lokal menjadi hilang.
Ekosistem kemudian menjadi rusak. Hama kemudian menjadi “imun” sehingga tidak bisa lagi ditangani secara tradisional.

Berbagai aktivitas manusia seperti kebakaran, alih fungsi kawasan, penggunaan dan penggunaan bibit unggul dalam satu kawasan menyebabkan menurunnya kesuburan tanah.

Akibat kebakaran maka tanah menjadi rusak dan terbuka sehingga ketika terjadi hujan maka lapisan tanah teratas akan terbawa ke sungai dan mengendap disana (sedimentasi). Sungai menjadi dangkal sehingga ketika musim hujan yang panjang akan menyebabkan banjir. 

Hasil penelitian oleh Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat menyebutkan Kebakaran mengakibatkan repelensi tanah (daya tolak tanah) terhadap air meningkat[41]. Humus tanah tidak tertahan[42]. Selain itu juga akan mempercepat mempercepat proses penggerusan lapisan hara yang dibutuhkan tanaman untuk tumbuh subur. Ini mengakibatkan terjadinya peningkatan keasaman tanah. Dan membunuh organisme tanah[43] yang bermanfaat bagi upaya peningkatan kesuburan tanah

Selain itu juga, penurunan kesuburan tanah disebabkan alih fungsi kawasan pertanian terjadi di berbagai daerah. Di Tanjabtim, dari 32 ribu hektar (2007) tinggal 27 ribu hektar (2012)[44].Sebagian besar telah beralih fungsi menjadi kawasan perkebunan sawit dan karet.

Yang paling parah adalah penurunan luas sawah menjadi pertambangan. Di Kabupaten Merangin sendiri telah berkurang dari 30 ribu hektar menjadi 26 ribu hektar atau 12,4 %[45].

Model pembangunan dengan  intensifikasi pertanian dengan cara panca usaha tani, di satu sisi meningkatkan produksi. Namun disisi lain justru merugikan.  Penggunaan pupuk dan pestisida dapat menyebabkan pencemaran. Dan kemudian juga mengakibatkan semakin menurunkan mutu kesuburan dan kualitas tanah.

Adanya kombinasi antara kebakaran, pembukaan lahan, alih fungsi lahan atau hujan deras menyebabkan kerusakan struktur tanah. Tanah akan menjadi disagregat dan kompak. Kerapatan tanah meningkat dan porositas menurun mengakibatkan kelembaban tanah dan kapasitas menyerap tanah menurun. Maka tanah-tanah Oxisol, Ultisol, Inceptisol dan tanah merah, akan terbentuk lapisan keras (hardpan). Tanah yang terbuka berulang-ulang akan terjadi pengeringan dan pembasahan, dan berakibat pada terjadinya erosi dan peningkatan aliran permukaan[46].

Namun tidak hanya menurunnya mutu lingkungna hidup di Jambi. Aktivitas manusia yang mempengaruhi lingkungna hidup juga menyebabkan konflik dan jatuhnya korban jiwa

Walhi menyebutkan sebagai bencana ekologi.

Banjir yang terjadi didaerah yang tidak termasuk kedalam kawasan yang  sering disinggahi banjir, kini sudah mulai terjadi.

Banjir meluapnya Sungai Batang Tembesi mengakibatkan sekitar 843 rumah terendam tahun 2013. Pada tahun 2015, Banjir ini kemudian menenggelamkan Desa-desa seperti Tiga Alur, Dusun Baru, Desa Bukit, Desa Perentak dan Desa Bungo Tanjung yang terletak di Kecamatan Pangkalan Jambi, Merangin. Banjir yang tidak perlu terjadi[47].

Begitu juga mulai berjatuhannya korban. 3 orang di Renah Pembarap, Merangin (Desember 2014), 2 orang di Renah Pembarap Merangin (Oktober 2014), 4 orang di Batangasai, Sarolangun (Mei 2014), 2 di Batangasai (Sept 2013). Angka-angka ini sekedar mewakili kesuraman pengelolaan buruk di sektor tambang yang berhasil diliput oleh media. Walh Jambi yakin, angka-angka itu seperti gunung es. Hanya tampak di permukaan.

  1. Hilangnya kekayaan alam yang spesifik, unik dan penting di lingkungan hidup.

Akibat aktivitas manusia yang mempengaruhi lingkungan hidup selain Berkurangnya mutu lingkungan hidup, juga menghilangkan kekayaan alam yang spesifik, unik dan penting di lingkungan hidup.

Terjadinya kebakaran di lahan gambut selain menghilangkan kawasan yang terbakar juga menghilangkan ruang hidup masyarakat yang tergantung dengan ekosistem gambut.

Di daerah-daerah yang hancur karena pertambangan, ikan semah[48] tidak lagi mudah ditemui. Ikan semah sebagai kekayaan biodiversity sudah mulai terancam dan sulit didapatkan.

Di Desa Teluk Raya, ikan sungai Kumpeh yang mudah didapatkan sekarang tinggal cerita kenangan[49]. Sungai Kumpeh yang memanjang dari perbatasan Kota Jambi hingga menuju ke Kawasan Berbak merupakan tempat ikan-ikan[50] yang sudah tercemar berbagai pestisida dan berbagai limbah pabrik.

Selain itu juga, akibat penggunan bibit unggul dan pestisida, bibit-bibit lokal menjadi hilang. Di Desa Lubuk Mandarsyah, dari 16 jenis bibit lokal, tinggal 2 bibit yang masih tersisa. Di Desa Sungai Bungur, bibit padi lokal seperti padi kuning biasa, padi pulut hitam, padi silang jambu, padi renik kanal, padi pulut turun daun tinggal cerita.

Begitu juga cara penghitungan dan pola menanam padi berdasarkan pengetahuan lokal sudah mulai bergeser[51]. Waktu normal penanaman bulan April hingga Oktober sudah tidak bisa diprediksi lagi. Bulan April masih sering hujan sehingga pengetahuan masyarakat tentang alam sudah tidak dapat diperhitungkan lagi (mitigasi).

Bergesernya periode penanaman juga dipengaruhi oleh temperatur bumi yang tidak stabil[52]. Akibatnya kemudian terjadi kenaikan suhu permukaan bumi yang tidak merata. Dengan demikian, maka pola hujan yang acak dan kemarau yang berkepanjangan.

Penanaman bulan Juni akan mempengaruhi panen. Pada bulan Oktober diperkirakan sering terjadinya banjir. Sehingga padi yang berumur 6 bulan akan “fuso” mengalami kegagalan panen sehingga mengganggu “kemandirian pangan”.

Dari hasil analisis dengan melihat empat instrumen dan menggali berbagai informasi dari tokoh kunci di tengah masyarakat, maka Lingkungan hidup di Jambi sudah mulai menurun. Baik dilihat dari kualitas air, udara dan kesuburan tanah. Penguasaan tanah oleh sebagian kecil industri, semakin massifnya pertambangan mengakibatkan konflik merata di berbagai daerah di Jambi.

Penurunan mutu lingkungna hidup juga mempengaruhi kekayaan alam yang spesifik, unik dan penting di lingkungan hidup.

Kedepan, apabila pengelolaan lingkungan hidup tidak kembali ditata dan lingkungan hidup tidak diberi kesempatan untuk “bernafas”, maka persoalan udara, air dan kesuburan tanah memberikan bencana yang tidak bisa ditangani oleh kedua genggam tangan manusia[53]. Berbagai kejadian yang termasuk kategori “bencana ekologi” memberikan pesan yang jelas. Alam sudah menunjukkan geliatnya untuk bangkit dan marah.

Upaya yang harus dilakukan berangkat dari peringatan dari alam bahwa Manusia mampu merombak, memperbaiki, dan mengkondisikan lingkungan seperti yang dikehendakinya. Manusia harus bagian dari ekosistem (antropolosentris) yang mempunyai pengetahuan dan teknologi untuk menjaga alam. Manusia juga memiliki pengetahuan tentang menata alam.

  1. Menimbulkan permasalahan di sosial budaya

Akibat aktivitas manusia yang mempengaruhi lingkungan hidup selain berdampak kepada lingkungan fisik alam seperti kerusakan ekosistem hutan (fauna dan flora), Punahnya flora & fauna yang dilindungi, Kerusakan ekosistem gambut, Pengendapan dan Pendangkalan sungai, Pencemaran Sungai Batanghari, Air bersih dan  sanitasi lingkungan perkotaan juga menimbulkan permasalahan sosial budaya.

Dampak yang paling terasa adalah tingkat pendidikan dan keterampilan yang masih rendah di sekitar wilayah industri ekstraktif, kesempatan kerja yang tidak terbuka untuk masyarakat lokal, kemiskinan di sekitar industri, tidak dihormatinya masyarakat adat dan persoalan sosial seperti kejahatan, prostitusi dan berbagai penyakit sosial lainnya.

Disekitar izin pertambangan tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Selain hasil tambang digunakan untuk konsumsi (seperti membeli televisi, rumah, kendaraan dan barang-barang konsumsif lainnya), tingkat kekerasan mulai terjadi di sekitar tambang. Beredarnya minuman keras, kejahatan kesusilaan, meningginya tingkat pencurian.

Selain itu, pemberian izin tambang sama sekali tidak mampu meningkatkan tingkat pendidikan. Hampir praktis, pemberian izin di sekitar kawasan masyarakat, justru rata-rata tingkat pendidikan jauh dibawah daerah-daerah yang tidak mempunyai izin pertambangan.

Selain persoalan diatas, tercabutnya budaya masyarakat dari agraris yang tergantung dari hutan menjadi masyarakat buruh perkebunan, hilangnya nilai-nilai kearifan lokal menyebabkan tercabutnya peradaban di wilayah industri ekstraktif.











[1]               Segala yang ada pada lingkungan dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia, karena lingkungan memiliki daya dukung. Daya dukung lingkungannya adalah kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya
[2]               Kemampuan lingkungan untuk menampung/menyerap zat energi dan atau komponen lain yang masuk atau dimasukan di dalamnya .
[3]               Analisis terhadap campur tangan manusia terhadap hutan ditandai dengan berkurangnya tutupan hutan primer (cover forest), deforestrasi, pembukaan kebun sawit dan pertambangan.
[4]               Dari berbagai sumber disebutkan, perubahan iklim disebabkan Pemanasan global (global warming) merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect). Penyebabnya diakibatkan aktivitas manusia sehingga meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO₂), metana (CH₄), dinitrooksida (N₂O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Peningkatan suhu permukaan bumi rata-rata 2 derajat celcius. Sehingga bumi semakin panas. Padahal temperatur bumi harus stabil di 30 derajat celcius. Kenaikan suhu permukaan bumi menyebabkan tidak pastinya pola musim (pola hujan yang acak dan kemarau yang berkepanjangan) sehingga menyebabkan bergesernya jadwal musim tanam.
[5]               Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 272/Menhut/2/2012. Walaupun kawasan hutan mencapai 2,4 juta hektar dan berkurang hingga 2,1 juta hektar, namun yang tersisa berupa hutan hanya tinggal 1,3 juta ha. KKI Warsi juga mensinyalirkan kerusakan hutan hingga mencapai 800 ribu hektar.
[6]               SIARAN PERS Nomor: S. 409 /PHM-1/2014 tentang DEFORESTASI INDONESIA PADA TAHUN 2011-2012 HANYA SEBESAR 24 RIBU HEKTARE, Pusat Hubungan Masyarakat, Kementerian Kehutanan
[7]    Data dari berbagai sumber.
[8]    Areal HTI mencapai 853.430 ha. Data dari berbagai sumber. Diolah oleh Walhi Jambi.
[9]    Bahkan untuk pelepasan kawasan hutan hingga mencapai 1,3 juta ha.. Data dari berbagai sumber.
[10]            Hubungan antara masyarakat sekitar hutan dengan kawasan hutan tidak semata-mata terhadap keberadaan hutan. Tapi berkaitan dengan pola relasi rakyat sebagai pemilik hutan, relasi sebagai hak akses terhadap pengelolaan hutan, penjaga teritori, sumber-sumber kehidupan, akibat langsung dari kerusakan hutan (subject impact) dan penggunaan terhadap kawasan hutan. Pola relasi ini bisa dilihat dari seloko-seloko yang menghormati hutan seperti “rimbo sunyi/rimbo larangan/rimbo ganuh/rimbo puyang”. Termasuk tempat-tempat yang sangat dihormati seperti “teluk sakti rantau betuah, gunung bedewo”, atau “rimbo sunyi, tempat siamang beruang putih, tempat ungko berebut tangis. Atau nama-nama tempat yang dihormati seperti “sialang pendulangan, lupak pendanauan, empang kerenggo”.
[11]            JATAM, 2014
[12]            Terakhir, hanya 187 IUP yang masuk kategori clean and clear dari 386 IUP. Sisanya yang tidak masuk clean and clear atau tumpang tindih masih beroperasi. Temuan BPK RI justru 245 IUP bermasalah karena lahannya tumpang tindih.
[13]            Hasil analisis Koalisi LSM Sumbagsel. Tambang yang dinyatakan tidak Clean and clean berpotensi merugikan 40 milyar untuk Jambi.
[14]            Biaya perbaikan mencapai 300 milyar. Sementara royalty hanya berhasil memungut 100 milyar. Jatam, 2014
[15]            Sungai Batanghari tercemar Merkuri, Kompas, 2 September 2014
[16]            Hasil Lokakarya dan Workshop PENGATURAN PENYELAMATAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM PROSES PERIZINAN DI SEKTOR KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, Walhi Jambi, 21-22 Mei 2015
[17]            Banjir yang disebabkan meluapnya Sungai Batang Tembesi mengakibatkan sekitar 843 rumah terendam tahun 2013. Pada tahun 2015, Banjir ini kemudian menenggelamkan Desa-desa seperti Tiga Alur, Dusun Baru, Desa Bukit, Desa Perentak dan Desa Bungo Tanjung yang terletak di Kecamatan Pangkalan Jambi, Merangin. Diperkirakan setiap desa ada puluhan rumah terendam. Selain itu juga ratusan hektar sawah tidak bisa dimanfaatkan lagi.
[18] Dari berbagai sumber.
[19]            Data dari berbagai sumber. Diolah Walhi Jambi
[20]            SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 421/Kpts-II/1999 Tanggal 15/06/1999
[21]            Bandingkan dengan pemberian kepada HTI seluas   818 ribu ha   dan masyarakat dengan skema Hutan Desa hanya mencapai 53 ribu hektar.
[22]            Dalam diskusi konflik di Walh Jambi, 5 Mei 2014, Ir. Irmansyah, Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Jambi menyebutkan menyebutkan dari kawasan hutan 2,1 juta hektar, 1,2 juta telah ditetapkan. 800 ribu hektar telah diberikan kepada konsensi perusahaan. Sedangkan sisanya untuk kawasan yang harus dijaga. Dengan model 300 ribu hektar untuk kawasan restorasi yang telah diberikan kepada PT. REKI seluas 46 ribu hektar. Dan 400 ribu akan dicanangkan untuk masyarakat melalui model PHBM (Pengelolaan hutan berbasis masyarakat, yang biasa dikenal dengna model seperti hutan kemasyarakatan, hutan desa dan hutan tanaman rakyat). Angka yang tidak berbeda jauh dengan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan (Menhut) Nomor 272/Menhut/2/2012, luas kawasan hutan di Jambi sekitar 2,2 juta ha atau 42,31 % dari 5,2 juta ha luas wilayah Provinsi Jambi.
[23]            Catatan ini bersumber dari kliping media massa lokal sejak tahun 1999 – 2012, Walhi Jambi
[24]              Tim Penyelesaian dan Resolusi Konflik Propinsi Jambi, tahun 2010
[25]            Jaringan Advokasi Anti Tambang menyebutkan sekitar 406 konsensi tambang (22%) wilayah Jambi telah diberi konsensi pertambangan dengan luas 1,092 juta hektar. Diskusi Tambang, Walhi Jambi, Jambi, 5 April 2014
[26]            Perkebunan Besar Kelapa Sawit yang sudah eksisting sampai tahun 2012. Dari rencana sejuta hektar sawit. Data diolah dari berbagai sumber.
[27]            Catatan Walhi 1999-2013, jumlah konflik Sumber daya alam mencapai 80 konflik. 27 kasus diprioritaskan untuk diselesaikan. Tim Inventarisasi dan Resolusi Konflik Pemerintah Propinsi Jambi tahun 2010
[28]            Dinas Kehutanan Propinsi Jambi mengakui tapal batas yang belum selesai. Masih sekitar 75% dari areal kawasan hutan.
[29]            Dinas Kehutanan Propinsi Jambi, 5 Mei 2014
[30]            Data-data menunjukkan, sektor pertambangan mulai memantik persoalan. Baik biaya jalan yang mencapai 300 milyar dibandingkan dengan royalti yang hanya mencapai 10 milyar. Banjir badang dan sungai batanghari yang sudah tercemar akibat zat kimia dari batubara. Jatam, Diskusi Pertambangan, Walhi Jambi.
[31] Kabut asap tahun 2014 merupakan pengulangan kabut asap sebelumnya dan berulang setelah tahun 2013, 2012, 2010, 2004, 1997. Tahun 2014 telah menghentikan penerbangan lebih dari 2 minggu. Bahkan pada oktober 2014 telah mengakibatkan 5700 kasus perminggu (data berbagai sumber). Sehingga meliburkan sekolah.
[32]            Perhitungan ini diungkapkan peneliti pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Basuki Wasis. Dari luas lahan gambut di Jambi yang terbakar mencapai 286.527,3 hektare dengan volume gambutnya lebih dari 46 juta meter kubik, maka menimbulkan kerugian 44 trilyun. Kebakaran Gambut di Jambi Timbulkan Kerugian Rp 44,4 Triliun, Republika,
[33]            Penetapan ISPU ini mempertimbangkan tingkat mutu udara terhadap kesehatan manusia, hewan, tumbuhan, bangunan, dan nilai estetika. ISPU ditetapkan berdasarkan 5 pencemar utama, yaitu: karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2), Ozonpermukaan (O3), dan partikel debu (PM10)
Di Indonesia ISPU diatur berdasarkan Keputusan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Nomor KEP-107/Kabapedal/11/1997.
[34]            BLH, Maret 2014 yang dimuat di berbagai media.
[35]            BLH Propinsi Jambi, Oktober 2014 sebagaimana dimuat di berbagai media massa.
[36] Kompas, 2 September 2014
[37] Air Batanghari tercemar, Tribun Jambi, 22 Maret 2014,
[38] Bappenas, 1986
[39] Statistik Lahan Pertanian, 2012
[40]            Pada tahun 2010, luas lahan sawah di Provinsi Jambi seluas 166.645 hektar. Jika dilihat dari sistem irigasinya, 36,61 persen merupakan irigasi pasang surut dan 18,80 persen irigasi tadah hujan. Hal ini menunjukkan bahwa Provinsi Jambi merupakan wilayah potensi tanaman pangan. Lahan sawah terluas di Provinsi Jambi terdapat di Kabupaten Tanjung Jabung Timur (43.824
hektar), diikuti oleh Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Muaro Jambi masingmasing 21.920 hektar dan 21.909
hektar, sedangkan paling sedikit di Kota Jambi 1.664 hektar.
[41]            Hal ini disebabkan kebakaran menghasilkan uap serta gas yang mengandung zat hidrofob (penolak air). Gas ini akan terkondensasi pada lapisan tanah yang lebih dingin, sehingga terbentuk lapisan tanah yang repelan. Dengan adanya lapisan repelan, maka permeabilitas tanahg menjadi terbatas sehingga timbul masalah erosi dan kekeringan. Data dari berbagai sumber
[42]            Kementerian Lingkungan Hidup menyebutkan “daya ikat air pada pertikel-pertikel tanah sehingga tanah mengalami kekeringan
[43]            Organisme tanah berupa makroorganisme dan mikroorganisme. Organisme tanah yang bermanfaat dalam meningkatkan kesuburan tanah. Makroorganisme tanah seperti cacing tanah yang dapat meningkatkan aerasi dan drainase tanah. Dan mikroorganisme seperti mikorisa yang dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara P, Zn, Cu, Ca, Mg, dan Fe akan terbunuh. Selain itu, bakteri penambat (fiksasi) nitrogen pada bintil-bintil akar tumbuhan Leguminosae juga akan mati sehingga laju fiksasi ntrogen akan menurun. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1998.
[44] Alih fungsi lahan tinggi, produksi pertanian Tanjabtim turun, www.antara.com, 22 Februari 2012.
[45] Luas Sawah di Merangin Berkurang 12,47 Persen, Tribun Jambi, 20 Agustus 2013
[46] Data-data dari berbagai sumber.
[47] Melihat topografi, maka daerah ini tidak pernah mengalami banjir. Namun sekarang sering mengalami banjir. Banjir yang tidak disebabkan oleh alam namun karena aktivitas manusia dikenal sebagai bencana ekologi.
[48] Ikan khas yang terdapat di daerah Bangko, Sarolangun dan Bungo.
[49]            5 Tahun yang lalu, masyarakat Kumpeh tidak pernah beli ikan segar. Ikan mudah didapatkan di Sungai Kumpeh. Namun tempat-tempat bersarangnya ikan sekarang sudah hancur akibat perusahaan sawit, limbah pabrik. Sekarang bahkan mereka harus membeli ikan dari Jambi. Sebuah mimpi buruk yang tidak pernah mereka bayangkan. Pertemuan di Desa Teluk Raya, Kumpeh, Muara Jambi, 9 Mei 2015
[50]            Nama-nama tempat ikan seperti Danau Sirih, Lopak Besar, Lubuk Ketapang sekarang hancur sehingga tidak bisa dijadikan tempat sarang ikan-ikan. Dalam satu malam, ikan yang dikirimi dari Kumpeh bisa mencapai 3 ton/malam.
[51] Sebagaimana wilayah timur pulau Sumatera lainnya musim hujan di Provinsi Jambi terjadi pada bulan Oktober sampai dengan April dan musim kemarau dari bulan Mei sampai September. Profile Provinsi Jambi, , www.dephut.go.id, 2013
[52] Temperatur bumi harus stabil di 30 derajat celcius.
[53] “Ketika pohon terakhir ditebang. Ketika sungai terakhir dikosongkan. Ketika ikan terakhir ditangkap. Barulah manusia akan menyadari bahwa dia tidak dapat memakan uang. Eric Wiener