Untuk mengukur status
lingkungan hidup di Jambi dilakukan
dengan berbagai instrument. Instrumen pertama digunakan adalah merujuk kepada
UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU Lingkungan
Hidup). Didalam mekanisme ini digunakan dengan istilah “daya dukung[1]
dan daya tampung[2]”
lingkungan hidup.
Mekanisme ini merupakan salah
satu bentuk “Tindakan pengaman akibat pembangunan yang berdampak kepada
lingkungna hidup” (safe guard). Didalam Pasal 7 ayat (2) UU Lingkungan Hidup menyatakan bahwa
penetapan wilayah ekoregion dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesamaan
(karakteristik bentang alam, daerah aliran sungai, iklim, flora dan fauna,
sosial budaya,ekonomi, kelembagaan masyarakat dan hasil inventarisasi
lingkungan hidup.
Menggunakan analisis daya dukung
merupakan suatu cara dan alat untuk merencanakan pembangunan dan memberikan
gambaran yang utuh, lengkap dan melibatkan antara hubungan antara penduduk,
penggunaan lahan dan lingkungan (holistik).
Mekanisme ini kemudian juga
disandarkan untuk mengetahui tingkat toleransi dan ambang batas daya dukung
lingkungan dan bisa dijadikan dasar untuk mengetahui akibat aktivitas manusia
terhadap lingkungan hidup. Mekanisme ini juga dapat menghitung daya rusak
terhadap lingkungan.
Safeguard lingkungan hidup dilakukan untuk melakukan penilaian
secara sistematik terhadap penanganan, pengurangan dan pengelolaan resiko
lingkungan hidup (cara beradaptasi). Sasaran
yang ditujukan dengna memperhatikan tiga aspek. Pertama. akibat
pembangunan yang berdampak lingkungan atau (PAP – Potentially Affected
People). Kedua warga terasing dan rentan (IVP – Isolated and Vulnerable
People). Ketiga. warga yang terkena dampak pemindahan (DP – displaced
people), secara memadai.
Dengan mengukur instrument mutu Lingkungan Hidup berdasarkan UU
Lingkungan Hidup di Jambi, maka analisis lebih tajam dapat dipergunakan.
Instumen Kedua adalah membicarakan hak. Dengan mengukur
instrument mutu lingkungan hidup berdasarkan HAM. Didalam pasal 28H ayat (1)
UUD 1945 “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Hak untuk mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat (the rights
to healthful and deccen environemen) merupakan hak asasi. Hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat ini menjadi penopang bagi hak-hak dasar
manusia lainnya.
Menggunakan kata “lingkungan hidup yang baik dan sehat”
merupakan salah satu instrument untuk mengukur derajat mutu lingkungan yang
merupakan hak dari rakyat.
Kata “lingkungan hidup” diteruskan dengan kalimat “yang
baik dan sehat” merupakan sebuah perwujudan sederhana untuk menilai indek
mutu lingkungna hidup.
Ketiga. Mengukur instrument mutu lingkungan hidup berdasarkan
pengetahuan (scientific).
Instrument yang digunakan dengna mengggunakan indeks udara, air dan tanah.
Hasil pengukuran dari berbagai peristiwa memberikan penilaian dari lingkungan
hidup dan cara beradaptasi masyarakat (mitigasi) menghadapi perubahan
lingkungna hidup.
Indeks yang digunakan berupa udara ketika musim panas yang
kemudian mengakibatkan kebakaran hutan, air di sungai batanghari yang
diindikasikan “tercemar” limbah berbahaya seperti merkuri hingga kesuburan
tanah akibat alih fungsi lahan untuk perkebunan sawit atau pertambangan dan
penggunakan pestisida.
Keempat. mengukur instrument mutu lingkungan hidup dengan
kondisi faktual.
Mekanisme ini digunakan dengan menggali informasi kunci di
tengah masyarakat. Baik terhadap penurunan mutu lingkungan dari kehidupan
sehari-hari, hilangnya biodiversity hingga tumbuhan endemik.
Selain itu juga, perubahan dan penurunan mutu lingkungan hidup
juga dilihat dari dua aspek. Pertama. Akibat campur tangan manusia[3].
Kedua. Perubahan iklim global yang mempengaruhi lingkungan hidup di Jambi[4].
Dengan menggunakan empat instrument mutu lingkungan hidup, maka
berdasarkan hasil pertemuan berbagai pemangku kepentingna (stakeholders)
dan analisis dokumen, maka didapatkan hasil sebagai berikut :
1. Bahwa penurunan mutu lingkungan
hidup dimulai dari penghancuran hutan (deforestrasi).
Laju kerusakan hutan mencapai 871.776 hektare (ha)
selama tiga tahun terakhir[5].
Angka ini melebihi angka
deforestrasi nasional yang mencapai 613 ribu hektar.[6]
Laju kerusakan hutan (deforestrasi) menyebabkan luas
lahan kritis di Provinsi Jambi pada tahun 2007 yaitu 618.891 ha (kritis
614.117 ha dan sangat kritis 4.774 ha). Pada tahun 2011 luas lahan kritis
meningkat menjadi 1.420.602 ha (kritis 341.685 ha dan sangat kritis
1.078.917 ha)[7].
Dalam catatan Walhi, ada tiga periodesasi. Pertama.
Penghancuran hutan untuk industri kehutanan (HPH dan HTI[8]).
Kedua. Pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit[9].
Ketiga Penghancuran hutan untuk pertambangan.
Penghancuran hutan untuk industri kehutanan tidak hanya
berkurangnya tutupan hutan di Jambi. Walhi Jambi mencatat, pembukaan hutan
untuk industri tidak hanya sekedar berkurangnya tutupan hutan (forest cover).
Namun Memutuskan mata rantai ekosistem antara manusia dengan hutan,
Hilangnya biodiversity, Pergeseran nilai-nilai magis adat terhadap hutan,
Hilangnya kandungan obat alam. Kesemuanya kemudian menyebabkan Rakyat sebagai “penguasa”
hutan[10]
kemudian menjadi penonton.
Periodesasi kedua yaitu pembukaan
hutan untuk perkebunan besar kelapa sawit. Pola perkebunan skala besar
monokultur telah memangkas berbagai mata rantai ekosistem yang kemudian
melahirkan pertumbuhan eksponensial hama bagi pertanian. Begitupun dengan
konflik dengan satwa liar yang masuk ke pemukiman atau area kelola komunitas
akibat perubahan yang masive terhadap habitatnya. Tidak sedikit juga kawasan
persawahaan komunitas di sumatera yang terbengkalai atau berubah fungsi akibat
turunnya debit air pasca perubahan kawasan resapan menjadi perkebunan kelapa
sawit. Sehingga menyebabkan pemilik tanah kemudian menjadi pekerja industri
sawit.
Periodesasi ketiga yaitu penghancuran hutan untuk pertambangan.
Pemberian izin tambang yang sudah mencapai 1,092 juta hektar (seperempat
wilayah Jambi)[11]
ternyata bermasalah. Dari 398 Izin Usaha Pertambangan (IUP), terdiri dari 21
IUP pertambangan mineral dan 377 IUP pertambangan batubara, sebagian besar
(50%) kemudian dinyatakan belum clear and clean (CnC). Hasil korsup KPK tahun
2014, Dari 190 yang direkomendasikan untuk dicabut, 141 baru dicabut[12]
Dari hasil investigasi, KPK
memastikan Jumlah perusahaan yang beroperasi di dalam hutan lindung sebanyak 5
perusahaan. Hutan lindung yang digunakan untuk pembukaan tambang seluas 63,6
ribu hektar.
Kelima perusahaan adalah PT Aneka
Tambang (Antam) seluas 5.664 hektar , PT Delapan Inti Power seluas 281 hektar,
PT Jambi Gold seluas 49,9 ribu hektar, PT Semen Baturaja seluas 671 hektar, dan
PT Tunas Prima Coal seluas 7 ribu hektar.
Persoalan tambang tidak hanya
merugikan negara[13], tapi
juga menyebabkan berbagai persoalan. Selain mengakibatkan jalan hancur[14]
dan tempat-tempat tambang tidak layak dihuni juga menyebabkan konflik
horizontal di tengah masyarakat.
Belum lagi aktivitas pertambangan
yang mengakibatkan Sungai Batanghari tercemar Merkuri. Menurut pakar ekotoksikologi Institut
Pertanian Bogor, Etty Riani menyebutkan Semua polutan itu berbahaya, tetapi
yang tergawat adalah merkuri, yang dipakai dalam pemurnian emas. Cukup 0,01
miligram per liter (mg/l), logam berat itu sudah menyebabkan kematian. Dalam
konsentrasi yang lebih rendah pun sangat berbahaya. Merkuri dalam tubuh
bersifat akumulatif.
Masuknya Merkuri alias air raksa
(Hydrargyrum, Hg) dapat menginfiltrasi jaringan dalam tubuh. Akibatnya,
jaringan dan organ rusak, janin cacat, serta intelektualitas (IQ) jongkok.
”Kematian biasanya tidak cepat datang. Pelan, tetapi pasti[15]
Bahkan dokumen AMDAL pada praktiknya kebanyakan hanya
sebagai pelengkap saja untuk memenuhi syarat administrasi dalam pengajuan
perizinan[16]
Semua aktivitas pertambangan
kemudian menjadikan “rakyat hanya menikmati debu”. Lingkungan hidup tidak lagi
bisa diperbaiki. Industri keruk bumi kemudian meninggalkan lubang-lubang yang
menganga tanpa reklamasi tambang.
2. Berkurangnya tutupan hutan primar (cover
forest) dan deforestrasi kemudian menyebabkan berkurangnya fungsi
hutan sebagai penahan air.
Akibatnya, daya dukung hutan menjadi berkurang. Selain itu,
penggundulan hutan dapat menyebabkan terjadi banjir[17]
dan erosi. Daerah-daerah yang sebelumnya tidak pernah mengalami kebanjiran kemudian
mengalami kebanjiran setiap musim hujan tiba. Selain itu timbulnya konflik
satwa dengan manusia. Konflik Gajah di sekitar Lanscape Bukit Tiga Puluh di
sekitar Taman nasional Bukit Tigapuluh daerah Tebo sering mengalami konflik
dengan manusia. Ada sekitar 150 konflik setahun.[18]
Sedangkan seringnya peristiwa harimau masuk kampung dan mengakibatkan korban
manusia menimbulkan konflik 50 kali setahun. Munculnya konflik satwa disebabkan
areal kawasan habitat satwa sudah semakin menyempitnya dengan pembukaan hutan
oleh perusahaan perkayuan, pembukaan kebun sawit skala besar dan pertambangan.
Selain itu negara tidak mampu menjaga kawasan hutan. Penurunan
luasan tutupan lahan hutan Jambi selama kurun waktu 10 tahun berkurang sebesar 1 juta
hektar. Dari 2,4 juta hektar pada tahun 1990 menjadi 1,4 juta hektar pada tahun
2000 atau sebesar 29,66 persen dari total luas wilayah Jambi. Pengurangan
tutupan lahan hutan ini terjadi di dataran rendah dan pegunungan, yaitu 435
ribu hektar. Sisanya terjadi di lahan rawa gambut[19].
3. Selain mengakibatkan deforestrasi
juga disebabkan “rakus lahan”
Dengan Luas kawasan hutan Jambi berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan
Perkebunan[20] adalah
2.179.440 Ha dengan rincian sebagai berikut :
Tabel 1. Luas
Kawasan Hutan
No
|
Fungsi
|
Luas (Ha)
|
1.
|
Kawasan Hutan
Konservasi
|
676.120
|
2.
|
Kawasan Hutan
Lindung
|
191.130
|
3.
|
Kawasan Hutan
Produksi Terbatas (HPT)
|
340.700
|
4.
|
Kawasan Hutan
Produksi (HP)
|
971.49
|
Total
|
2.179.440
|
Sumber : Dari
Berbagai Sumber (WALHI Jambi, 2013)
Namun penguasaan kawasan hutan sekitar 40 % dari wilayah Propinsi
Jambi ternyata tidak diimbangi dengan pemberian izin kepada masyarakat[21].
Masyarakat yang telah berada dan sekitar hutan ternyata mengalami persoalan
terhadap “ruang kelola rakyat”.
Rencana “pengusiran masyarakat di Desa Tanjung Kasri dan Renah
Kemumu adalah sekedar fakta yang membuktikan masyarakat harus berhadapan dengan
negara didalam mengelola kehutanan.
Belum lagi ketimpangan penguasaan lahan dapat dilihat 818 ribu hektar
sudah ditetapkan untuk HTI[22].
Ketimpangan penguasaan lahan menyebabkan timbulnya konflik. Catatan
Walhi Jambi[23]
menunjukkan trend konflik dan membangun tipologi untuk melihat konflik. Data
menunjukkan konflik yang terjadi sekitar 300 -an konflik. 80 konflik berkaitan
dengan sumber daya alam dan 27 konflik diprioritaskan untuk diselesaikan[24].
4. Perubahan lingkungan mempengaruhi
berbagai aspek kehidupan.
Perubahan yang terjadi pada lingkungan hidup manusia menyebabkan
adanya gangguan terhadap keseimbangan karena sebagian dari komponen lingkungan
menjadi berkurang fungsinya. Perubahan lingkungan dapat terjadi karena campur
tangan manusia dan dapat pula karena faktor alami. Dampak dari perubahannya
belum tentu sama, namun akhirnya manusia juga yang mesti memikul serta
mengatasinya.
Penguasaan lahan dengan mengakibatkan struktur ketimpangan lahan
kemudian menyebabkan konflik[27].
Dari data-data konflik yang telah dihimpun oleh Walhi Jambi, maka
Data-data konflik inilah kemudian dilakukan penggambaran secara umum sehingga
bisa menggambarkan dan pandangan multistakeholder untuk membaca konflik.
Dengan data-data yang telah terhimpun, kemudian dikomparasikan dengan
data-data dari APHI dan Dinas Kehutanan, Walhi Jambi kemudian atas dukungan
dari UNDP melakukan pemetaan.
Dari hasil bacaan pemetaan yang telah dilakukan oleh Walhi Jambi atas
dukungan dari UNDP, maka tipologi konflik dapat diketahui.
Pertama. Hampir seluruh di Kabupaten terjadinya konflik.
Merata di berbagai daerah. Baik dimulai dari hulu (kabupaten
Sarolangun dan kabupaten Merangin) kemudian di daerah tengah (kabuaten Bungo,
Kabupaten Tebo dan Kabupaten Batanghari) dan di daerah hilir (Kabupaten Muara
Jambi, Kabupaten Tanjabtim dan tanjabbar).
Konflik yang terjadi baik di sektor kehutanan seperti tapal batas yang
belum selesai[28], PT.
REKI, lembah masurai, PT. LAJ dan konflik antara masyarakat setempat dengan
model kemitraan. Misalnya di PT. REKI dengan SAD[29].
Belum lagi penguasaan APP di sektor HTI yang mengakibatkan konflik di 5
kabupaten.
Konflik kemudian bergeser ke konflik sawit dan sekarang di sektor
pertambangan terutama batubara[30].
Kedua. Konflik yang semakin meluas. Sedangkan data-data Walhi Jambi
menunjukkan sektor sawit, salah satu menyumbang berbagai konflik di Jambi.
5. Perubahan mutu lingkungan hidup
kemudian menyebabkan terganggunya mutu lingkungan hidup. Baik dari udara, air
maupun kesuburan tanah.
Indek Udara disebabkan oleh kebakaran dan menyebabkan kabut
asap. Kebakaran dan kabut asap 17 tahun[31]
ini bukan saja merusak wilayah kelola bagi manusia yang menjadi pemangkunya,
tetapi juga sesungguhnya memberi tahu kita bahwa jutaan manusia yang hidup dan
tinggal ribuan kilometer dari kawasan hutan atau landscape tertentu, merupakan
pihak yang juga bergantung atas kelestarian kawasan tersebut.
Kabut asap tidak hanya
menyebabkan kerugian 44 trilyun rupiah[32].
Namun Kabut asap kemudian
menyebabkan Putusnya mata rantai ekosystem lingkungan hidup. Rakyat
menerima dampak asap.
Untuk setiap hektar kebakaran
hutan/lahan maka akan dihasilkan, 18,9 hingga 702 Karbon dioksida, 1,5 sampai
11,5 Karbon monoksida,
0,000009 sampai 0,000035 ton Bahan-bahan partikulat,
0,4 sampai 2,6 juta ton ozon, 0,0000009 ton amonia, 0,33 juta ton oksida
nitrogen. Benda-benda tersebut diatas sangat berbahaya apabila dihirup oleh
manusia. Penyakit yang bisa ditimbulkan diantaranya Infeksi Saluran Pernafasan
Akut, Bronchitis dan Diare
Indeks udara (ISPU)[33]
yang dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD)
Provinsi Jambi menunjukkan kadar ISPU mencapai angka 116 yang berarti udara
Jambi sudah masuk dalam kategori tidak sehat (kadar ISPU 101 – 199)[34].
Tabel ISPU Dan Dampak Kesehatan
ISPU
|
Pencemaran Udara
Level
|
Dampak kesehatan;
|
0 – 50
|
Baik
|
Tidak memberikan dampak bagi
kesehatan manusia atau hewan.
|
51 – 100
|
Sedang
|
tidak berpengaruh pada kesehatan
manusia ataupun hewan tetapi berpengaruh pada tumbuhan yang peka.
|
101 - 199
|
Tidak Sehat
|
bersifat merugikan pada manusia
ataupun kelompok hewan yang peka atau dapat menimbulkan kerusakan pada
tumbuhan ataupun nilai estetika.
|
200 – 299
|
Sangat Tidak Sehat
|
kualitas udara yang dapat
merugikan kesehatan pada sejumlah segmen populasi yang terpapar.
|
300 – 500
|
Berbahaya
|
kualitas udara berbahaya yang
secara umum dapat merugikan kesehatan yang serius pada populasi (misalnya
iritasi mata, batuk, dahak dan sakit tenggorokan).
|
Kualitas udara
kemudian semakin menurun hingga mencapai 242 pada Bulan Oktober 2014. Artinya,
kondisi udara di Kota Jambi sudah hampir mendekati bahaya[35].
Sedangkan air
Batanghari kemudian tercemar logam berat terutama Merkuri[36].
Dari 16 titik
sampling di sepanjang DAS Sungai Batanghari, lima titik tercemar sedang.
Sedangkan sisanya tercemar limbah berat[37].
Sedangkan penggunaan benih unggul mengakibatkan turunnya
Kesuburan Tanah.
Pada tahun 1986 tanah di wilayah
Jambi meliputi areal persawahan sekitar 99.068 ha (2,2%), areal perkebunan
negara dan swasta sekitar 591.044 ha (13,2%), areal tegalan/kebun/ladang/huma
sekitar 423.117 ha (9,4%,) areal tanah yang ditumbuhi kayu-kayuan sekitar
609.609 ha (13,6%), areal kehutanan sekitar 1.614.000 ha (36,0%) dan areal
pemukiman dan budi daya lainnya sekitar 1.143.162 ha (25,6%) dari seluruh luas wilayah[38].
Namun kemudian areal persawahan
tahun 2012 tinggal 112.174,02[39].
Sedangkan lahan sawah irigasi terus menurun dari 33.839 ha (2008) tinggal 8.446
(2012). Begitu juga penurunan Luas Lahan Tegal/Kebun dari 393.112 (2011)
tinggal 374.557 (2012). Angka yang tidak berbeda jauh yang disampaikan oleh
Pemerintah Propinsi Jambi[40].
Selain itu juga penggunan dan
pemilihan bibit unggul dalam satu kawasan lahan hanya ditanami satu macam
tanaman (tipe monokultur). Selain mengurangi keanekaragaman sehingga keseimbangan
ekosistem sulit untuk diperoleh, berbagai benih padi lokal menjadi hilang.
Ekosistem kemudian menjadi rusak.
Hama kemudian menjadi “imun” sehingga tidak bisa lagi ditangani secara
tradisional.
Berbagai aktivitas manusia
seperti kebakaran, alih fungsi kawasan, penggunaan dan penggunaan bibit unggul
dalam satu kawasan menyebabkan menurunnya kesuburan tanah.
Akibat kebakaran maka tanah
menjadi rusak dan terbuka sehingga ketika terjadi hujan maka lapisan tanah
teratas akan terbawa ke sungai dan mengendap disana (sedimentasi). Sungai
menjadi dangkal sehingga ketika musim hujan yang panjang akan menyebabkan
banjir.
Hasil penelitian oleh Fakultas
Pertanian Universitas Lambung Mangkurat menyebutkan Kebakaran mengakibatkan
repelensi tanah (daya tolak tanah) terhadap air meningkat[41].
Humus tanah tidak tertahan[42].
Selain itu juga akan mempercepat mempercepat proses penggerusan lapisan hara
yang dibutuhkan tanaman untuk tumbuh subur. Ini mengakibatkan terjadinya
peningkatan keasaman tanah. Dan membunuh organisme tanah[43]
yang bermanfaat bagi upaya peningkatan kesuburan tanah
Selain itu juga, penurunan
kesuburan tanah disebabkan alih fungsi kawasan pertanian terjadi di berbagai
daerah. Di Tanjabtim, dari 32 ribu hektar (2007) tinggal 27 ribu hektar (2012)[44].Sebagian
besar telah beralih fungsi menjadi kawasan perkebunan sawit dan karet.
Yang paling parah adalah
penurunan luas sawah menjadi pertambangan. Di Kabupaten Merangin sendiri telah
berkurang dari 30 ribu hektar menjadi 26 ribu hektar atau 12,4 %[45].
Model pembangunan dengan intensifikasi pertanian dengan cara panca
usaha tani, di satu sisi meningkatkan produksi. Namun disisi lain justru
merugikan. Penggunaan pupuk dan
pestisida dapat menyebabkan pencemaran. Dan kemudian juga mengakibatkan semakin
menurunkan mutu kesuburan dan kualitas tanah.
Adanya kombinasi antara
kebakaran, pembukaan lahan, alih fungsi lahan atau hujan deras menyebabkan
kerusakan struktur tanah. Tanah akan menjadi disagregat dan kompak. Kerapatan
tanah meningkat dan porositas menurun mengakibatkan kelembaban tanah dan
kapasitas menyerap tanah menurun. Maka tanah-tanah Oxisol, Ultisol, Inceptisol
dan tanah merah, akan terbentuk lapisan keras (hardpan). Tanah yang terbuka
berulang-ulang akan terjadi pengeringan dan pembasahan, dan berakibat pada
terjadinya erosi dan peningkatan aliran permukaan[46].
Namun tidak hanya menurunnya mutu
lingkungna hidup di Jambi. Aktivitas manusia yang mempengaruhi lingkungna hidup
juga menyebabkan konflik dan jatuhnya korban jiwa
Walhi menyebutkan sebagai bencana
ekologi.
Banjir yang terjadi didaerah yang
tidak termasuk kedalam kawasan yang
sering disinggahi banjir, kini sudah mulai terjadi.
Banjir meluapnya Sungai Batang
Tembesi mengakibatkan sekitar 843 rumah terendam tahun 2013. Pada tahun 2015,
Banjir ini kemudian menenggelamkan Desa-desa seperti Tiga Alur, Dusun Baru,
Desa Bukit, Desa Perentak dan Desa Bungo Tanjung yang terletak di Kecamatan
Pangkalan Jambi, Merangin. Banjir yang tidak perlu terjadi[47].
Begitu juga mulai berjatuhannya
korban. 3 orang di Renah Pembarap, Merangin (Desember 2014), 2 orang di Renah
Pembarap Merangin (Oktober 2014), 4 orang di Batangasai, Sarolangun (Mei 2014),
2 di Batangasai (Sept 2013). Angka-angka ini sekedar mewakili kesuraman
pengelolaan buruk di sektor tambang yang berhasil diliput oleh media. Walh
Jambi yakin, angka-angka itu seperti gunung es. Hanya tampak di permukaan.
- Hilangnya kekayaan alam yang spesifik, unik dan penting di lingkungan hidup.
Akibat aktivitas manusia yang mempengaruhi lingkungan hidup
selain Berkurangnya mutu lingkungan hidup, juga menghilangkan kekayaan alam
yang spesifik, unik dan penting di lingkungan hidup.
Terjadinya kebakaran di lahan gambut selain menghilangkan
kawasan yang terbakar juga menghilangkan ruang hidup masyarakat yang tergantung
dengan ekosistem gambut.
Di daerah-daerah yang hancur karena pertambangan, ikan semah[48]
tidak lagi mudah ditemui. Ikan semah sebagai kekayaan biodiversity sudah mulai
terancam dan sulit didapatkan.
Di Desa Teluk Raya, ikan sungai Kumpeh yang mudah didapatkan
sekarang tinggal cerita kenangan[49].
Sungai Kumpeh yang memanjang dari perbatasan Kota Jambi hingga menuju ke
Kawasan Berbak merupakan tempat ikan-ikan[50]
yang sudah tercemar berbagai pestisida dan berbagai limbah pabrik.
Selain itu juga, akibat penggunan bibit unggul dan pestisida,
bibit-bibit lokal menjadi hilang. Di Desa Lubuk Mandarsyah, dari 16 jenis bibit
lokal, tinggal 2 bibit yang masih tersisa. Di Desa Sungai Bungur, bibit
padi lokal seperti padi kuning biasa, padi pulut hitam, padi silang jambu, padi
renik kanal, padi pulut turun daun tinggal cerita.
Begitu juga cara penghitungan dan pola
menanam padi berdasarkan pengetahuan lokal sudah mulai bergeser[51].
Waktu normal penanaman bulan April hingga Oktober sudah tidak bisa diprediksi
lagi. Bulan April masih sering hujan sehingga pengetahuan masyarakat tentang
alam sudah tidak dapat diperhitungkan lagi (mitigasi).
Bergesernya periode penanaman juga
dipengaruhi oleh temperatur bumi yang tidak stabil[52].
Akibatnya kemudian terjadi kenaikan suhu permukaan bumi yang tidak merata.
Dengan demikian, maka pola hujan yang acak dan kemarau yang berkepanjangan.
Penanaman bulan Juni akan mempengaruhi
panen. Pada bulan Oktober diperkirakan sering terjadinya banjir. Sehingga padi
yang berumur 6 bulan akan “fuso” mengalami kegagalan panen sehingga mengganggu
“kemandirian pangan”.
Dari hasil analisis dengan melihat empat instrumen dan menggali
berbagai informasi dari tokoh kunci di tengah masyarakat, maka Lingkungan hidup
di Jambi sudah mulai menurun. Baik dilihat dari kualitas air, udara dan
kesuburan tanah. Penguasaan tanah oleh sebagian kecil industri, semakin
massifnya pertambangan mengakibatkan konflik merata di berbagai daerah di
Jambi.
Penurunan mutu lingkungna hidup juga mempengaruhi kekayaan alam
yang spesifik, unik dan penting di lingkungan hidup.
Kedepan, apabila pengelolaan lingkungan hidup tidak kembali
ditata dan lingkungan hidup tidak diberi kesempatan untuk “bernafas”, maka
persoalan udara, air dan kesuburan tanah memberikan bencana yang tidak bisa
ditangani oleh kedua genggam tangan manusia[53].
Berbagai kejadian yang termasuk kategori “bencana ekologi” memberikan pesan
yang jelas. Alam sudah menunjukkan geliatnya untuk bangkit dan marah.
Upaya yang harus dilakukan berangkat dari peringatan dari alam
bahwa Manusia mampu merombak, memperbaiki, dan mengkondisikan lingkungan
seperti yang dikehendakinya. Manusia harus bagian dari ekosistem
(antropolosentris) yang mempunyai pengetahuan dan teknologi untuk menjaga alam.
Manusia juga memiliki pengetahuan tentang menata alam.
- Menimbulkan permasalahan di sosial budaya
Akibat aktivitas manusia yang mempengaruhi lingkungan hidup
selain berdampak kepada lingkungan fisik alam seperti kerusakan ekosistem
hutan (fauna dan flora), Punahnya flora & fauna yang dilindungi, Kerusakan
ekosistem gambut, Pengendapan dan Pendangkalan sungai, Pencemaran Sungai
Batanghari, Air bersih dan sanitasi
lingkungan perkotaan juga menimbulkan permasalahan sosial budaya.
Dampak yang paling terasa adalah
tingkat pendidikan dan keterampilan yang masih rendah di sekitar wilayah
industri ekstraktif, kesempatan kerja yang tidak terbuka untuk masyarakat
lokal, kemiskinan di sekitar industri, tidak dihormatinya masyarakat adat dan
persoalan sosial seperti kejahatan, prostitusi dan berbagai penyakit sosial
lainnya.
Disekitar izin pertambangan tidak
berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Selain hasil tambang
digunakan untuk konsumsi (seperti membeli televisi, rumah, kendaraan dan
barang-barang konsumsif lainnya), tingkat kekerasan mulai terjadi di sekitar
tambang. Beredarnya minuman keras, kejahatan kesusilaan, meningginya tingkat
pencurian.
Selain itu, pemberian izin
tambang sama sekali tidak mampu meningkatkan tingkat pendidikan. Hampir
praktis, pemberian izin di sekitar kawasan masyarakat, justru rata-rata tingkat
pendidikan jauh dibawah daerah-daerah yang tidak mempunyai izin pertambangan.
Selain persoalan diatas,
tercabutnya budaya masyarakat dari agraris yang tergantung dari hutan menjadi
masyarakat buruh perkebunan, hilangnya nilai-nilai kearifan lokal menyebabkan
tercabutnya peradaban di wilayah industri ekstraktif.
[1]
Segala yang ada pada lingkungan dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk mencukupi
kebutuhan hidup manusia, karena lingkungan memiliki daya dukung. Daya dukung
lingkungannya adalah kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan manusia
dan makhluk hidup lainnya
[2]
Kemampuan lingkungan untuk menampung/menyerap zat energi dan atau komponen lain
yang masuk atau dimasukan di dalamnya .
[3]
Analisis terhadap campur tangan manusia terhadap hutan ditandai dengan
berkurangnya tutupan hutan primer (cover forest), deforestrasi, pembukaan kebun
sawit dan pertambangan.
[4]
Dari berbagai sumber disebutkan, perubahan iklim disebabkan Pemanasan global (global
warming) merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun
karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect). Penyebabnya diakibatkan
aktivitas manusia sehingga meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida
(CO₂), metana (CH₄), dinitrooksida (N₂O) dan CFC sehingga energi matahari
terperangkap dalam atmosfer bumi. Peningkatan suhu permukaan bumi rata-rata 2
derajat celcius. Sehingga bumi semakin panas. Padahal temperatur bumi harus
stabil di 30 derajat celcius. Kenaikan suhu permukaan bumi menyebabkan tidak
pastinya pola musim (pola hujan yang acak dan kemarau yang berkepanjangan)
sehingga menyebabkan bergesernya jadwal musim tanam.
[5] Surat Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor 272/Menhut/2/2012. Walaupun kawasan hutan mencapai 2,4 juta hektar dan
berkurang hingga 2,1 juta hektar, namun yang tersisa berupa hutan hanya tinggal
1,3 juta ha. KKI Warsi juga mensinyalirkan kerusakan hutan hingga mencapai 800
ribu hektar.
[6] SIARAN PERS Nomor: S. 409
/PHM-1/2014 tentang DEFORESTASI INDONESIA PADA TAHUN 2011-2012 HANYA SEBESAR 24
RIBU HEKTARE, Pusat Hubungan Masyarakat, Kementerian Kehutanan
[7] Data dari berbagai sumber.
[8] Areal HTI mencapai 853.430 ha. Data dari
berbagai sumber. Diolah oleh Walhi Jambi.
[9] Bahkan untuk pelepasan kawasan hutan hingga
mencapai 1,3 juta ha.. Data dari berbagai sumber.
[10] Hubungan antara masyarakat sekitar
hutan dengan kawasan hutan tidak semata-mata terhadap keberadaan hutan. Tapi
berkaitan dengan pola relasi rakyat sebagai pemilik hutan, relasi sebagai hak akses
terhadap pengelolaan hutan, penjaga teritori, sumber-sumber kehidupan, akibat
langsung dari kerusakan hutan (subject impact) dan penggunaan terhadap kawasan
hutan. Pola relasi ini bisa dilihat dari seloko-seloko yang menghormati hutan
seperti “rimbo sunyi/rimbo larangan/rimbo ganuh/rimbo puyang”. Termasuk
tempat-tempat yang sangat dihormati seperti “teluk sakti rantau betuah,
gunung bedewo”, atau “rimbo sunyi, tempat siamang beruang putih, tempat
ungko berebut tangis. Atau nama-nama tempat yang dihormati seperti “sialang
pendulangan, lupak pendanauan, empang kerenggo”.
[11] JATAM, 2014
[12] Terakhir, hanya 187 IUP yang masuk
kategori clean and clear dari 386 IUP. Sisanya yang tidak masuk clean and clear
atau tumpang tindih masih beroperasi. Temuan BPK RI justru 245 IUP bermasalah
karena lahannya tumpang tindih.
[13] Hasil analisis Koalisi LSM
Sumbagsel. Tambang yang dinyatakan tidak Clean and clean berpotensi merugikan
40 milyar untuk Jambi.
[14] Biaya perbaikan mencapai 300 milyar.
Sementara royalty hanya berhasil memungut 100 milyar. Jatam, 2014
[15] Sungai Batanghari tercemar Merkuri,
Kompas, 2 September 2014
[16] Hasil Lokakarya dan Workshop
PENGATURAN PENYELAMATAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM PROSES PERIZINAN DI SEKTOR
KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, Walhi Jambi, 21-22 Mei 2015
[17] Banjir yang disebabkan meluapnya
Sungai Batang Tembesi mengakibatkan sekitar 843 rumah terendam tahun 2013. Pada
tahun 2015, Banjir ini kemudian menenggelamkan Desa-desa seperti Tiga Alur,
Dusun Baru, Desa Bukit, Desa Perentak dan Desa Bungo Tanjung yang terletak di
Kecamatan Pangkalan Jambi, Merangin. Diperkirakan setiap desa ada puluhan rumah
terendam. Selain itu juga ratusan hektar sawah tidak bisa dimanfaatkan lagi.
[18] Dari berbagai sumber.
[19] Data dari berbagai sumber. Diolah
Walhi Jambi
[20]
SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 421/Kpts-II/1999 Tanggal 15/06/1999
[21] Bandingkan dengan pemberian kepada
HTI seluas 818 ribu ha dan masyarakat dengan skema Hutan Desa hanya
mencapai 53 ribu hektar.
[22]
Dalam diskusi konflik di Walh Jambi, 5 Mei 2014, Ir. Irmansyah, Kepala Dinas
Kehutanan Propinsi Jambi menyebutkan menyebutkan dari kawasan hutan 2,1 juta
hektar, 1,2 juta telah ditetapkan. 800 ribu hektar telah diberikan kepada
konsensi perusahaan. Sedangkan sisanya untuk kawasan yang harus dijaga. Dengan
model 300 ribu hektar untuk kawasan restorasi yang telah diberikan kepada PT.
REKI seluas 46 ribu hektar. Dan 400 ribu akan dicanangkan untuk masyarakat
melalui model PHBM (Pengelolaan hutan berbasis masyarakat, yang biasa dikenal
dengna model seperti hutan kemasyarakatan, hutan desa dan hutan tanaman
rakyat). Angka yang tidak berbeda jauh dengan Surat Keputusan (SK)
Menteri Kehutanan (Menhut) Nomor 272/Menhut/2/2012, luas kawasan hutan di Jambi
sekitar 2,2 juta ha atau 42,31 % dari 5,2 juta ha luas wilayah Provinsi Jambi.
[23]
Catatan ini bersumber dari kliping media massa lokal sejak tahun 1999 – 2012,
Walhi Jambi
[24] Tim Penyelesaian dan Resolusi Konflik
Propinsi Jambi, tahun 2010
[25]
Jaringan Advokasi Anti Tambang menyebutkan sekitar 406 konsensi tambang (22%)
wilayah Jambi telah diberi konsensi pertambangan dengan luas 1,092 juta hektar.
Diskusi Tambang, Walhi Jambi, Jambi, 5 April 2014
[26]
Perkebunan Besar Kelapa Sawit yang sudah eksisting sampai tahun 2012. Dari
rencana sejuta hektar sawit. Data diolah dari berbagai sumber.
[27] Catatan Walhi 1999-2013, jumlah
konflik Sumber daya alam mencapai 80 konflik. 27 kasus diprioritaskan untuk
diselesaikan. Tim Inventarisasi dan Resolusi Konflik Pemerintah Propinsi Jambi
tahun 2010
[28]
Dinas Kehutanan Propinsi Jambi mengakui tapal batas yang belum selesai. Masih
sekitar 75% dari areal kawasan hutan.
[29]
Dinas Kehutanan Propinsi Jambi, 5 Mei 2014
[30]
Data-data menunjukkan, sektor pertambangan mulai memantik persoalan. Baik biaya
jalan yang mencapai 300 milyar dibandingkan dengan royalti yang hanya mencapai
10 milyar. Banjir badang dan sungai batanghari yang sudah tercemar akibat zat
kimia dari batubara. Jatam, Diskusi Pertambangan, Walhi Jambi.
[31] Kabut asap tahun 2014 merupakan pengulangan
kabut asap sebelumnya dan berulang setelah tahun 2013, 2012, 2010, 2004, 1997.
Tahun 2014 telah menghentikan penerbangan lebih dari 2 minggu. Bahkan pada
oktober 2014 telah mengakibatkan 5700 kasus perminggu (data berbagai sumber).
Sehingga meliburkan sekolah.
[32] Perhitungan ini diungkapkan peneliti
pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Basuki Wasis. Dari luas
lahan gambut di Jambi yang terbakar mencapai 286.527,3 hektare dengan volume
gambutnya lebih dari 46 juta meter kubik, maka menimbulkan kerugian 44 trilyun.
Kebakaran Gambut di Jambi Timbulkan Kerugian Rp 44,4 Triliun, Republika,
[33] Penetapan ISPU
ini mempertimbangkan tingkat mutu udara terhadap kesehatan manusia, hewan,
tumbuhan, bangunan, dan nilai estetika. ISPU ditetapkan berdasarkan 5 pencemar
utama, yaitu: karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida
(NO2), Ozonpermukaan (O3), dan partikel debu (PM10)
Di Indonesia ISPU diatur
berdasarkan Keputusan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Nomor
KEP-107/Kabapedal/11/1997.
[34] BLH, Maret 2014 yang dimuat di
berbagai media.
[35] BLH Propinsi Jambi, Oktober 2014
sebagaimana dimuat di berbagai media massa.
[36] Kompas, 2 September 2014
[37] Air Batanghari tercemar, Tribun Jambi, 22 Maret
2014,
[38] Bappenas, 1986
[39] Statistik Lahan Pertanian, 2012
[40] Pada tahun 2010, luas lahan sawah
di Provinsi Jambi seluas 166.645 hektar. Jika dilihat dari sistem irigasinya,
36,61 persen merupakan irigasi pasang surut dan 18,80 persen irigasi tadah
hujan. Hal ini menunjukkan bahwa Provinsi Jambi merupakan wilayah potensi
tanaman pangan. Lahan sawah terluas di Provinsi Jambi terdapat di Kabupaten
Tanjung Jabung Timur (43.824
hektar), diikuti oleh Kabupaten Tanjung Jabung
Barat dan Kabupaten Muaro Jambi masingmasing 21.920 hektar dan 21.909
hektar,
sedangkan paling sedikit di Kota Jambi 1.664 hektar.
[41] Hal ini disebabkan kebakaran
menghasilkan uap serta gas yang mengandung zat hidrofob (penolak air). Gas ini
akan terkondensasi pada lapisan tanah yang lebih dingin, sehingga terbentuk
lapisan tanah yang repelan. Dengan adanya lapisan repelan, maka permeabilitas
tanahg menjadi terbatas sehingga timbul masalah erosi dan kekeringan. Data dari
berbagai sumber
[42] Kementerian Lingkungan Hidup
menyebutkan “daya ikat air pada pertikel-pertikel tanah sehingga tanah
mengalami kekeringan”
[43] Organisme tanah berupa makroorganisme
dan mikroorganisme. Organisme tanah yang bermanfaat dalam meningkatkan
kesuburan tanah. Makroorganisme tanah seperti cacing tanah yang dapat
meningkatkan aerasi dan drainase tanah. Dan mikroorganisme seperti mikorisa
yang dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara P, Zn, Cu, Ca, Mg, dan Fe akan
terbunuh. Selain itu, bakteri penambat (fiksasi) nitrogen pada bintil-bintil
akar tumbuhan Leguminosae juga akan mati sehingga laju fiksasi ntrogen akan
menurun. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1998.
[44] Alih fungsi lahan tinggi, produksi pertanian
Tanjabtim turun, www.antara.com, 22
Februari 2012.
[45] Luas Sawah di Merangin Berkurang 12,47 Persen,
Tribun Jambi, 20 Agustus 2013
[46] Data-data dari berbagai sumber.
[47] Melihat topografi, maka daerah ini tidak pernah
mengalami banjir. Namun sekarang sering mengalami banjir. Banjir yang tidak
disebabkan oleh alam namun karena aktivitas manusia dikenal sebagai bencana
ekologi.
[48] Ikan khas yang terdapat di daerah Bangko, Sarolangun
dan Bungo.
[49] 5 Tahun yang lalu, masyarakat Kumpeh
tidak pernah beli ikan segar. Ikan mudah didapatkan di Sungai Kumpeh. Namun
tempat-tempat bersarangnya ikan sekarang sudah hancur akibat perusahaan sawit,
limbah pabrik. Sekarang bahkan mereka harus membeli ikan dari Jambi. Sebuah
mimpi buruk yang tidak pernah mereka bayangkan. Pertemuan di Desa Teluk Raya,
Kumpeh, Muara Jambi, 9 Mei 2015
[50] Nama-nama tempat ikan seperti Danau
Sirih, Lopak Besar, Lubuk Ketapang sekarang hancur sehingga tidak bisa dijadikan
tempat sarang ikan-ikan. Dalam satu malam, ikan yang dikirimi dari Kumpeh bisa
mencapai 3 ton/malam.
[51] Sebagaimana wilayah timur pulau Sumatera
lainnya musim hujan di Provinsi Jambi terjadi pada bulan Oktober sampai dengan
April dan musim kemarau dari bulan Mei sampai September. Profile Provinsi
Jambi, , www.dephut.go.id, 2013
[52] Temperatur bumi harus stabil di 30 derajat
celcius.
[53] “Ketika pohon terakhir ditebang. Ketika sungai
terakhir dikosongkan. Ketika ikan terakhir ditangkap. Barulah manusia akan
menyadari bahwa dia tidak dapat memakan uang. Eric Wiener