Akhir-akhir
ini Republik Rakyat Tiongkok (RRT) memusingkan Amerika Serikat (AS)
di kepulauan Spratly. Provokasi RRT dengna mengirimkan pasukan
lengkap menjaga aksi RRT untuk menolak menghentikan pembangunan di
pulau-pulau Laut Tiongkok Selatan membuat langkah “jumawa” AS
“seakan-akan” keok. AS mulai kehilangan orientasi menjaga kawasan
dan sulit mengambil keputusan (simalakama). Dua pilihan sulit.
Mengabaikan dominasi RRT di kawasan ini, maka akan mempercepat
“perang” di kawasan baru. Sedangkan mengabaikan peran RRT, akan
menimbulkan “perang psycology” terhadap negara-negara Asean
Kepulaan
Spratly merupakan kawasan Laut Tiongkok Selatan yang diklaim oleh
RRT, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Fhilipina dan Brunei Darussalam.
Berbagai negara kemudian menguasai pulau-pulau seperti RRT (7 pulau
dan sedang membngun kota. Mereka merencanakan memindahkan penduduknya
dari daratan ke pulau yang dikuasai), Taiwan yang menguasai 1 pulau
dan memiliki pos militer, Vietnam menguasai 29 pulau, Malaysia
sebanyak 5 pulau dengan 2 pos militer, Fhilipina 8 pulau dan 4 pos
militer dan Brunei Darussalam.
RRT yang
“sedang booming” dan menikmati tingkat kemajuan ekonomi “terus
memprovokasi” negara Asean dan terus menerus memperagakan alat
militernya. Termasuk mengirimkan kapal induk.
Upaya
diplomasi terus dimainkan AS. AS terus “memonitor” perkembangan
di kawasan ini.
Namun
yang dilupakan, strategi RRT “memprovokasi” kawasan spratly
kemudian berhasil membuat “konsentrasi AS” terpecah. AS sedang
berkonsentrasi menghadapi ISIS, belum selesainya perang di Afganistan
dan Irak, mengawal Ukrania Timur berhadapan Rusia hingga tetap
menjaga kawasan Eropa Barat melalui NATO, membuat hitungan RRT begitu
jitu.
RRT
tahu persis. AS belum mau mengerahkan pasukan secara penuh, karena
masih berkonsentrasi di Eropa Barat atau kawasan Timur Tengah yang
belum aman sembari terus memonitor perkembangan di Ukrania. Sehingga
tidak salah kemudian upaya diplomasi terus digalang oleh AS untuk
meredam provokasi di kawasan spratly. Semua mendapatkan perhatian
yang seimbang. Salah analisa, maka kekuatan AS kemudian terpecah. Dan
itu bisa menggangu stabilitas di berbagai kawasan.
Begitu
jitunya RRT “memainkan” kawasan spratly sembari terus
“memprovokasi” negara-negara ASEAN, membuat konsentrasi AS yang
selama ini “memantau” persoalan RRT dari persoalan domestik
(persoalan HAM, peristiwa Tiannamen) menjadi bergeser. AS kemudian
“untuk sementara” mengabaikan persoalan domestik RRT dan melihat
gaya politik RRT di kawasan Spratly.
Dengan
meminjam strategi yang sering
dipergunakan oleh Sun Tzu, seorang ahli strategi militer kuno yang
pasti sangat dikuasai oleh RRT, yang dikenal “Jauhkan
tangga ketika musuh telah sampai di atas. Seberangi sungai dan
hancurkan jembatan, maka RRT
sedang menggiring AS ke daerah berbahaya. Dengan menggunakan kekuatan
sebagai “pemain baru” di kawasan Asia Pasifik, AS sangat
berhitung dengan dominasi RRT di kawasan ini sehingga apabila “pecah
perang”, AS sangat sulit memobilisasi pasukannya untuk “memukul”
RRT di kawasan ini.
Keberhasilan
RRT memindahkan “pertarungan” dari domestik ke kawasan Laut
Tiongkok Selatan merupakan strategi ciamik.
RRT
sedang memasang “umpan” dan sudah menghitung “serangan AS”.
RRT sudah mendesain bagaimana jalur “memobilisasi” AS dengan cara
memutuskan jalur. Bahkan RRT sudah mempersiapkan “skenario”
apabila bertarung langsung dengan AS (vis to vis).
Upaya
terus menerus dari RRT “memprovokasi” negara-negara ASEAN membuat
AS tidak akan berkonsentrasi menjaga berbagai kawasan. Konsentrasi AS
pecah dan tidak dapat “mengontrol” kawasan spratly.
Dalam
periode yang lama (selama kawasan Timur Tengah belum stabil, menjaga
kawasan Eropa Barat), provokasi RRT “hanya diladeni” AS dengan
upaya diplomasi. AS berkepentingan selain tidak pecahnya perang di
kawasan spratly, AS berharap upaya diplomasi terus dimainkan.
Dari
gaya RRT, kawasan spratly merupakan medan pertarungan yang diciptakan
oleh RRT. RRT berhasil menguasai “gelanggang” kawasan spratly.
Sembari menunggu “redanya” kawasan Timur Tengah atau Eropa Barat,
RRT telah menang “psikologis” dari AS. Dan strategi Sun Tzu
dengan ciamik diperagakan oleh RRT tanpa strategi yang jelas dari AS.
Jejak Sun
Tzu masih terus hidup dan berkembang di peperangan paling modern
sekalipun.