04 Juni 2015

GAYA RRT DI KEPULAUAN SPRATLY



Akhir-akhir ini Republik Rakyat Tiongkok (RRT) memusingkan Amerika Serikat (AS) di kepulauan Spratly. Provokasi RRT dengna mengirimkan pasukan lengkap menjaga aksi RRT untuk menolak menghentikan pembangunan di pulau-pulau Laut Tiongkok Selatan membuat langkah “jumawa” AS “seakan-akan” keok. AS mulai kehilangan orientasi menjaga kawasan dan sulit mengambil keputusan (simalakama). Dua pilihan sulit. Mengabaikan dominasi RRT di kawasan ini, maka akan mempercepat “perang” di kawasan baru. Sedangkan mengabaikan peran RRT, akan menimbulkan “perang psycology” terhadap negara-negara Asean

Kepulaan Spratly merupakan kawasan Laut Tiongkok Selatan yang diklaim oleh RRT, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Fhilipina dan Brunei Darussalam. Berbagai negara kemudian menguasai pulau-pulau seperti RRT (7 pulau dan sedang membngun kota. Mereka merencanakan memindahkan penduduknya dari daratan ke pulau yang dikuasai), Taiwan yang menguasai 1 pulau dan memiliki pos militer, Vietnam menguasai 29 pulau, Malaysia sebanyak 5 pulau dengan 2 pos militer, Fhilipina 8 pulau dan 4 pos militer dan Brunei Darussalam.

RRT yang “sedang booming” dan menikmati tingkat kemajuan ekonomi “terus memprovokasi” negara Asean dan terus menerus memperagakan alat militernya. Termasuk mengirimkan kapal induk.

Upaya diplomasi terus dimainkan AS. AS terus “memonitor” perkembangan di kawasan ini.

Namun yang dilupakan, strategi RRT “memprovokasi” kawasan spratly kemudian berhasil membuat “konsentrasi AS” terpecah. AS sedang berkonsentrasi menghadapi ISIS, belum selesainya perang di Afganistan dan Irak, mengawal Ukrania Timur berhadapan Rusia hingga tetap menjaga kawasan Eropa Barat melalui NATO, membuat hitungan RRT begitu jitu.

RRT tahu persis. AS belum mau mengerahkan pasukan secara penuh, karena masih berkonsentrasi di Eropa Barat atau kawasan Timur Tengah yang belum aman sembari terus memonitor perkembangan di Ukrania. Sehingga tidak salah kemudian upaya diplomasi terus digalang oleh AS untuk meredam provokasi di kawasan spratly. Semua mendapatkan perhatian yang seimbang. Salah analisa, maka kekuatan AS kemudian terpecah. Dan itu bisa menggangu stabilitas di berbagai kawasan.

Begitu jitunya RRT “memainkan” kawasan spratly sembari terus “memprovokasi” negara-negara ASEAN, membuat konsentrasi AS yang selama ini “memantau” persoalan RRT dari persoalan domestik (persoalan HAM, peristiwa Tiannamen) menjadi bergeser. AS kemudian “untuk sementara” mengabaikan persoalan domestik RRT dan melihat gaya politik RRT di kawasan Spratly.

Dengan meminjam strategi yang sering dipergunakan oleh Sun Tzu, seorang ahli strategi militer kuno yang pasti sangat dikuasai oleh RRT, yang dikenal “Jauhkan tangga ketika musuh telah sampai di atas. Seberangi sungai dan hancurkan jembatan, maka RRT sedang menggiring AS ke daerah berbahaya. Dengan menggunakan kekuatan sebagai “pemain baru” di kawasan Asia Pasifik, AS sangat berhitung dengan dominasi RRT di kawasan ini sehingga apabila “pecah perang”, AS sangat sulit memobilisasi pasukannya untuk “memukul” RRT di kawasan ini.

Keberhasilan RRT memindahkan “pertarungan” dari domestik ke kawasan Laut Tiongkok Selatan merupakan strategi ciamik.

RRT sedang memasang “umpan” dan sudah menghitung “serangan AS”. RRT sudah mendesain bagaimana jalur “memobilisasi” AS dengan cara memutuskan jalur. Bahkan RRT sudah mempersiapkan “skenario” apabila bertarung langsung dengan AS (vis to vis).

Upaya terus menerus dari RRT “memprovokasi” negara-negara ASEAN membuat AS tidak akan berkonsentrasi menjaga berbagai kawasan. Konsentrasi AS pecah dan tidak dapat “mengontrol” kawasan spratly.

Dalam periode yang lama (selama kawasan Timur Tengah belum stabil, menjaga kawasan Eropa Barat), provokasi RRT “hanya diladeni” AS dengan upaya diplomasi. AS berkepentingan selain tidak pecahnya perang di kawasan spratly, AS berharap upaya diplomasi terus dimainkan.

Dari gaya RRT, kawasan spratly merupakan medan pertarungan yang diciptakan oleh RRT. RRT berhasil menguasai “gelanggang” kawasan spratly. Sembari menunggu “redanya” kawasan Timur Tengah atau Eropa Barat, RRT telah menang “psikologis” dari AS. Dan strategi Sun Tzu dengan ciamik diperagakan oleh RRT tanpa strategi yang jelas dari AS.

Jejak Sun Tzu masih terus hidup dan berkembang di peperangan paling modern sekalipun.