Surat Edaran Kepala Polri Nomor SE/06/X/2015 tertanggal 8
Oktober 2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian atau ‘hate speech’ (Surat
Edaran) menimbulkan polemic. Sebagian berpendapat, Surat Edaran hanyalah menegaskan
pelaksanaan “hate speech” yang sudah diatur didalam berbagai peraturan (KUHP
dan UU ITE).
Sebagian kalangan justru menolak dengan alasan bertentangan
dengan “kebebasan berpendapat (freedom of speech) sebagaimana diatur didalam
konstitusi. Bahkan ada yang menuduh Surat edaran akan menghidupkan pasal-pasal
penyebar kebencian kepada Presiden (haatzakai artikelen) yang telah dicabut
oleh MK. Namun yang unik, pembahasan
tentang surat edaran sama sekali tidak merujuk kepada KUHP dan UU ITE yang
“dipertegas” oleh Surat Edaran.
Mencampuradukkan antara “hate speech” dengan “freedom of
speech” bukanlah equal. Sama dengan mencampuradukkan antara jeruk dengan apel.
Satu asam satu manis. Saya kemudian
teringat dengan seloko orang Desa. “Mengaji
diatas kitab. Menangislah diatas bangkai.
Mendiskusikan Surat Edaran haruslah lengkap dan mempunyai
sandaran hokum kepada norma-norma yang diatur didalam KUHP dan ITE. Atau dengan
kata lain, surat edaran hanyalah “penegasan” pelaksanaan norma-norma yang telah
diatur didalam berbagai peraturan tentang “hate speech”.
Ujaran kebencian (hate speech) merupakan ranah tindak
pidana. Baik diatur didalam KUHP maupun diatur didalam UU ITE.
Didalam KUHP, “hate speech” merupakan norma dan tindak
pidana yang harus dipertanggungjawabkan. Hate speech dapat dilihat didalam Bab
tentang Penghinaan, Pencemaran nama baik, Penistaan,
Perbuatan tidak menyenangkan, Memprovokasi,
Menghasut, Menyebarkan berita bohong, dan semua tindakan di atas
memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan,
penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial”.
Semua norma didalam KUHP telah
diuji oleh MK. MK kemudian menyatakan norma-norma seperti Penghinaan,
Pencemaran nama baik, Penistaan, Perbuatan tidak menyenangkan, Memprovokasi, Menghasut, Menyebarkan berita bohong, dan
semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak
diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial”, tidak bertentangan dengan konstitusi sehingga
dinyatakan sebagai hokum yang berlaku (hokum positif).
Bahkan Indonesia
telah menandatangani International Covenant on Civil and Political Rights sejak
2006, yang juga mengatur “Hate Speech”.
Memberbandingkan
antara “hate speech” dengan “freedom of speech” tidaklah tepat. Hate Speech
merupakan tindak pidana dan harus dipertanggungjawabkan oleh hokum. Masih ingat
ketika sebuah karikatur yang memalukan yang memuat photo Presiden dan tidak
layak kemudian ditempelkan dengan Photo Megawati. Orang awanpun pasti tidak
sepakat, photo itu merupakan “speech of freedom”. Bahkan orang yang mempunyai
logika tidak membenarkan photo yang tidak layak. Sehingga tidak salah kemudian
photo itu dapat dikategorikan sebagai “hate speech”.
Freedom of speech
merupakan Hak asasi yang telah diatur didalam konstitusi. Namun “memaknai”
freedom of speech dengan perbuatan ‘sesuka-suka” sama sekali tidak tepat.
Freedom of speech diberikan oleh HAM dalam rangka untuk menyampaikan aspirasi
yang berkaitan dengan “olah pikiran” yang tentu saja berangkat dari sikap
kritis, pandangan politik dan aspirasi individu. Namun Freedom of speech bukanlah
bertujuan untuk memecah belah umat, menimbulkan gejolak dan mengancam persatuan
bangsa. Apalagi tujuan “kebencian” diutamakan daripada sikap kritis sehingga
esensi “freedom of speech” menjadi pelindung untuk ‘hate speech”. Tentu saja
norma ini telah diatur diberbagai peraturan dan sikap universal yang menjadi
pegangan konstitus.
Banyak sekali
photo-photo yang menggunakan teknologi dan program photoshop “merekayasa sebuah
photo” yang kemudian berkesan menimbulkan kebencian terhadap golongan tertentu.
Bahkan photo-photo yang kedatangan Jokowi ke Suku anak dalam ketika kedatangan
ke Bukit Suban di Sarolangun “direkayasa” sehingga dipelintir dan menuduh
“rekayasa” photo. Padahal photo yang “Berbicara” jujur kemudian “diplesetkan”
sebagai “kebohongan public” dapat dikategorikan sebagai “Brita bohong”.
Sehingga tidak salah kemudian photo-photo itu kemudian disebutkan sebagai “hate
speech”. Dan dengan merujuk berbagai norma-norma yang telah diatur didalam KUHP
dan UU ITE haruslah dipertanggungjawabkan dimuka hokum.
Begitu juga berbagai
seruan yang kemudian “memelintir” peristiwa Tolikara, Singkil yang menyampaikan
“kebohongan” yang justru akan “memprovokasi” public sehingga “membenci”
golongan tertentu. Seruan untuk kebencian tertentu dapat menimbulkan gejolak
ditengah masyarakat. Selain seruan berangkat dari “berita bohong”, juga akan
menimbulkan cost social yang mahal dan akan menciptakan instabilitas di tengah
masyarakat.
Sehingga Surat Edaran
yang ditujukan kepada penegak hokum khususnya Kepolisian untuk dapat memilah
dan mengaterikan sebagai “hate speech” untuk dapat memproses secara hokum
sehingga “keresahan” masyarakat dapat ditanggulangi.
Namun memandang surat
edaran sebagai ketakutan merupakan sikap untuk melindungi pelaku “hate
speech’”. Dunia hokum Indonesia akan diramaikan dengan berbagai “hate speech”
sehingga penegakkan hokum menjadi mandul. Ketakukan yang tidak diperlukan
merupakan bentuk bayanga-bayang akan ketakutan itu sendiri.