Beberapa waktu yang lalu,
DPC PERADI Jambi menerima pengaduan dari Walhi Jambi dan KKI Warsi
yang tergabung didalam #jambiberasap# tentang kebakaran hutan dan
lahan yang massif terjadi 3 bulan terakhir. DPC PERADI Jambi kemudian
menentukan sikap untuk menerima pengaduan dari kelompok masyarakat
(claas action) untuk menggugat perusahaan yang dianggap
bertanggungjawab terhadap kebakaran hutan dan lahan (kahutla).
Tanpa memasuki
dalil-dalil gugatan yang hendak disampaikan, yang menjadi perhatian
dari masyarakat Jambi adalah biaya kerugian dan biaya pemulihan yang
mencapai angka puluhan trilyun. Sebagian pihak menerima biaya
kerugian dan biaya pemulihan. Namun sebagian apatis sehingga
menimbulkan keraguan terhadap besarnya angka yang timbul akibat
kebakaran tahun 2015.
Pengaturan tentang biaya
kerugian dan biaya pemulihan telah diatur didalam Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 13 tahun 2011 (Permen LH). Peraturan ini
kemudian menjadi dasar Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh didalam
putusannya Nomor 12 Tahun 2012. Putusan ini kemudian diperkuat hingga
di tingkat kasasi sehingga layak menjadi bahan pertimbangan hakim
terhadap perkara berkaitan kebakaran (yurisprudensi).
Didalam Permen LH
disebutkan kerugian ekologis, Biaya kerusakan ekonomi terdiri dari
Hilangnya umur pakai Akibat kegiatan pembakaran, Kerusakan tidak
ternilai (Inmaterial) dan biaya pemulihan.
Kerugian ekologis
mencakup penyimpanan air, pengaturan tata air, biaya pengendalian
erosi, biaya pembentukan tanah, Biaya pendaur ulang unsur hara yang
hilang akibat pembakaran, Biaya pendaur ulang unsur hara, biaya
pemulihan keanekaragaman hayati yang hilang, Biaya pemulihan akibat
hilangnya sumber daya genetik, biaya pelepasan karbon dan biaya
perosot karbon.
Sedangkan biaya pemulihan
terdiri dari Biaya pembelian kompos, Biaya angkut ,Biaya penyebaran
kompos di areal yang terbakar, Biaya pemulihan untuk mengaktifan
fungsi ekologis yang hilang seperti Pendaur ulang unsur hara,
pengurai limbah, Keanekaragaman hayati, Sumber daya genetik,
Pelepasan Karbon dan Perosot Karbon.
Dengan menentukan
variabel biaya kerugian dan biaya pemulihan, maka kita bisa
menentukan besaran angka untuk menentukan besaran ganti rugi yang
menjadi tanggungjawab kebakaran.
Biaya menyimpan air
diperlukan untuk membangun reservoir dengan ukuran 20 m x panjang 25
meter x tinggi 1,5 m. Biaya pembuatan reservoir adalah biaya untuk
menyimpan air yang dikalkulasikan per m2 senilai seratus ribu rupiah.
Satu hektar mampu menyimpan air sebanyak 650 m3/ha. Sehingga untuk
satu hektar membutuhkan biaya 63 juta rupiah/ha. Biaya pembuatan
reservoir kemudian ditambah dengan biaya untuk pemeliharaan reservoir
seratus ribu rupiah/tahun/15 tahun. Sehingga satu hektar diperlukan
biaya perawatan reservoir 1,5 milyar rupiah/hektar.
Selanjutnya biaya-biaya
yang seperti Biaya pengaturan tata air senilai 30 ribu rupiah/ha.
Biaya pengendalian erosi Rp 1.225.000/ha, Biaya pembentukan tanah
sebesar Rp. 50.000/ha, Biaya pendaur ulang unsur hara yang hilang
akibat pembakaran sebesar Rp. 4.610.000/ha, Biaya pengurai limbah
yang hilang sebesar Rp. 435.000/ha, biaya keanekaragaman hayati yang
hilang sebesar US$300 (Rp. 2.700.000) /ha, Biaya pemulihan akibat
hilangnya sumber daya genetik adalah sebesar US$ 41 (Rp. 410.000)/ha,
biaya pelepasan karbon sebesar US$10(Rp. 90.000) per ton kabon, biaya
perosot karbon per ha adalah US$ 10 (Rp.90.000) sehingga biaya yang
diperlukan untuk memulihkannya adalah sebesar : Rp. 90.000/ha x 4.725
ton = Rp. 425.250.000,-
Biaya kerusakan ekonomi
terdiri dari Biaya hilangnya umur pakai akibat kebakaran yaitu Biaya
penanaman, Biaya pemeliharaan dari tahun pertama hingga tahun
ketujuh. Sedangkan terhadap biaya kerusakan Kerusakan tidak ternilai
(Inmaterial) adalah kerusakan yang terjadi namun sangat sulit
dikuantifikasikan, sehingga dinyatakan dalam bentuk kualitatif saja.
Biaya pemulihan terdiri
dari Biaya pembelian kompos x 0.1 m(10cm) x 1 ha(10.000 m2) X
Rp.200.000/m3/ha, Biaya angkut dengan menggunakan tronton kapasitas
angkut 20 m3/truk maka diperlukan biaya angkut hingga lokasi lahan
yang terbakar adalah m3/20 m3 x Rp. 800.000( sewa truk)/ha, Biaya
penyebaran kompos di areal yang terbakar Rp.2.000.000.000,-. 1
ha(1000 m3) = 20.000 karung(@ 50 kg)/200/orang x Rp.20.000/ha, Biaya
pemulihan untuk mengaktifan fungsi ekologis yang hilang seperti
Pendaur ulang unsur hara, pengurai limbah, Keanekaragaman hayati
sebesar Rp. 4.610.000.000,- Rp. 435.000.000,- Rp. 2.700.000.000-.
Dengan demikian maka pemulihan diperlukan total 9 milyar/ha.
Dengan menghitung
masing-masing komponen biaya yang diperlukan untuk satu hektar lahan
yang terbakar, maka kita bisa menghitung tanggungjawab perusahaan
terhadap biaya seperti kerugian ekologis, Biaya kerusakan ekonomi
terdiri dari Hilangnya umur pakai Akibat kegiatan pembakaran,
Kerusakan tidak ternilai (Inmaterial) dan biaya pemulihan. Sehingga
kita bisa menghitung areal yang terbakar dengan mengkalkulasikan
biaya yang harus dibayar oleh penanggungjawab izin
Sekedar gambaran, didalam
putusan PT. Kalista Alam akibat kebakaran seluas 1000 ha, Pengadilan
Negeri Meulaboh kemudian menjatuhkan putusan dengan total biaya yang
harus dikeluarkan oleh PT. Kalista Alam senilai 320 Milyar rupiah.
Dengan asumsi lahan yang
terbakar mencapai 33 ribu hektar, maka biaya kerugian dan biaya
pemulihan mencapai 10 trilyun lebih.
Sedangkan penghitungan
yang disampaikan oleh peneliti pada Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor (IPB) Basuki Wasis. Dengan penghitungan terhadap 286
hektar yang terbakar tahun 2014, maka menimbulkan kerugian 44
trilyun (Republika, 11 Maret 2015).
Sehingga dengan kalkulasi
250 hektar dibutuhkan biaya kerugian dan biaya pemulihan mencapai 44
trilyun, maka terhadap lahan yang terbakar mencapai 33 ribu hektar,
dibutuhkan 5,280 trilyun atau 5 bilyun. Atau kerugian kebakaran tahun
2015 mencapai 2 kali APBN Indonesia.
Angka ini tentu saja
mengagetkan berbagai kalangan. Namun angka ini tidak mampu
menggantikan kerusakan gambut akibat kebakaran. Gambut sebagai
kawasan ekologi yang unik mempunyai kemampuan untuk menyerap emisi
karbon, menyimpan air hingga berbagai fungsi untuk menahan gelombang
air laut sehingga tidak menggeser permukaan tanah. Kebakaran kemudian
menyebabkan fungsi gambut kemudian menjadi hilang sehingga gambut
justru menjadi ladang yang merusak ekosistem.
Selain itu juga biaya
yang dikeluarkan tidak mampu menggantikan derita rakyat yang
berjumlah 3,1 juta penduduk Jambi, 70 ribu yang mengalami ISPA dan
telah merenggut nyawa 4 orang.
Terhadap penghitungan
kerugian dan biaya pemulihan selain telah diatur didalam Permen LH,
dilakukan oleh ahli yang berkompeten di gambut hingga telah menjadi
yurisprudensi Mahkamah Agung.
Sehingga tidak salah
kemudian biaya kerugian dan biaya pemulihan yang menjadi
tanggungjawab perusahaan yang mempunyai titik api dapat mewakili
keresahan yang diderita rakyat Jambi akibat kebakaran hingga harus
menghirup asap berbulan-bulan.
Baca : Hukum Kebakaran hutan dan Lahan
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 25 Oktober 2015
http://www.jambiekspresnews.com/read/2017/02/12/20124/cara-menghitung-kebakaran-hutan-dan-lahan
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 25 Oktober 2015
http://www.jambiekspresnews.com/read/2017/02/12/20124/cara-menghitung-kebakaran-hutan-dan-lahan
* Direktur Walhi Jambi,
Advokat